Sabtu, 28 Agustus 2010

St Agustinus

St Agustinus adalah orang Afrika Utara dari suku Berber yang dilahirkan pada tahun 354 di Tagaste (sekarang Souk Ahras, Aljazair). Pada usia 11 tahun ia dikirim sekolah di Madaurus, suatu kota di sebelah selatan Tagaste. Ia gemar membaca sastra Latin dan memelajari kepercayaan dan praktek kafir, sebab ayahnya seorang kafir. Ketika usia 17 ia belajar di Kartago dan belajar filsafat dan retorika. Walaupun ibunya, Monika, mendidiknya secara katolik dan saleh, Agustinus meninggalkan gereja dan mengikuti agama Manikea, sehingga membuat ibunya putus asa. Agustinus muda hidup bersenang-senang, memiliki pacar bernama Floria Aemilia, dan mempunyai anak dengan dia, Adeodatus, yang mati muda. Ia pulang ke Tagaste dan menjadi guru sekolah dasar (373-374), lalu balik kembali ke Kartago dan mengajar retorika selama sembilan tahun. Pada tahun 383 ia pindah ke Roma dan mendirikan sekolah di sana, tapi usahanya gagal. Seorang teman lalu mengenalkan dia dengan prefek kota Roma, yang mengangkatnya menjadi guru di sekolah kekaisaran di Milano. Dari situ ia membangun suatu karir politik. Dalam suatu perjalanan untuk menyampaikan pidato di depan kaisar, seorang pengemis mabuk yang lewat di jalan memberi teguran kepadanya, bahwa hidupnya tiada berarti. Kejadian itu mengubah hidupnya.
Sudah sejak di Kartago ia kecewa dengan teolog agama Manikea dan mulai memisahkan diri. Ia sama sekali melepaskan diri dari kepercayaan Manikea ketika di Roma. Ketika ia pindah di Milano, Monika, ibunya menyusul dan mendesaknya agar kembali lagi ke dalam pelukan Gereja dan belajar agama katolik. Ia mendapat bimbingan dari St Ambrosius, uskup Milano, yang juga seorang ahli retorika, lebih tua dan lebih pengalaman. Namun ia masih belum meninggalkan sepenuhnya hidupnya yang berdosa dan sempat menunda-nunda, hingga dikenal dengan doanya: “Berikan padaku hidup pantang dan murni, tapi nanti dulu” (da mihi castitatem et continentiam, sed noli modo) – Konfesiones VIII, 7, 17).
Pada tahun 386 ia mempelajari riwayat hidup tokoh hidup membiara St Antonius dari Padang Gurun yang sangat besar pengaruhnya. Suatu pengalaman rohani menjadi titik balik hidupnya. Ketika berada di taman dia seolah mendengar suara seorang anak yang menyanyi dan seperti berkata: Tolle, lege (ambil dan bacalah). Ia meraih kitab suci yang ada di dekatnya dan secara acak membukanya, dan mendapatkan Surat Kepada Jemaat Roma 13: 13-14. Ia menjadi berubah seratus persen. Ia bertekat akan menjadi katolik dan dibaptis oleh Ambrosius; ia meninggalkan karirnya dalam hal retorika. Pada tahun 388 ia pulang kembali ke Afrika meninggalkan gagasan tentang hidup perkawinan dan menjual segala miliknya, kecuali rumah keluarga yang diubahnya menjadi biara yang didirikannya dengan beberapa teman untuk hidup selibat membaktikan diri sepenuhnya kepada Tuhan, dan pada tahun 391 ia ditahbis menjadi imam. Ia menjadi pengkhotbah ulung, dan pada tahun 396 ia diangkat menjadi Uskup ko-ajutor di Hippo, dan kemudian menjadi uskup penuh menggantikan uskup Hippo yang wafat. Jabatan itu disandangnya sampai ia wafat pada tahun 430. Ia mewariskan Regula, yaitu aturan hidup membiara yang menjadi pedoman umum yang besar pengaruhnya pada berbagai ragam biara-biara hingga sekarang.
Beberapa perkataan/nasehat Agustinus yang terkenal dan sering direnungkan:
"Kasihilah orang pendosa tapi bencilah dosa" (Cum dilectione hominum et odio vitiorum) (Opera Omnia, II. 962, 211).
"Serba berlebihan atau ekses adalah musuh Tuhan" (Luxuria est inimica Dei.)
"Hati berbicara dengan hati" (Cor ad cor loquitur)
"Yang menjadi pemenang hanyalah kebenaran, dan kebenaran yang jaya adalah kasih" (Victoria veritatis est caritas}
"Menyanyi sama dengan berdoa dua kali" (Qui cantat, bis orat)
"Laksanakan kasih, dan lakukan apa yang kamu inginkan" (Dilige et quod vis fac)
"God, O Lord, grant me the power to overcome sin. For this is what you gave to us when you granted us free choice of will. If I choose wrongly, then I shall be justly punished for it. Is that not true, my Lord, of whom I indebted for my temporal existence? Thank you, Lord, for granting me the power to will my self not to sin.” (Free Choice of the Will, Book One)
"Kristuslah Guru yang ada dalam diri kita” (De Magistro - 11:38)
"Dengarkan pihak yang lain" (Audi partem alteram) De Duabus Animabus, XlV ii
"Ambil dan bacalah" (Tolle, lege) Confessions, VIII, 12
"Bagi banyak orang, berpuasa sama sekali (karena tidak ada yang harus dinikmati) itu jauh lebih mudah dari pada menahan diri (menghadapi kenikmatan yang tersedia)." (Multi quidem facilius se abstinent ut non utantur, quam temperent ut bene utantur. –
"Harapan punya dua anak cantik. Namanya Amarah dan Keberanian. Amarah ada pada jalan yang biasa-biasa saja, tetapi Keberanian mau mengambil jalan lain yang luar biasa." (dikutip dalam William Sloane Coffin, The Heart Is a Little to the Left)

Minggu, 08 Agustus 2010

Yohanes Baptista Maria Vianney

Pastor di suatu desa kecil, Ars, di Perancis, yang dalam hidupnya ia berkarya selama 40 tahun pada masa Revolusi Perancis. Pada 4 Agustus 1859 ia wafat, dan pada 5 Januari 1905 dimintakan beatifikasi. Pada Mei 1925 ia dinyatakan sebagai orang kudus, pelindung “para imam, gembala jiwa-jiwa di seluruh dunia”, oleh Paus Pius XI.
Pada 1 Agustus 1959, dalam rangka menyambut 100 tahun wafatnya YM Vianney, Paus Yohanes XXIII menerbitkan ensiklik Primarii Nostri Sacerdoti mengenai imam dan teladan St Yohanes Maria Vianney. Menurut beliau St Yohanes Maria Vianney adalah pribadi yang menarik dan praktis mendorong hidup imamat hingga setinggi-tingginya, sebagai sahabat-sahabat Kristus Tuhan (art 7). Maria Vianney merupakan teladan dalam hal semangat pastoral, devosi doa, dan ketekunannya dalam sakramen pengampunan, dan menjadi model asketisme dan kesalehan, khususnya dalam devosi kepada Ekaristi (art 9).
Ia mengikuti nasehat-nasehat Injil dalam hal kemiskinan, kemurnian dan ketaatan, dengan bersikap keras pada dirinya sendiri, tetapi lembut pada orang lain (art 11), mengingatkan para imam bahwa “diperlukan kesucian batin yang lebih besar daripada yang dituntut oleh status hidupnya sebagai rohaniwan”, juga sekalipun sebagai imam diosesan (Praja) yang untuk itu memerlukan kerjasama dengan Ordo religius yang direstui Gereja (art 12). Mengikuti sabda Guru Ilahi, “Jika seseorang hendak mengikut Aku, ia harus menyangkal diri, memikul salibnya dan mengikut Aku”, pastor dari Ars yang suci itu menerapkan sabda itu dalam tindakannya sehari-hari (art 13). Dalam hal kemiskinan, imam yang rendah hati dari Ars itu menjadi anggota Ordo Ketiga St Fransiskus Asisi dengan mengikuti peraturannya dengan setia. Ia merelakan apa saja untuk orang lain dan tidak menyimpan sesuatu bagi dirinya sendiri (art 14). Kebebasannya dari harta benda duniawi membuatnya bersungguh-sungguh di dalam menolong kaum miskin, terutama di dalam parokinya sendiri, dengan kasih yang besar, dengan kebaikan hati yang tulus, dan dengan menghormati mereka. Karena ia melakukan pantang dan puasa setiap hari, jika ada pengemis mengetuk pintunya, ia menerima mereka dengan senang dan dapat berkata ‘Aku juga hidup dalam kekurangan; aku sama dengan Anda’. Dan kepada orang yang akan mati ia berkata, ‘Aku akan bahagia jika boleh mati sekarang, sebab aku tidak punya apa-apa; maka jika Tuhan dalam kebaikanNya menganggap tepat untuk memanggilku, aku sudah siap dan akan berangkat.’ (art 15). Mengingat Maria Vianney itu, Pius XI menyatakan: “imam-imam yang hidupnya bersahaja dan mengikuti ajaran Injil dengan mengesampingkan kepentingannya sendiri niscaya mendatangkan berkat manfaat bagi lebih banyak umat (art 16). Sebaliknya, pastor dari Ars itu juga menyuarakan kecaman keras pada zamannya: “Ada banyak orang menyembunyikan uang mereka, sementara sesamanya banyak yang mati kelaparan.” Namun ini tidak berarti bahwa imam tidak boleh mempunyai uang untuk keperluan hidupnya, dan karena setiap pekerja harus mendapatkan upah yang adil, para imam juga harus mendapatkan santunan sepantasnya untuk pekerjaannya (art 19).
Dalam hal kemurnian Yohanes Maria Vianney juga menjadi teladan para imam di tengah zaman yang terinfeksi oleh moralitas yang longgar dan hawa nafsu yang tak pernah puas. Dengan latihan-latihan pantang dan puasa ia menempa tubuhnya sendiri bagaikan atlet Kristus, namun sekaligus menunjukkan kelembutan pada mereka yang datang kepadanya. Melalui sakramen tobat ia terus menerus mengendalikan hasrat-hasrat yang tidak murni. “Hanya langkah-langkah pertama saja yang sulit bagi siapapun yang akan menempuh jalan ini,” katanya (art 24). Dalam keyakinannya “Hanya jiwa yang murni saja yang dapat mengasihi orang lain, setelah ia sendiri menemukan sumber kasih...yaitu Tuhan” maka menurut Maria Vianney, kasih imamat seharusnya mengalir dari Hati Kudus Yesus (art 25).
Dalam hal ketaatan Maria Vianney menjadi teladan dalam ketekunannya melaksanakan imamat melayani umat di desa kecil Ars selama 40 tahun. Sebenarnya ia lebih suka hidup menyendiri sebagai pertapa. Tetapi Tuhan tidak mengizinkannya. Ia diajar untuk melaksanakan tugas yang diberikan uskup dengan setia sebagai pelayan umat hingga wafatnya (art 27-28). Sehubungan dengan itu Paus Pius XII menulis: “Kesucian hidup dan efektivitas kerasulan apapun mendapatkan dasar dan dukungan dari ketaatan yang tetap dan setia kepada pemimpin gereja.” (art 30). Melalui ketaatan itu imam tidak bekerja sendiri, melainkan di dalam persaudaraan dengan yang lain dalam ikatan mesra dengan Bunda Gereja, saling menguatkan (art 31-34).
Suatu hal yang juga mencolok pada Pastor dari Ars ini adalah kehidupan doanya. “Para imam terhambat mendapatkan kesucian karena tak memberikan kesempatan yang luas pada dirinya untuk memikirkan apa yang sesungguhnya harus dilakukan. Kita memerlukan renungan yang mendalam, dalam doa dan persekutuan yang mesra dengan Tuhan.” Betapapun sibuknya, Maria Vianney dikatakan “tidak pernah lupa berwawancara dengan Tuhan.” (art 37). Bagi dia “Kita adalah peminta-minta yang harus memohon apa saja dari Tuhan”. “Doa yang bersungguh-sungguh kepada Tuhan merupakan kebahagiaan manusia di dunia” (art 38).
Dalam rangka peringatan 150 tahun wafatnya Santo Yohanes Maria Vianney, Paus Benediktus XVI menyatakan tahun 2009 sebagai Tahun Imam, dan para imam diajak bercermin kembali kepada teladan-teladan Santo Yohanes Maria Vianney.

Pernyataan Kasih St Yohanes Maria Vianney

I love You, O my God and my sole desire is to love You until the last breath of my life.
I love You, O infinitely lovable God and I prefer to die loving You than live one instant without loving You.
I love You, O my God, and I do not desire anything but heaven so as to have the joy of loving You perfectly.
I love You, O my God, and I fear hell, because there will not be the sweet consolation of loving You.
O my God, if my tongue cannot say in every moment that I love You, I want my heart to say it in every beat. Allow me the grace to suffer loving You, to love you suffering and one day to die loving You and feeling that I love You. And as I approach my end, I beg you to increase and perfect my love of You.


Aku mencintai Dikau, ya Tuhanku, dan hasratku adalah hanya mengasihi Dikau sampai napas terakhirku.
Aku mencintai Dikau, O Tuhanku yang sangat terkasih, dan aku lebih suka mati dengan mengasihi Dikau, daripada hidup tanpa mengasihi Dikau.
Aku mencintai Dikau, Tuhan, dan hanya surga yang kuharapkan, supaya aku mempunyai kegembiraan untuk mengasihi Dikau dengan sempurna.
Aku mencintai Dikau, ya Tuhan, dan aku takut neraka, karena di sana tidak ada manisnya cinta dalam kasih padaMu.
Tuhanku, jika lidahku tak mampu mengucapkan setiap saat betapa aku cinta pada Dikau, semoga hatiku berulang-ulang menyatakan kasihku pada-Mu seiring tarikan napasku. Berilah aku rahmat penderitaan demi kasih kepadaMu, untuk mengasihi Engkau dengan menderita dan suatu hari mati dengan mengasihi Dikau dan menyadari bahwa Aku mencitai Dikau. Dan jika hari akhirku semakin dekat, kumohon tambahkanlah dan sempurnakanlah cintaku kepadaMu.

Senin, 02 Agustus 2010

Digiling dan Diremukkan, Sebagai Bulir-bulir Gandum

Ketika di dalam Misa kita merenungkan kisah kurban Yesus (dalam Doa Syukur Agung, pusat liturgi), kita mengalami “kehadiran nyata” dari peristiwa wafat dan kebangkitan Kristus, dan kita ikut serta di dalamnya. Bagaimana caranya? Kita ikut serta dalam kurban Yesus bagi kita itu jika kita seperti Dia, membiarkan diri kita diremukkan, jika kita seperti Dia tidak lagi menjadi diri kita sendiri. Ekaristi sebagai kurban mengundang kita menjadi seperti bulir-bulir gandum yang digunakan untuk membuat hosti, dan butir-butir buah anggur untuk membuat minuman anggur, dipreteli dan digiling, sehingga kita menjadi bagian dari hosti komuni dan anggur dalam cawan kurban.
Kadang-kadang ketika membagikan komuni Santo Agustinus tidak berkata, “Tubuh Kristus,” melainkan “Terimalah dirimu.”
Ia menyatakan sesuatu yang tepat. Yang terjadi dalam Ekaristi menurut St Agustinus ialah bahwa kita semua, dengan mempersembahkan diri sebagai kurban atas segala sesuatu yang mencerai-beraikan kita, tentulah juga menjadi Tubuh dan Darah Kristus.
Lebih dari sekedar roti dan anggur, kita semua harus berubah dengan seluruh hakekat kita. Ekaristi sebagai kurban, meminta kita menjadi roti yang dipecah-pecahkan dan piala kerentanan kita. (Ronald Rolheiser OMI. Terjemahan Bambang Kuss)