Kamis, 03 Juni 2010

Kasih

Dalam Kitab Suci kasih digambarkan sebagai kehendak baik yang aktif bekerja, yang dinyatakan dalam tindakan khusus pada sesama. Menurut 1 Yoh 4:8 hakekat yang sejati dari Allah adalah Kasih, dan kasih dicantumkan dalam Kitab Suci sebagai salah satu tema pokok di dalam hubungan antara Tuhan dan manusia. Tentu, kasih merupakan dasar dari ciptaan dan dasar rencana ilahi untuk penebusan. Karena kasihNya yang melimpah Allah rela memberikan PuteraNya sendiri untuk mendatangkan keselamatan kepada dunia yang berdosa (Yoh 3:16; Rm 5:8-9; 1 Yoh 4:9). Maka tugas kita yang paling utama adalah mengasihi Allah dengan segenap hati (Ul 6:5; Mat 22:37). Kita juga harus mengasihi sesama kita (Mat 19:18; 1 Yoh 4:11-21). Yesus memerintahkan hal itu sedemikian sehingga kasih merupakan tanda yang khas bagi murid-muridNya (Yoh 13:34-35; bdk Luk 10:25-37). Kasih adalah kebajikan “teologis” [yang terarah pada Tuhan] yang terbesar di antara kebajikan “teologis”: iman, harapan dan kasih, yang tetap bertahan sekalipun sesudah kematian (1 Kor 13:13).


I. Kasih dalam Perjanjian Lama

A. Cakupan Makna

Di dalam Perjanjian Lama, sejumlah kata digunakan untuk kasih, namun yang paling umum adalah kata kerja ‘ahab, yang muncul menjadi kata benda lebih dari dua ratus kali dalam Kitab Suci Ibrani. Kata ini bisa mempunyai makna agamis maupun non-agamis dengan menunjuk pada cinta di antara sesama manusia, cinta pada berbagai hal atau barang-barang, kasih manusia pada Tuhan dan kasih ilahi yang diungkapkan Tuhan pada umatNya.

Ketika mengartikannya sebagai cinta di antara manusia, ‘ahab menggambarkan seluruh spektrum (lingkup) afeksi manusia (Kej 29:18; 34:3; Hak 16:4; Yes 57:8), termasuk cinta berahi dan daya tarik seksual (Kid 1:7; 2:4; 3:1; 5:8; 8:6-7; Ams 5:19). Daya tarik seperti itu mungkin pada akhirnya membuahkan perkawinan (1 Sam 18:20), atau sekedar hasrat seks saja (2 Sam 13:1-2; Yer 2:25). Demikian pula ‘ahab bisa menyangkut ungkapan hubungan yang sangat akrab dan ikatan timbal balik seperti di antara suami-isteri (1 Sam 1:5), orangtua-anak (Kej 22:2; 25:28) atau persahabatan seperti di antara Daud dan Yonatan (1 Sam 18:1; 2 Sam 1:26).


B. Kasih Allah yang Tulus Rela

Perintah terbesar dari Hukum dan seluruh Perjanjian Lama adalah “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu” (Ul 6:5; bdk 10:12; 11:1.13.22; 13:4; 19:9; 30:6.16.20). Perintah ini membentuk dasar hubungan Israel dengan Tuhan. Kasih Allah kepada Israel diberikan dengan bebas, dan sejarah keterpilihan Israel, termasuk janji-janji yang disampaikan kepada Abraham, Ishak dan Yakub (Kej 12-50), serta pembebasan Israel dari belenggu di Mesir menunjukkan kasih itu. Kasih Tuhan adalah tulus rela dan diberikan cuma-cuma: kasih itu merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pelaksanaan sejarah keselamatan (Mzm 47:5; 87:2; Yes 43:4) dan penyampaian rahmat Tuhan kepada seluruh umat manusia.

Dalam menanggapi kasih Tuhan, Israel diharapkan timbal balik. Kitab Hosea mengungkapkan hubungan itu dalam kerangka perkawinan (Hos 2): “Aku akan menjadikan engkau isteri-Ku dalam kesetiaan, sehingga engkau akan mengenal Tuhan. Maka pada waktu itu, demikianlah firman Tuhan, Aku akan mendengarkan langit, dan langit akan mendengarkan bumi” (Hos 2:19-20). Tuhan berhubungan dengan Israel seperti seseorang lelaki yang jatuh hati pada seorang wanita, dan Israel diharapkan memberikan jawabannya (bdk Hos 11:1-4).

Kasih Tuhan tak pernah pudar (Ul 4:37; Yes 43:4; Mzm 33:5; Yer 21:3), namun kesetiaan Israel diuji dan terbukti lemah; kegagalannya adalah dalam memenuhi kewajiban yang utama untuk mengasihi Tuhan dengan segenap hati dan dengan segenap jiwa dan dengan segenap kekuatan. Israel diharapkan membalas kasih setia Tuhan pada mereka, dengan melaksanakan perintah-perintahNya (Ul 10:12; 11:1.22; 30:16). Pada intinya, hubungan itu berakar pada perjanjian di antara Tuhan dan Israel. Perjanjian telah menjelaskan bagaimana kasih dapat diungkapkan dalam perintah-perintah, seperti diuraikan dalam ketentuan-ketentuan Kitab Ulangan. Ketentuan perjanjian di Timur Dekat kuno – yaitu yang diselenggarakan di antara raja besar dan raja-raja bawahan – umumnya menggunakan bahasa “kasih” untuk menguraikan kewajiban kesetiaan yang mengikat di antara pihak-pihak yang melakukan perjanjian. Dalam hal ini dan dalam pelbagai hal lainnya, kitab Ulangan dan perjanjian yang ditetapkan di antara Tuhan dan Israel mencerminkan perjanjian-perjanjian internasional di antara raja-raja besar dan para raja bawahan itu.


II. Kasih dalam Perjanjian Baru

Pada intinya, sejarah keselamatan membangun suatu komunitas kasih yang sempurna : Tritunggal Kudus. Dalam keluarga ilahi yang sempurna ini Bapa mengasihi Putera, Putera mengasihi Bapa (Yoh 14:31) dan Roh Kudus menjadi ikatan kasih (bdk Rm 5:5) di antara Bapa dan Putera. Dari kasih keluarga ilahi ini, seluruh rencana keselamatan ciptaan mengalir, sebab maksudNya atas cptaan ini adalah agar manusia dapat ikut serta dalam hidup ilahi sebagai anak-anak dalam Putera (Katekismus Gereja Katolik [atau KGK] no. 218-221).


A. Istilah-istilah “Kasih”

Kata Yunani untuk kasih, agapao dan agape (yang menggambarkan kasih yang rela atau sengaja diikatkan), muncul lebih dari tiga ratus kali dalam Perjanjian Baru. Kata yang mirip, seperti phileo dan philia (yang mungkin berarti kasih rela dan kadang-kadang kasih persahabatan), juga muncul sama seringnya, namun agape tetap merupakan ungkapan yang utama untuk kasih dalam Perjanjian Baru. Bahwa kata itu jarang digunakan dalam tulisan sekular Yunani mungkin menjelaskan, mengapa kata ini banyak digunakan dalam tulisan-tulisan Perjanjian Baru, yaitu sebagai kata yang membantu menunjukkan perspektif yang unik mengenai kasih yang diwartakan umat Kristen. Kata Yunani eros yang berarti cinta berahi atau cinta seksual tidak digunakan dalam Perjanjian Baru.


B. Kasih dalam Injil Sinoptik

Injil-injil Sinoptik mencantumkan perintah untuk mengasihi Allah Tuhan kita dengan sepenuh keberadaan kita dan mengasihi sesama seperti kita mengasihi diri sendiri (Mat 22:34-40; Mrk 12:28-34; Luk 10:25-28). Kedua perintah ini diambil dari Ul 6:5 dan Im 19:18. Yesus menyatakan bahwa kedua perintah itu harus dilaksanakan. Dalam Injil Lukas, Ia menjawab pertanyaan “siapa sesamaku?” dengan Perumpamaan tentang Orang Samaria yang Baik Hati (Luk 10:29-37). Dengan mengangkat seorang Samaria sebagai sesama yang baik (orang Yahudi sedah sejak lama memusuhi orang Samaria), Yesus menjadikan jelas bahwa dari kita Ia menuntut lebih dari sekedar mengasihi sahabat atau kerabat kita saja; ia meminta kesediaan kita untuk mengasihi bahkan orang yang tidak kita kenal, orang asing, dan musuh-musuh (Luk 6:27.32-36; Mat 5:43-48).

Dengan melaksanakan perintah Yesus untuk mengasihi sesama seperti diri sendiri, dan untuk mengasihi musuh-musuh kita, kita menunjukkan kesediaan kita untuk hidup seperti Bapa. Kasih Allah diwujudkan dalam dan melalui Kristus dan karyaNya, termasuk menyembuhkan yang sakit dan merangkul para pendosa. Dengan demikian Allah menyampaikan kasih, kerahiman dan ampunanNya kepada mereka yang tidak layak mendapatkannya (Mat 18:23-35; Luk 15:11-32). Tuhan ambil prakarsa – seperti dalam Perjanjian Lama – dan sepenuhnya tidak memandang jasa-jasa (Mat 10:6; 18:12-14; Luk 19:10).


C. Kasih dalam Tulisan Yohanes

Yohanes lebih condong pada istilah “kasih” yang menggambarkan perhatian Allah yang bebas dan tanpa hitungan pada kita. Kasih Allah pada kita itulah yang menyebabkan Dia mengutus PuteraNya sendiri ke dunia supaya Ia memberikan kepada kita hidup kekal (1 Yoh 4:9; Yoh 3:16; 13:34-35), dan hidup Allah dalam diri kita ditunjukkan dengan saling mengasihi satu sama lain: “Tidak ada seorangpun yang pernah melihat Allah. Jika kita saling mengasihi, Allah tetap di dalam kita, dan kasih-Nya sempurna di dalam kita” (1 Yoh 4:12; 3:24; 4:10). Yesus adalah Putera Allah yang tunggal (Yoh 1:130 dan Ia dikasihi Bapa (Yoh 3:35; 10:17; 15:9; 17:24). Sebaliknya, Putera mengasihi Bapa dan melakukan apa yang diperintahkan Bapa kepadaNya (Yoh 14:31; 15:10). Yesus juga mengasihi sahabat-sahabatnya begitu dalam sehingga Ia rela menyerahkan nyawaNya demi mereka (Yes 13:1; 1 Yoh 3:16) supaya membuat mereka dan kita bisa menjadi anak-anak angkat Bapa (1 Yoh 3:1).

Sebagai timbal baliknya, para murid diharapkan menunjukkan kasih mereka dengan meneladan kasih Putera dan Bapa yang menyatukan (Yoh 17:21-23). Sedemikian besarnya kasih itu sehingga bukan hanya kata-kata belaka; kasih itu harus diwujudkan dalam tindakan (1 Yoh 3:18), termasuk melaksanakan perintah Yesus (Yoh 14:15.21.23; 1 Yoh 5:3). Umat Kristen harus aling mengasihi satu sama lain (Yoh 13:34; 15:17) seperti kasih Kristus pada mereka (Yoh 15:12). Dalam Kristus yang mengasihi, kita dikasihi Bapa, dan Bapa serta Kristus akan tinggal dalam kita (Yoh 17:23-26).


D. Kasih dalam Tulisan Paulus

Sebanyak yang dilakukan Yohanes, Paulus menggunakan ancangan tiga bagian pada kasih: kasih pada Allah Bapa, kasih pada Kristus, dan kasih pada sesama demi Kristus dan Bapa. Penebusan kita melalui Kristus merupakan tanda yang sungguh agung dari kasih Allah kepada kita masing-masing: “Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku” (Gal 2:20). Kasihlah yang membuat Yesus Kristus diutus ke dunia dan kasih lah yang membuat Dia berkorban hingga wafat di Salib (Rm 5:8; Ef 5:2). Kasih Kristus kepada manusia membentuk dasar kehidupan Kristen. Kita mendapatkan manfaat dari pengorbanan kasih itu dalam penyerahan diri secara total kepada Kristus melalui iman.

Paulus menyampaikan ungkapan Perjanjian Baru yang paling mendalam mengenai konsep Kristen mengenai kasih di dalam 1 Kor 13, di mana ia mengajarkan bahwa ciri utama komunitas Kristen haruslah kasih. Karunia-karunia seperti kemampuan berbahasa dan bernubuat sama sekali tak ada harganya jika tanpa kasih (1 Kor 13:1-3). Ia kemudian melukiskan ciri-ciri pokok dari kasih: “Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu” (1 Kor 13:4-7). Kasih tak berkesudahan, tidak seperti nubuat dan kemampuan berbahasa; kasih tetap bertahan hingga akhir zaman, ketika segalanya akan disempurnakan. “Karena sekarang kita melihat dalam cermin suatu gambaran yang samar-samar, tetapi nanti kita akan melihat muka dengan muka. Sekarang aku hanya mengenal dengan tidak sempurna, tetapi nanti aku akan mengenal dengan sempurna, seperti aku sendiri dikenal. Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih.” (1 Kor 13:12-13).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar