Senin, 31 Mei 2010

Tuhan, Engkaulah Tujuan Hidup Kami

Tidak ada tujuan lain lagi selain Tuhan, yang menjadi tujuan segala sesuatu.
Jika orang bertanya tentang tujuan suatu kegiatan, maka pada ujung-ujungnya nanti, jika dia terus saja bertanya lebih jauh, dan jika pertanyaannya serius, maka dia akan sampai pada tujuan segala sesuatu, tujuan terakhir dan makna dari hidup kita.
Dan sesungguhnya berkenaan dengan itulah agama-agama berkisar.
Suatu agama yang menyatakan dirinya berguna untuk beberapa macam tujuan lain – misalnya karena membantu anda hidup stabil, atau karena membebaskan orang dari stres, atau membuat anda kaya - maka agama itu salah sasaran. Jika agama itu membenarkan dirinya mengabdi pada tujuan yang berbeda dari tujuan akhir hidup manusia, maka agama itu bukanlah agama yang perlu ditanggapi dengan serius.
Tujuan setiap agama adalah menunjukkan kepada kita bahwa Tuhan adalah tujuan segala sesuatu.
Karena itu tak ada gunanya bertanya, apakah kepercayaan kepada Tuhan itu relevan, karena Tuhan justru merupakan ukuran segala relevansi itu sendiri. (Tim Radcliffe).

Minggu, 30 Mei 2010

Visitasi Maria

Visitasi adalah Episode di dalam Injil di mana Maria, Ibu Yesus melakukan perjalanan ke rumah sanak-sepupunya, Elisabet, untuk membantu mempersiapkan tiga bulan terakhir kandungannya menuju persalinan (Luk 1:39-56). Kata-kata Elisabet dalam perjumpaan dengan Maria digunakan Gereja sebagai bagian pertama dari doa Salam Maria (Luk 1:42), dan Maria menanggapi salam Elisabet itu dengan suatu kidung yang dikenal sebagai Magnificat (Kidung Maria, Luk 1:46-55).


Magnificat adalah kata pertama dalam Kitab Suci Versi Bahasa Latin, Vulgata, dalam Luk 1:46-55, suatu kidung atau Nyanyian Pujian Maria dalam bahasa Latin yang diawali dengan baris “Magnificat anima mea Dominum” (Jiwaku memuliakan Tuhan). Kidung itu diucapkan Maria ketika mengunjungi Elisabet. Di dalamnya dipinjam gambaran-gambaran dan ungkapan dari Mazmur Perjanjian Lama dan sangat mirip dengan Kidung Hana (1 Sam 2:1-10). Dinyatakan betapa Tuhan telah membebaskan dan mengangkat kehinaan hambaNya dan mengungkapkan kegembiraan Maria karena dipilih oleh Allah untuk menjadi alat kerahiman dan kasihNya..


Masa awal hidup Maria tidak tertulis dalam Kitab Suci. Rincian mengenai latar belakang keluarga dan pengasuhannya hingga dewasa baru kemudiaan disampaikan oleh tradisi dan legenda. Salah satu tradisi yang berasal dari abad kedua M memperkenalkan Maria sebagai puteri dari pasangan Yahudi yang saleh bernama Yoakim dan Hana yang sudah lama tidak mempunyai anak, tetapi sesudah tekun berdoa dan berjanji akan membaktikan dalam Bait Allah anak yang akan diperoleh, mereka diberkati Tuhan dengan seorang anak yang mereka namakan Maria. Maria tinggal dengan orangtuanya sampai berumur tiga tahun, dan kemudian dibawa ke Yerusalem dan hidup di dalam persaudaraan para perawan Bait Allah sampai usianya dua belas tahun [empat belas tahun menurut tradisi yang lain, lih. Evangelium de Nativitas Mariae (5:3-4)]. Lalu ia dipertunangkan dengan Yusuf, seorang pembangun rumah dan duda yang mempunyai beberapa anak dari perkawinannya yang terdahulu (Proto-evangelium Iacobi, 1-9).


Matius dan Lukas memperkenalkan Maria sebagai perawan yang ditunangkan dengan Yusuf, dari keluarga keturunan Daud (Mat 1:18-21; Luk 1:26-27). Sebelum pasangan itu tinggal serumah sebagai suami isteri, Maria dikunjungi oleh malaikat Gabriel dan padanya disampaikan undangan untuk menjadi ibu Mesias (Luk 1:28-38). Dengan menyetujui tawaran itu Maria mengandung seorang anak, bukan dari hasil perkawinannya dengan Yusuf, melainkan dari pekerjaan ajaib Roh Kudus (Mat 1:18). Bisa dimengerti jika Yusuf bingung setelah mengetahui bahwa Maria mengandung dan bermaksud membatalkan pertunangannya dengan diam-diam sampai seorang malaikat meyakinkan dirinya bahwa Tuhan menghendaki Yusuf menjadi ayah menurut hukum dan pengasuh anak itu (Mat 1:19-25). Kemudian, Maria pergi mengunjungi kerabat sepupunya yang lebih tua, Elisabet (Luk 1:39-45), suatu perjumpaan yang membuatnya melantunkan nyanyian pujian, Magnificat (Luk 1:46-55).

Tradisi Kristen menyebut Maria sebagai “tabut Perjanjian Baru”, dengan menarik kesejajaran antara ibu Yesus itu dengan tabut emas Perjanjian Lama tempat Tuhan bersemayam di kemah suciNya (Kel 25:10-32). Dasar tipologi Maria ini berakar pada Perjanjian Baru sendiri, dan yang paling jelas dalam Injil Lukas.

Kisah Kunjungannya kepada Elisabet dalam Injil Lukas mengajak para pembaca melihat kesejajaran antara kedatangan Maria di rumah Elisabet (Luk 1:39-56) dengan pemindahan tabut perjanjian yang dilakukan Daud ke Yerusalem, dan menggemakan beberapa detil dari kisah yang dicantumkan dalam kitab 2 Samuel. Ceritanya dimulai dengan perkataan bahwa Maria “berangkat dan berjalan” ke daerah pegunungan Yudea (Luk 1:39), seperti Daud “bersiap lalu berjalan” menuju perbukitan Yehuda untuk mengusung tabut perjanjian dari sana (2 Sam 6:2). Ketika Maria sampai di tempat tujuannya, Elisabet rendah hati di hadapan Maria (Luk 1:43), seperti Daud takut di hadapan tabut Tuhan (2 Sam 6:9). Namun, gembira oleh perjumpaan itu membuat Yohanes Pembaptis melonjak kegirangan di dalam rahim ibunya, Elisabet (Luk 1:41) mengingatkan bagaimana Daud menari-nari dengan gembira di hadapan tabut (2 Sam 6:16). Penulis Injil akhirnya menyatakan bahwa Maria tinggal selama”tiga bulan” (Luk 1:56) di “rumah Zakharia” (Luk 1:40), suatu detil yang mengingatkan bahwa tabut perjanjian juga “tiga bulan” lamanya tinggal di “rumah Obed-Edom” (2 Sam 6:11).

Lukas juga menjalin hubungan yang sangat halus dengan kisah tabut dalam kitab 1 dan 2 Tawarikh. Hubungan itu tampak ketika Elisabet, seorang keturunan Lewi dari Harun (Luk 1:5) “berseru dengan suara nyaring” memuji berkat yang diterima kerabatnya itu (Luk 1:42). Kata kerja Yunani yang digunakan si situ, “anaphoneo”, jarang dipakai dan tidak ada di tempat lain dalam Perjanjian Baru. Kemungkinan sekali Lukas meminjam kata itu dari bahasa Yunani Perjanjian Lama, di mana kata kerja itu muncul lima kali dan digunakan untuk melukiskan tetabuhan musik kaun Lewi di hadapan tabut perjanjian (1 Taw 15:28; 16:4-5; 2 Taw 5:3). Tipologi penggambaran Maria sebagai tabut perjanjian dari Perjanjian Baru dengan demikian dikuatkan lagi. Karena di dalam rahimnya tinggallah hadirat ilahi Allah Israel, maka tanggapan tradisi atas kehadiran ini adalah pernyataan pujian dengan suara dan tetabuhan musik Lewi.