Kamis, 07 Juli 2011

Karena Harapan Jadi Sabar dan Gigih

Ensiklik Paus Benediktus XVI (2007)
Spe Salvi ttg Harapan Kristen
Art 9

Karena tahu apa yang diharapkan, menghadapi pencobaan dengan sabar adalah penting bagi umat beriman supaya dapat menerima apa yang dijanjikan (Ibr 10:36). Dalam konteks agama Yahudi kuno, kata ini digunakan untuk mengungkapkan harapan akan Allah yang khas Israel; dengan bertekun mereka tetap setia pada Allah atas dasar kepastian Perjanjian, di tengah masyarakat yang melawan Allah. Maka kata itu mengisyaratkan harapan yang meresapi hidup, hidup yang didasarkan atas kepastian harapan. Dalam Perjanjian Baru harapan akan Allah ini, berdiri di pihak Allah, mempunyai arti signifikan yang baru: dalam Kristus Allah telah mewahyukan diri. Dia telah menyatakan kepada kita "substansi" dari hal-hal yang akan datang, dan dengan demikian harapan akan Allah mendapatkan suatu kepastian baru. Dari harapan akan hal-hal yang akan datang itulah sudah diberikan yang ada sekarang. Dengan pandangan ke depan itulah Kristus hadir, bersama Kristus yang sudah hadir, maju menuju penyempurnaan Tubuh-Nya, tekun menyongsong kedatangan-Nya yang definitif. (SS 9)

Harta yang Fana dan yang Kekal

Ensiklik Paus Benediktus XVI (tahun 2007)
Spe Salvi ttg Harapan Kristen
Art 8

Hyparchonta adalah harta, yang adalah pendukung hidup di dunia, yang tentu bersifat dasar, "substansi” yang padanya hidup kita bergantung. "Substansi" sumber jaminan hidup yang wajar ini telah dirampas dari umat Kristen selama masa penganiayaan. Meskipun begitu mereka tetap teguh bertahan karena mereka menganggap substansi materi ini dapat diabaikan. Mereka bisa melepaskannya karena mereka mempunyai "dasar" yang lebih baik bagi eksistensi mereka—sebuah dasar yang tetap, yang tidak seorangpun dapat mengambilnya. Hendaknya kita tidak meremehkan hubungan di antara kedua macam "substansi" ini, antara sarana pendukung hidup atau dasar materi, dan sabda iman sebagai "dasar", "substansi" yang tetap. Iman memberi hidup suatu dasar baru, sebuah fondasi baru tempat kita berdiri, yang merelatifkan fondasi biasa, yaitu kebergantungan pada perolehan materi. Suatu kebebasan baru tercipta dalam hubungan dengan fondasi hidup yang biasa, yang hanya mampu memberikan daya dukung, meskipun kebebasan baru ini jelas tidak menyangkal arti fondasi hidup yang biasa itu. Kebebasan baru ini, kesadaran akan "substansi" baru yang telah kita terima, terungkap tidak hanya dalam ke-martir-an, di mana orang melawan cengkeraman kekuatan ideologis dan organ-organ politisnya dan melalui kematian mereka memperbaharui dunia. Namun terutama, kebebasan baru itu diperlihatkan dalam tindakan penyangkalan diri dari rahib-rahib jaman kuno sampai kepada Santo Fransiskus Asisi dan orang zaman sekarang yang memasuki Institut dan Gerakan religius baru, meninggalkan semuanya demi kasih pada Kristus, demi memberikan kepada semua manusia iman dan kasih Kristus, dan untuk membantu mereka yang menderita baik jasmani maupun rohani. Pada mereka, "substansi" baru ini merupakan "substansi" yang sejati; dari harapan mereka yang telah disentuh Kristus inilah dibangkitkan harapan bagi orang yang masih hidup di dalam kegelapan dan tanpa harapan. Diperlihatkan bahwa hidup baru sungguh telah didapat dan jadi "substansi" yang menggerakkan hidup bagi sesama. Bagi kita yang telah merenungkan aneka gambaran ini, tindakan dan cara hidup mereka merupakan "bukti" bahwa hal-hal yang akan datang, janji Kristus, bukanlah hanya realitas yang masih kita tunggu, tapi sungguh sudah hadir (SS 8)

Rabu, 06 Juli 2011

Dua Gambaran Kristus

Ensiklik Paus Benediktus XVI (Tahun 2007)
Spe Salvi
Art 6

Peti mati di zaman awal Kekristenan menggambarkan secara visual konsep harapan dalam Kristus – dalam memandang kematian, berhadapan dengannya pertanyaan tentang makna hidup tak terelakkan lagi. Kristus pada ukiran peti mati kuno dilukiskan dengan dua gambaran: filsuf dan gembala. Filsafat pada masa itu belum dipandang sebagai suatu disiplin akademis yang sulit seperti saat ini. Namun, filsuf adalah seseorang yang dianggap tahu bagaimana mengajar kiat yang esensial: kiat menjadi manusia yang benar — kiat tentang bagaimana hidup dan bagaimana mati. Memang telah lama disadari bahwa banyak orang pergi berkeliling berpura-pura menjadi filsuf, guru kehidupan, pada hal sebenarnya mereka hanyalah pembual yang mencari uang dengan kata-kata mereka, namun mereka tidak berkata sepatahpun tentang hidup yang nyata. Lebih dari itu, filsuf sejati yang sungguh tahu bagaimana menunjukkan jalan hidup sangat dicari. Menjelang akhir abad ketiga, pada peti mati seorang anak di Roma dalam konteks kebangkitan Lazarus, kita temukan pertama kalinya gambar Kristus sebagai seorang filsuf sejati, yang memegang Injil di satu tangan dan tongkat perjalanan yang biasa dibawa filsuf di tangan yang lain. Dengan tongkat-Nya, dia mengalahkan kematian; Injil membawa kebenaran yang dicari para filsuf keliling dengan sia-sia. Dalam gambar ini, yang lalu bertahan menjadi fitur umum dalam seni ukir peti mati, kita lihat dengan jelas apa yang disadari baik oleh kaum terdidik maupun oleh orang biasa dalam Kristus: Dia mengajar kita siapa manusia sebenarnya dan apa yang harus dilakukan untuk menjadi manusia sejati. Dia menunjukkan jalan, dan jalan ini adalah kebenaran. Dia sendiri adalah jalan dan kebenaran itu, dan karenanya Dia jugalah hidup yang dicari semua orang. Dia juga menunjukkan bagi kita jalan di balik kematian; hanya Dia yang mampu melakukan inilah guru hidup yang sejati. Konsep yang sama menjadi tampak pada gambar gembala. Seperti gambar filsuf, gambar gembala juga dikenal Gereja awal sebagai model lukisan Romawi saat itu. Gambar gembala umumnya mengungkapkan keinginan akan hidup tenteram sederhana, yang dirindukan orang di tengah hiruk pikuk kota-kota besar. Kini gambar itu dipahami sebagai bagian dari skenario baru yang isinya lebih dalam: "Tuhan adalah gembalaku: takkan kekurangan aku ... Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku..." (Mzm 23:1, 4). Gembala sejati adalah Dia yang mengenal jalan keluar dari lembah kematian; Dia yang berjalan denganku bahkan di jalan kesendirian terakhir, ketika tak seorang pun ada di sisiku, Dia menuntunku melaluinya; Dia sendiri telah menempuh jalan itu, Dia telah turun ke kerajaan maut, Dia telah mengalahkan kematian, dan sekarang Dia kembali untuk membimbing dan memberi kita kepastian bahwa bersama dengan-Nya, kita bisa menemukan jalan tembus itu. Kesadaran bahwa ada Dia yang bahkan dalam kematian menemani aku, dan dengan "gada dan tongkat-Nya menghibur aku", sehingga "aku tidak takut bahaya" (bdk. Mzm 23:4) - inilah "harapan" baru yang muncul atas hidup orang yang percaya. (Spe Salvi 6)

Mengubah Dari Dalam

Ensiklik Paus Benediktus XVI (Tahun 2007)
Spe Salvi ttg Harapan Kristen
art 4

Dalam surat Paulus kepada Filemon (surat pribadi Paulus dari penjara yang dititipkannya kepada budak pelarian, Onesimus, untuk majikannya, Filemon. Ya, Paulus yang mengirim budak itu kembali pada majikan yang ditinggalkannya), bukan memerintah tapi meminta: "kepadamu mengenai anakku yang kudapat selagi aku dalam penjara [...] dia kusuruh kembali kepadamu, dia, yaitu buah hatiku [...] mungkin sebab itulah dia dipisahkan sejenak darimu, supaya engkau dapat menerimanya untuk selamanya, bukan lagi sebagai hamba tapi lebih dari pada hamba, yaitu sebagai saudara yang terkasih" (Flm 10-16). Orang-orang yang tadinya menurut status hukum adalah majikan dan budak, begitu menjadi anggota Gereja yang satu, berubah menjadi saudara dan saudari — demikianlah umat Kristen menyebut satu sama lain. Oleh baptisan mereka telah dilahirkan kembali, diberi minuman dari Roh yang sama dan mereka serentak menerima Tubuh Tuhan dengan berdampingan. Meski struktur yang tampak di luar tetap sama, namun ini mengubah masyarakat dari dalam. (Spe Salvi 4)

Yosefin Bakhita dan Harapannya

Ensiklik Paus Benediktus XVI (tahun 2007)
Spe Salvi
artikel 3

Kami mengarahkan kenangan pada Yosefin Bakhita, yang dinyatakan kudus oleh Paus Yohanes Paulus II. Dia dilahirkan sekitar tahun 1869—dia sendiri tidak tahu tanggal persisnya—di Darfur - Sudan. Pada usia sembilan tahun dia diculik pedagang budak, dipukuli sampai berdarah, dan dijual lima kali di pasar budak Sudan. Pada akhirnya dia bekerja menjadi budak seorang ibu dan isteri seorang pejabat, dan di tempat itu dia didera setiap hari sampai berdarah; hingga dia memiliki 144 bekas luka sepanjang hidupnya. Akhirnya, pada 1882, dia dibeli seorang pedagang Italia untuk seorang konsul Italia Callisto Legnani, yang kembali ke Italia ketika kaum Mahdi maju menyerang. Setelah mengenal “tuan-tuan” majikan yang menakutkan selama itu, kini Bakhita mengenal "Tuhan” baru yang berbeda — yang dalam dialek Venesia yang dipelajarinya disebut "paron", Allah yang hidup, Allah dari Yesus Kristus. Selama itu dia hanya mengenal majikan-majikan yang merendahkan dirinya dan memperlakukannya dengan buruk, atau paling-paling hanya menganggap dia sebagai seorang budak yang berguna. Namun sekarang dia mendengar tentang seorang "paron" di atas semua majikan, Tuhan semua tuan, dan Tuhan ini baik, disebut Yang Mahabaik. Dia tahu bahwa Tuhan ini bahkan mengenalnya, bahwa Dia telah menciptakannya—bahwa Dia nyata-nyata mengasihinya. Dia juga dicintai oleh "Paron" tertinggi, yang dihadapan-Nya semua majikan tidak lebih dari pelayan-pelayan rendah. Yosefin Bakhita tahu bahwa ia dikenal dan dicintai dan ditunggu oleh-Nya. Terlebih lagi, Tuhan itu sendiri telah mengalami nasib didera, dan sekarang Dia menanti Yosefin "duduk di sebelah kanan Bapa". Sekarang dia mempunyai "harapan"—tidak lagi sekedar harapan sederhana untuk bertemu para majikan yang kurang kejam, tapi suatu harapan besar: "Aku benar-benar dikasihi dan apapun yang terjadi padaku—aku ditunggu oleh Kasih ini. Maka hidupku sungguh baik." Dengan mengenal harapan ini dia telah "ditebus", bukan lagi seorang budak, tapi seorang anak Allah yang bebas. Dia memahami apa yang dimaksud ketika Paulus mengingatkan umat Efesus bahwa sebelumnya mereka tidak berpengharapan dan tanpa Allah di dalam dunia—tanpa harapan karena tanpa Allah. Oleh karena itu, ketika Yosefin Bakhita akan dikembalikan ke Sudan, Bakhita menolak; dia tidak ingin dipisahkan dari "Paron"-nya. Pada 9 Januari 1890, dia dibaptis dan mendapat urapan krisma serta menerima Komuni Kudus pertama dari tangan Uskup Venesia. Pada 8 Desember 1896, di Verona, dia mengucapkan kaul pada Kongregasi Suster Kanossiana dan sejak saat itu, di samping pekerjaannya di sakristi dan sebagai penjaga pintu biara, dia telah melakukan beberapa perjalanan keliling Italia untuk mempromosikan misinya: pembebasan yang telah diterimanya melalui perjumpaannya dengan Tuhan Yesus Kristus, menurut pendapatnya juga harus dia bagikan, harus diberikannya kepada yang lain, kepada sebanyak mungkin orang. Harapan yang ada padanya dan yang telah "menebus"-nya tidak dia nikmati sendiri; maka harapan ini disalurkannya kepada orang lain sebanyak-banyaknya, supaya juga dimiliki semua orang. (Spe Salvi 3)