Rabu, 09 Juni 2010

Hukum Taurat & Hukum Baru

Tradisi Yahudi membagi kitab-kitab di dalam Kitab Suci Ibrani ke dalam kelompok kitab : Hukum, Nabi-nabi, dan Tulisan-tulisan. Hukum, atau Torah (Taurat) adalah kelompok kitab yang paling penting dari antara ketiga penggolongan itu. Kelompok Hukum ini terdiri dari kelima kitab pertama atau Pentateukh: Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan dan Ulangan.

Kata Ibrani tora(h) [Taurat] adalah istilah yang paling umum diterjemahkan sebagai “hukum” di dalam Perjanjian Baru. Pada dasarnya kata itu berarti “ajaran” atau “didikan” (Am 1:8). Pada saatnya [dalam perkembangannya] kata itu juga berarti kumpulan preseden hukum yang mapan – putusan-putusan pengadilan di masa lampau yang dihormati oleh imam-imam dari masa berikutnya dan digunakan sebagai preseden hukum yang sah. Ketika mereka diterima sebagai ketetapan ilahi, maka putusan hukum itu mendapat daya pengikat yang lengkap.

Istilah hukum lainnya yang digunakan dalam Perjanjian Lama termasuk miswa, “perintah”, suatu prinsip atau norma yang disampaikan dari otoritas yang lebih tinggi ke bawah; mispat, atau ”ketetapan” yang digunakan untuk putusan hukum dan terutama terdapat dalam hukum pidana sebagai tipe rumusan yang kasuistik; edot, “perjanjian” yang mengungkapkan ketentuan-ketentuan dari Allah yang diungkapkan melalui perjanjian; hoq, “undang-undang” sesuatu yang dituliskan dan kemudian ditetapkan sebagai hukum tertulis; dabar, “firman/sabda” yang merujuk pada perkataan ilahi dan digunakan terutama untuk hukum yang dijabarkan ke dalam Sepuluh Perintah Allah (bdk Kel 20:1; 24:3).

Berbagai Kode Hukum Israel
Bagi bangsa Israel, semua hukum, baik hukum sipil maupun hukum agama, berasal dari Tuhan. Mematuhi hukum merupakan bagian dari kesetiaan pada perjanjian, karena perintah-perintah Torah merupakan penjabaran dari perjanjian yang menetapkan tanggungjawab Israel dalam hubungannya dengan Tuhan dan dengan sesama.

Kepatuhan Israel pada hukum mengandaikan sifatnya yang mendesak, karena pelanggaran hukum Tuhan berarti pelanggaran perjanjian, dan merusak hubungan umat dengan Tuhan.

Hukum Pentateukh (Taurat) biasanya dibagi menjadi enam himpunan utama atau kode hukum.
1. Sepuluh Perintah Allah (Kel 20:2-17). Prinsip-prinsip atau norma yang membimbing perilaku semua orang, dinyatakan dalam rupa hukum kodrat yang dituliskan di dalam hati (bdk Kej 26:5; Rm 2:14-15) (Katekismus Gereja Katolik atau KGK 2056-63; 2070-2072).

2. Kode Hukum Perjanjian (Kel 20:23-23:19). Suatu himpunan peraturan hukum yang mengatur hubungan sosial, baik sipil umum maupun rumahtangga di dalam kehidupan Israel. Secara khusus peraturan hukum ini membayangkan kehidupan bangsa Israel di negeri Kanaan. Tata peraturan diteguhkan dalam praktek dengan sistem tata peradilan yang ditetapkan Musa dalam Kel 18:13-27.

3. Pembaruan Perjanjian (Kel 34:10-26). Pembaruan perjanjian Sinai menjadi mendesak karena terjadinya pelanggaran sehubungan dengan anak lembu emas (Kel 32:1-6). Ketentuan-ketentuan menegaskan kembali berbagai hukum peraturan yang sudah dinyatakan dalam Sepuluh Perintah Allah dan Kode Hukum Perjanjian. Revisi yang paling penting adalah bahwa anak sulung Israel harus dipersembahkan kepada Tuhan dalam ibadat (Kel 22:29) dan karena itu ditebus kembali dari Tuhan dengan harga tebusan tertentu (Kel 34:20). Suku-suku Israel ditahan di Sinai selama setahun sementara proses pembaruan perjanjian itu dilangsungkan. Pembaruan itu itu juga menegaskan lagi larangan penyembahan berhala.

4. Kode Hukum Imamat (Im 1-16). Hukum ini berhubungan dengan persembahan korban dalam Kemah Allah (Im 1-10) dan hukum yang menyangkut ritus pentahiran (Im 11-16), di antaranya yang paling penting adalah ibadat tahunan untuk Hari Raya Pendamaian (Im 16)

5. Kode Hukum Kekudusan (Im 17-27). Seperangkat peraturan yang menekankan kekudusan, yang sangat penting bagi semua umat Tuhan: “Kuduslah kamu, sebab Aku, Tuhan, Allahmu, kudus!” (Im 19:2). Kode hukum kekudusan dimaksudkan untuk menunjukkan kepada bangsa Israel bagaimana hidup sesuai dengan rahmat Tuhan. Ada begitu bnyak peraturan hukum baru karena kekejian (penyembahan berhala) yang dilakukan Israel membuktikan perlunya rincian aturan. Terutama, tata peraturan membantu bangsa Israel untuk sungguh-sungguh menjauhi praktek penyembahan berhala dan berusaha hidup kudus karena Tuhan itu kudus (bdk Im 11:44-45; 19:2; 20:7; 21:8). Kode hukum ini meliputi hukum moral (bab 18-20) yang membedakan bangsa Israel dari praktek-praktek kafir dari bangsa-bangsa lain tetangga mereka dan membentuk umat Allah dalam keadilan dan kasih; serta hukum ibadat (bab 17, 21-25) yang mengatur tempat kudus (Kemah Allah), para imam pelaksana dan pembantu ibadat, serta penyelenggaraan ibadat hari-hari raya dan tahun-tahun yang dipersembahkan kepada Tuhan. Bab terakhir (Im 27) mengatur soal nazar, janji, dan persembahan perpuluhan.

6. Kode Hukum Ulangan atau Deuteronomis (Ul 12-16). Syarat ketentuan perjanjian Ulangan atau Deuteronomis dibuat di Moab, dengan Musa selaku pengantara perjanjian. Kode hukum ini berfungsi sebagai Undang-undang Dasar yang mengatur kehidupan Israel sebagai negara-bangsa yang didirikan di Kanaan. Salah satu tujuan kode hukum ini adalah mengendalikan Israel yang tidak setia dengan menggunakan disiplin peraturan yang keras dan permanen. Kode hukum dengan demikian meliputi hakum ibadat dan kesalehan (Ul 12:1-16:17); pemimpin sipil dan ibadat (Ul 16:18-18:22); hukum pidana dan tata peradilan (Ul 19:1-21:9); hukum sosial dan rumah tangga (Ul 21:10-25:19); persembahan korban, perpuluhan dan dosa-doa (Ul 26:1-19). Ketentuan moral dan hukum juga dibuat Musa untuk memberi kelonggaran pada kesalahan kecil-kecil dengan mengaturnya, dengan harapan dapat mencegah mereka melakukan kejahatan yang lebih besar (Kel 24:1-4). Misalnya, bangsa Israel diizinkan bercerai dan menikah lagi (Kel 24:1), menikah dengan isteri-isteri budak asing (Ul 21:10-14), menumpas musuh hingga habis dalam perang (Ul 20:16-17) dan mendirikan kerajaan di Israel (Ul 17:14-20). Seperti yang diajarkan Yesus: “Karena ketegaran hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan isterimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian” (Mat 19:8).

Hukum Sesudah Zaman Pembuangan
A. Pembaruan Rohani
Ketika Koresy Agung mengizinkan pembangunan kembali Yerusalem dan Bait Allah pada tahun 538 SM, bukan hanya bangunan fisik Bait Allah saja yang dipugar. Pembaruan difokuskan pada Torah dan Bait Allah. Seluruh hidup keagamaan bangsa dibangun kembali. Pengalaman Pembuangan telah mengajar sisa-sisa Israel tentang konsekuensi kegagalan dalam hal ini. Di bawah Ezra, suatu pembaruan iman dan ibadat dilaksanakan seluruh bangsa. Hukum dihormati lebih dari sebelumnya.

B. Merosot Menjadi Legalisme Belaka
Namun penghormatan baru pada Hukum dengan mudah tergelincir pada legalisme belaka. Dengan begitu mudahnya Hukum menjadi serangkaian tampilan jasmaniah tanpa didukung oleh komitmen batiniah-rohaniah. Para nabi mengingatkan bahayanya menyikapi substansi Hukum yang hanya dilaksanakan secara ritual saja : “Sekiranya ada di antara kamu yang mau menutup pintu, supaya jangan kamu menyalakan api di mezbah-Ku dengan percuma. Aku tidak suka kepada kamu, firman Tuhan semesta alam, dan Aku tidak berkenan menerima persembahan dari tanganmu” (Mal 1:10).

Orang Farisi menjadi contoh kedua sisi pergumulan Hukum itu. Mereka mengajarkan untuk menghormati Hukum dan mendapat popularitas karena upaya mereka yang gigih untuk mengikuti setiap huruf Hukum. Di pihak lain mereka juga dikenal sangat berlebihan menyikapi detil kecil dari Hukum. Mereka membentuk suatu korpus tafsir yang makin rinci lagi dan mendapatkan lubang-lubang pelarian dari kata-kata Hukum untuk menghindari pelaksanaannya (Mat 15:1-6; Mrk 7:1-13; Luk 11:37-42).

Legalisme yang berlebihan inilah yang menimbulkan kecaman tajam dari Yesus. ''Sungguh pandai kamu mengesampingkan perintah Allah, supaya kamu dapat memelihara adat istiadatmu sendiri,” kataNya. “Karena Musa telah berkata: Hormatilah ayahmu dan ibumu! dan: Siapa yang mengutuki ayahnya atau ibunya harus mati. Tetapi kamu berkata: Kalau seorang berkata kepada bapanya atau ibunya: Apa yang ada padaku, yang dapat digunakan untuk pemeliharaanmu, sudah digunakan untuk korban -- yaitu persembahan kepada Allah --, maka kamu tidak membiarkannya lagi berbuat sesuatu pun untuk bapanya atau ibunya. Dengan demikian firman Allah kamu nyatakan tidak berlaku demi adat istiadat yang kamu ikuti itu. Dan banyak hal lain seperti itu yang kamu lakukan.'' (Mrk 7:9-13). Namun Yesus masih menghormati peranan para Farisi sebagai guru. ''Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi telah menduduki kursi Musa. Sebab itu turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya” (Mat 23:2-3)

Hukum Lama
A. Hukum Lama dan Hukum Kodrat
Umat Kristen menyebut Hukum Musa sebagai “Hukum Lama”. Hukum Lama merupakan tahapan pertama dari hukum yang diwahyukan. Ketika Tuhan memilih Israel sebagai umatNya dan menyiapkan dunia bagi kedatangan Kristus melalui mereka, Ia memberikan Hukum kepada mereka untuk menjadikan mereka kudus dan baik. Hukum Musa mengungkapkan banyak kebenaran dari hukum kodrat. Sepuluh Perintah Allah melarang apa yang bertentangan dengan kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama dan mengajar kita agar menjauhi yang jahat. Perintah-perintah itu membina hati nurani kita untuk mengenali pokok-pokok dasar hukum kodrat. Kristus menegaskan kesahihan Sepuluh Perintah Allah dan menyatakan bahwa kesemuanya itu diringkas menjadi perintah kasih dua arah (Mat 22:34-40). Ia juga mengajarkan supaya kita melaksanakan perintah-perintah itu supaya dapat memeroleh hidup kekal (Luk 18:18-23).

B. Hukum Lama Bersifat Sementara
Namun Hukum Lama berisi begitu banyak peraturan yang sifatnya mudah berubah dan sementara, peraturan yang berkaitan dengan soal makanan dan perayaan yang dimaksudkan untuk menjinakkan seorang anak yang suka memberontak (Ul 9:7) yang harus dikendalikan dengan aturan disiplin yang keras dan permanen dan dituangkan dalam ketentuan-ketentuan perjanjian. Berbagai aturan sementara ini dipenuhi dengan kedatangan Yesus Kristus, yang mendatangkan segala sesuatu yang tidak bisa dihasilkan Hukum Lama: Roh Kudus, pengampunan dosa, kebebasan yang sejati untuk hidup dalam kasih, kerahiman dan kesetiaan kepada Tuhan,

C. Hukum Lama Menunjuk Pada Hukum Baru
Hukum Lama adalah kudus, rohani dan baik dan berfungsi memberikan arahan dan menyatakan dosa, namun tetap tidak sempurna (Rm 7:12.14.16; Gal 3:24). Hukum itu mengungkapkan dosa dan bahkan menahan dosa hingga titik tertentu. Hukum Lama juga mengajarkan kerendahan hati: memperlihatkan ketidakmampuan kita untuk hidup menurut standar Allah yang tinggi dengan mengandalkan kekuatan kita sendiri. Namun Hukum Lama tidak bisa menebus Israel dari dosa melalui pengampunan dan pertolongan rohani dari Roh Kudus. Sebaliknya, “hukum Taurat adalah penuntun bagi kita sampai Kristus datang” (Gal3:24). Hukum itu memelihara umat Allah, menyelamatkan mereka dari kecenderungan mereka yang paling buruk, sampai tiba saat yang tepat bagi Injil. Taurat mempersiapkan umat menghargai perintah yang tertinggi. Seperti yang diajarkan Yesus: ''Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.'' (Mat 22:37-40)

Hukum Lama tetap merupakan langkah pertama menuju Hukum Baru, persiapan bagi Injil yang akan menuliskan Hukum di hati manusia. Hukum Lama mengantisipasi Hukum Baru yang membawa kebebasan dari dosa dan akan dipenuhi di dalam Kristus (KGK 1961-1964, 2059).

Hukum Baru
A. Yang Lama Bukan Dihapuskan, Tapi Digenapi
Yesus membahas Hukum Lama di dalam Khotbah di Bukit: ''Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya. Karena Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titik pun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi” (Mat 5:17-18). Yesus sendiri mematuhi hukum dengan sempurna (1 Ptr 3:22-23). Mereka yang hidup di bawah Hukum Lama tidak mampu mematuhi Hukum sepenuhnya tanpa melanggar sebagian dari prinsip-prinsipnya. “Sebab barangsiapa menuruti seluruh hukum itu, tetapi mengabaikan satu bagian dari padanya, ia bersalah terhadap seluruhnya” (Yak 2:10; bdk Yoh 7:19; Kis 13:38-41; 15:10; Rm 10;2; Gal 3:10; 5:3) (KGK 577-578).

B. Hukum Lama Disempurnakan Hukum Baru
Kristus mengungkapkan bahwa dalam diriNya Hukum Lama mencapai kepenuhannya, kesempurnaannya, dan tujuan utamanya. Yesus sebagai guru Hukum, sesungguhnya meninggikan standar kepatuhan pada Hukum dengan memenuhi tuntutan-tuntutannya, bukan hanya sebagai tindakan lahiriah saja, tetapi juga dengan segenap pikiran dan maksud hati. Ia menuntut sikap yang “lebih benar” daripada yang dilakukan orang Farisi (Mat 5:20).

Jika Hukum Musa dimaksudkan untuk membina dan membimbing Israel kepada ibadat yang benar kepada Tuhan dan dengan demikian menyiapkan kedatangan Mesias, Hukum Baru – Hukum dari Perjanjian Baru dan Kerajaan Allah – tertuju kepada segala bangsa di dunia. Karenanya, banyak dari Hukum Lama Israel, misalnya yang menyangkut soal makanan (Mrk 7:18-21; Gal 3:24) dan perceraian dan kawin lagi (bdk Ul 24:1-4; Yes 50:1; Yer 3:8; Mat 19:6.8; 1 Kor 7:10-11) tidak diperlukan lagi karena fungsinya sudah selesai. Hukum ibadat Musa sudah terlaksana peranannya sebagai tipologi dan gambaran korban yang ideal dan sempurna dan bagi sakramen-sakramen Hukum Baru. Melalui wafatNya di kayu salib, Yesus menanggung semua kutuk-laknat dari Hukum dan memeteraikan Perjanjian Baru (bdk Yer 31:33; Yes 42:3; Gal 3:13; Ibr 9:15).

C. “Hukum Kristus”.
“Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus” (Gal 6:2). Kita adalah anak-anak Allah dan ahli waris bersama dengan Kristus, dan iman kita mendorong kita untuk meneladan Kristus (Mat 11:29; 1 Yoh 2:6), bukan karena wajib, tetapi melimpah dari rasa sukacita kita. Kita harus mengikuti ajaranNya untuk saling mengasihi (Mat 22:35-40; Yoh 13:34) dan melaksanakan perintah-perintahNya (Mat 19:17-18).

Di dalam katekese Kristen awal, standar kehidupan moral masih dipandu dengan prinsip-prinsip Dekalog, Sepuluh Perintah Allah (Rm 13:8-10; 1 Kor 7:19; Gal 5:13-14; Ef 6:2; Yak 2:8-12). Realitas baru dalam Roh Kudus memampukan kita memenuhi tuntutan Hukum untuk hidup benar (Rm 8:2-4).

Hidup moral Kristen juga berakar dalam kasih Kristus: “Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi.” (Yoh 13:34). Setiap orang Kristen dipanggil untuk berbagi dalam rahmat dan kasih Yesus yang datang “bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang'' (Mat 20:28). Paus Yohanes Paulus II mengaitkan rahmat dan kasih itu bersama-sama ketika ia menulis:
Mengikut Yesus bukanlah meniru secara lahiriah, sebab tindakan itu menyentuh manusia pada inti keberadaannya yang paling dalam. Menjadi pengikut Kristus berarti menjadi seperti Dia yang menjadi hamba, bahkan menyerahkan diri di kayu Salib (bdk Flp 2:5-8). Berkat iman, Kristus tinggal di hati orang beriman (bdk Ef 3:17), dan dengan demikian murid diselaraskan dengan Tuhan. Ini merupakan buah rahmat, dari kehadiran yang aktif Roh Kudus dalam kita (Veritatis Splendor art 21).

Mengikut Kristus merupakan dasar yang sebenarnya dari moralitas Kristen. Mengikut Kristus bukanlah semata-mata mengikuti suatu perintah. Moralitas Kristen menuntut suatu tanggapan yang lebih radikal: “berpeganglah terus pada pribadi Kristus, turut serta dalam hidupNya dan apa yang dialamiNya, ikut berbagi dalam ketaatanNya yang bebas dan penuh kasih kepada kehendak Bapa” (Veritatis Splendor art 19). Dengan melakukan itu murid Yesus menjadi murid Tuhan (KGK 1691-1696; 1716-1724; 1730-1742; 1914-1974; 1987-2005; 1052-1074).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar