Selasa, 09 November 2010

Seminari Tinggi Kentungan MOHON BANTUAN

Saya ingin meneruskan permintaan bantuan yang disampaikan Seminari Tinggi St Paulus, Kentungan, Jogjakarta, yang terletak sekitar 7 km di sebelah utara Jogja ke jalan menuju Kaliurang, di lereng Merapi.
Dengan terjadinya erupsi Merapi, Seminari Tinggi menjadi tempat pengungsian sebagian warga. Facebook Seminari Tinggi Kentungan menyatakan sbb: "apakah ada donatur yg berkenan menyumbang beras dan sayuran ke seminari...persediaan kami menipis buat 936 orang pengungsi... setiap hari kami butuh 3 kwt beras...matur nuwun..."
Terima kasih untuk perhatian dan dukungan teman-teman.

Selasa, 02 November 2010

Doa Arwah dan Api Penyucian

Gereja adalah keluarga Allah. Ini bukan suatu kiasan, tetapi kenyataan. Yesus mewahyukan Allah sebagai Bapa, dan para anggota Gereja adalah putera dan puteri angkatNya. Kita semua adalah saudara dan saudari dari Putera Allah, Yesus Kristus, yang mengajar, “Sebab siapa pun yang melaksanakan kehendak BapaKu yang di surga, dia adalah saudaraKu laki-laki dan saudaraKu perempuan, dia adalah ibuKu” (Mat 12:50). Ini menyiratkan bahwa semua anggota Gereja, baik yang masih hidup maupun yang sudah mati, berhubungan satu sama lain sebagai saudara dan saudari di dalam Yesus Kristus dan sebagai putera dan puteri Allah, Bapa kita.
Teologi Katolik menyebut konsep Gereja sebagai keluarga Allah ini “persekutuan para kudus”.
Ada sebagian anggota Gereja yang telah meninggal dan belum masuk dalam hadirat Allah yang mulia karena masih dilekati dosa-dosa yang belum disesali, atau karena akibat dari dosa masih tersisa pada saat kematian mereka. Orang Katolik percaya sejak masa Gereja Awal, bahwa Allah dalam kerahimanNya memurnikan mereka dan membersihkan mereka dari dosa-dosa dan akibat-akibatnya, sehingga mereka pantas masuk ke hadirat Allah mahakudus, yang di hadapanNya ‘tidak akan masuk ke dalamnya sesuatu yang najis’ (Why 21:27). Inilah karya akhir dari Allah, yang membebaskan umatNya dari sisa-sisa ikatan dosa, yang disebut api penyucian.
Sebagaimana Allah menyucikan bibir yang kotor dari nabi Yesaya dengan batubara yang menyala (lih Yes 6:5-7), demikian jugalah mereka semua yang pada dasarnya setia kepada panggilan dan rahmat Allah dalam hidupnya akan dibersihkan dari dosa-dosanya di api penyucian. Banyak orang Katolik berpegang pada perikop Surat Santo Paulus kepada jemaat di Korintus yang pertama (1 Kor 3:11-15) yang menyatakan bahwa untuk menguji pekerjaan seseorang, dan digunakan menjadi rujukan untuk api penyucian, di mana: “Jika pekerjaannya terbakar, ia akan menderita kerugian, tetapi ia sendiri akan diselamatkan, tetapi seperti dari dalam api” (1 Kor 3: 15). Karena pemurnian dengan api adalah menderita, demikian pulalah Tuhan menderita setiap kali Ia membebaskan kita dari pola ikatan dosa dalam hidup ini, maka umat Kristiani sudah sejak lama mempunyai tradisi untuk mendoakan mereka yang sudah meninggal. Kita memohon agar Allah mengasihani mereka, dengan mendoakan supaya pemurnian yang memang perlu untuk bisa masuk surga agar lebih cepat diselesaikan. Banyak pemimpin Gereja Awal mendorong umat agar mendoakan arwah mereka yang telah meninggal karena alasan ini, dan Konsili Vatikan Kedua mengajar: “Karena sangat menyadari ikatan yang mempersatukan seluruh Tubuh Mistik Kristus itu, Gereja yang masih berziarah [di dunia] sejak masa awal agama Kristiani memelihara dengan khidmat kenangan akan mereka yang telah meninggal. Karena “sungguh suatu pikiran yang mursid dan saleh mendoakan mereka yang sudah meninggal supaya mereka dilepaskan dari dosa mereka (2 Mak 12:45), maka Gereja juga mempersembahkan kurban silih bagi mereka.”
Maka jelaslah bahwa bagi Gereja, persekutuan para kudus, sungguh-sungguh merupakan keluarga Allah yang semua anggotanya saling mengasihi dan memperhatikan satu sama lain. Seperti ujung gunung es di laut, ujung yang kelihatan dari Gereja, yaitu mereka yang masih hidup dalam Gereja di dunia sekarang, langsung bisa kita lihat sekalipun tanpa menggunakan mata iman. Namun dengan mata iman, kita mengetahui bahwa Gereja juga meliputi mereka yang kini berdiri di hadapan tahta Allah dalam kemuliaan, dan mereka yang menunggu diperkenankan masuk surga ke hadapan Allah dengan mengalami penyucian dari dosa dan akibat-akibatnya.
Konsep persekutuan para kudus, yaitu Gereja sebagai keluarga Allah, tentulah memberikan semangat yang besar pada kita. Kita tidak sendirian, tetapi merupakan bagian dari begitu banyak kaum beriman dari segala masa. Surat Ibrani menyerukan:“Karena kita mempunyai banyak saksi, bagaikan awan yang mengelilingi kita, marilah kita menanggalkan semua beban dan dosa yang begitu merintangi kita, dan berlomba dengan tekun dalam perlombaan yang diwajibkan bagi kita. Marilah kita melakukannya dengan mata yang tertuju kepada Yesus, yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan, yang dengan mengabaikan kehinaan tekun memikul salib ganti suka cita yang disediakan bagi Dia, yang sekarang duduk di sebelah kanan tahta Allah” (Ibr 12:1-2).

Senin, 18 Oktober 2010

Tentang St Lukas, Pengarang Injil

Nama Lukas boleh jadi singkatan dari Lukanus, seperti Annas dari Ananus, Apollos dari Apollinius, Artemas dari Artemidorus, Demas dari Demetrius. Santo Lukas teman Santo Paulus (2 Tim 4:11; Flm 24). Ia seorang Kristen bukan Yahudi (Kol 4:11) yang dalam tradisi Kristen dihormati sebagai pengarang Injil yang ketiga dan lanjutannya, kitab Kisah Para Rasul. Ia mungkin dilahirkan di Antiokhia. Sejarawan Eusebius menyatakan: Loukas de to men genos on ton ap Antiocheias, ten episteuen iatros, ta pleista suggegonos to Paulo, kai rots laipois de ou parergos ton apostolon homilnkos--" Lucas vero domo Antiochenus, arte medicus, qui et cum Paulo diu conjunctissime vixit, et cum reliquis Apostolis studiose versatus est. Hist Eccl 3.4.6). Pernyataan Eusebius bahkan lebih tegas dalam "Quæstiones Evangelicæ", 4, 1, 270: ho de Loukas to men genos apo tes Boomenes Antiocheias en-- “Lukas berdasarkan kelahirannya asli berasal dari Antiokhia” Maka ia sangat mengenal Antiokhia (Kis 11:19-27; 13:1; 14:18-21, 14:25, 15:22, 23, 30, 35; 18:22). Paulus menyebut dia sebagai “tabib Lukas yang kekasih” (Kol 4:14). Pendidikannya sebagai tabib tercermin dalam kitab-kitab Perjanjian Baru yang dianggap karangannya, yang menggunakan kosa-kata ketabiban dan gaya bahasa Yunani yang mahir dan pilihan kata yang sangat bagus, buah dari pendidikan klasik yang biasanya diberikan di sekolah ketabiban.
Ada yang mengira Lukas salah seorang dari ketujuh puluh murid Yesus (lih Luk 10:1-12), tetapi kiranya dugaan itu keliru. Lukas juga bukan teman perjalanan Klopas ke Emaus setelah Kebangkitan (lih Luk 24:13-35). Lukas sangat mengenal Kitab Suci Septuaginta dan berbagai adat Yahudi, mungkin karena ia pernah menjadi calon pengikut agama Yahudi (menurut St Hieronimus), atau sesudah ia menjadi Kristen dan bergaul akrab dengan para rasul dan murid-murid lainnya. Selain bahasa Yunani, Lukas menguasai bahasa Aram di tanah kelahirannya Antiokhia, ibukota Siria. Ia seorang tabib (Kol 4:14).
Paulus mencatat kehadiran Lukas sebagai teman perjalanannya pada tiga kesempatan, dalam Kol 4:14, 2 Tim 4:11 dan Flm 24. Dalam 2 Tim, Paulus menulis bahwa “hanya Lukas saja yang menyertai aku”. Bahwa Lukas bersama dengan Paulus di Makedonia dan di Roma dikuatkan oleh ayat-ayat dalam Kisah Para Rasul di mana dia, sebagai pengarang, mengganti cara menulis dari menggunakan subyek orang ketiga dengan subyek orang pertama jamak, “kami” (Kis 16:10-17; 20:5-21:18; 27:1-18:16).
Berdasarkan perubahan gaya penceritaan kitab Kisah Para Rasul itu disimpulkan bahwa Lukas mula-mula muncul dalam Kisah Para Rasul (16:10 dst) setelah ia berjumpa dengan Paulus di Troas, dan sesudah penglihatan yang dialami Paulus (Kis 16:8-9). Ia ikut menyeberang ke Eropa (di bagian Makedonia) sebagai pewarta Injil, tiba di Neapolis dan melanjutkan perjalanan ke Filipi. "Kami menarik kesimpulan, bahwa Allah telah memanggil kami untuk memberitakan Injil kepada orang-orang di sana”. Maka ia berada di Filipi sudah sebagai pewarta Injil. Ia hadir dalam peristiwa pertobatan Lidia dan seisi rumahnya dan menumpang di rumah wanita itu (Kis 16:15). Ia menyaksikan Paulus dan Silas ditangkap, diajukan ke hadapan penguasa Romawi, dituduh mengacau kota, dipukuli dan dimasukkan penjara. Lukas dan Timoteus selamat karena tidak mirip orang Yahudi. Ketika Paulus meninggalkan Filipi, Lukas ditinggal dan melanjutkan karya pewartaan Injil. Di Tesalonika Paulus menerima bantuan uang yang sangat dihargai (Flp 4:15-16) yang tentunya berkat usaha Lukas. Kiranya ia terus berada di Filipi selama Paulus bekerja di Atena dan Korintus, pulang ke Yerusalem dan kembali lagi ke Efesus, dan selama tiga tahun Paulus sibuk di Efesus. Ketika Paulus berkunjung ke Makedonia lagi, ia bertemu dengan Lukas di Filipi dan di sana menulis surat kedua untuk jemaat Korintus.
Hieronimus menduga Lukaslah yang disebut dalam 2 Kor 8:18. Dia juga yang mengantar surat itu ke Korintus. Tak lama kemudian ketika Paulus kembali dari Yunani, Lukas menemani dia dari Flipi ke Troas, dan melakukan pelayaran panjang seperti yang diceritakan dalam Kis 20. Ia pergi ke Yerusalem, hadir ketika terjadi huru-hara, melihat Paulus diserang, mendengarkan Paulus bicara dalam bahasa Ibrani dari undakan di luar benteng Antonia untuk menenangkan massa. Lalu ia menyaksikan orang Yahudi semakin marah, melemparkan jubah mereka, berseru-seru, menebar debu di udara. Ia mungkin tamu tetap bagi Paulus selama di penjara Kaisarea (Kis 23:23-24:27). Pada waktu itu mungkin ia mengetahui situasi kematian Herodes Agrippa I yang tubuhnya dimakan cacing-cacing (skolekobrotos, bdk Kis 12:23), dan ia lebih tahu tentang itu daripada sejarawan Flavius Josephus. Diduga pada masa itulah ia mulai menyusun Injil, juga diperkirakan bahwa Surat Ibrani ditulis pada masa itu dan Lukas punya peranan dalam penulisannya. Ketika Paulus naik banding kepada kaisar, Lukas dan Aristarkhus ikut serta berangkat dari Kaisarea, berlayar menentang badai dari Kreta menuju Malta (Kis 27L1-28:1). Dari sana mereka menuju Roma (Kis 28:15), dan selama dua tahun Paulus dipenjarakan di kota itu (Kis 28:30), Lukas sering mendampinginya, walau tidak terus menerus karena tidak disebut dalam surat Filipi. Ia disebut ketika surat-surat Kolose, Efesus and Filemon ditulis (Kol 4:14; Flm. 24). Hieronimus menduga pada masa inilah Kis ditulis.
Bahwa Lukas menyertai Paulus pada waktu ia dipenjarakan terakhir kalinya di Roma dikatakan dalam 2 Tim 4:7-11. Di tiga tempat lain namanya disebut bersama Markus (Kol 4:14; Flm 24; 2 Tim 4:11), pengarang Injil (bdk. Kol 4:10), dan dari Injilnya jelas Lukas mengenal Injil Markus; dan dalam Kis ia tahu semua detil bebasnya Petrus – apa yang terjadi di rumah ibunda Markus, nama gadis yang membukakan pintu untuk Petrus (Kis 12:1-9). Ia pasti sering bertemu dengan Petrus dan membantunya menyusun Surat Petrus yang pertama dalam bahasa Yunani yang mengandung ciri-ciri Lukas. Sesudah Paulus mati sebagai martir apa yang selanjutnya diketahui tentang Lukas terekam dalam buku kuno Prefatio vel Argumentum Lucæ, dari Julius Africanus, yang lahir sekitar A.D. 165. Dikatakan bahwa Lukas tidak menikah, menulis Injil, berada di Akaya, mati pada usia 74 tahun di Boetia, penuh Roh Kudus.. Epifanius menyatakan bahwa Lukas mengajar di Dalmatia (ada tradisi tentang itu), Gallia (Galatia?), Italia, dan Makedonia. Tidak jelas apakah ia mati sebagai martir. Hieronimus menulis tentang dia (De Vir. 3, 7), "Sepultus est Constantinopoli, ad quam urbem vigesimo Constantii anno, ossa ejus cum reliquiis Andreæ Apostoli translata sunt [de Achaia?]." Sisa-sisa jenasahnya dipindahkan ke Konstantinopel oleh Kaisar Konstantius II pada tahun yang sama dengan pemindahan sisa jenasah Rasul Andreas ke kota itu (dari Akaya?).
Lukas dihormati sebagai orang kudus pelindung para dokter dan pelukis. Ia disebut pelukis dalam Menologion dari Basilius II (tahun 980) dan oleh Nikeforus Kalistus pada abad keempatbelas. Di abad pertengahan Lukas diyakini melukis gambar Santa Perawan Maria yang disimpan di gereja Santa Maria Maggiore, Roma. Para ahli sejarah kebanyakan menduga Lukisan Sang Perawan berasal dari masa yang lebih kemudian (th 847); mungkin suatu tiruan dari lukisan yang disebutkan Teodore Lector dalam abad keenam. Bahwa Lukas seorang pelukis disimpulkan dari gambaran kata-katanya mengenai Kabar Sukacita, Kunjungan Maria pada Elisabet, Kelahiran Yesus, Gembala dan domba yang hilang, yang banyak memberikan inspirasi kepada para pelukis kristen.
Lukas dalam tradisi dilambangkan sebagai seekor sapi jantan, lambang korban liturgis, yang dikaitkan dengan adegan awal Injilnya mengenai imam Zakharia di Bait Allah (Luk 1:5-25), dan dipestakan setiap 18 Oktober.
Tulisan-tulisan Lukas meliputi sekitar seperempat dari Perjanjian Baru. Injil Lukas dan Kisah Para Rasul panjangnya sama dengan ketiga belas surat Paulus, dan Kisah Para Rasul saja sudah lebih panjang daripada ketujuh Surat Katolik dan kitab Wahyu. Pelukis Renan menyatakan bahwa Injil Lukas juga yang paling indah dari segi sastra dari keempat Injil lainnya (Renan, Les Evangiles, 13), sehingga ia disebut seorang pelukis yang menggunakan medium kata-kata, dan gaya bahasa Yunaninya dianggap yang paling unggul dari tulisan-tulisan Perjanjian Baru selain Surat Ibrani. Kosa katanya sangat kaya dan tata-bahasanya tiada cela sama sekali.

Kitab Injil Lukas
Injil Lukas merupakan kitab ketiga dalam Perjanjian Baru dan termasuk salah satu dari ketiga Injil Sinoptik. Injil Lukas ditulis untuk umat Kristen dari bangsa bukan Yahudi dan terkenal karena temanya mengenai universalitas, yang menekankan bahwa Injil adalah untuk segala bangsa, terutama kaum miskin dan para pendosa. Lukas mempersembahkan Injil ini kepada Teofilus, seorang yang baru menjadi Kristen, yang kepadanya juga Lukas mempersembahkan Kisah Para Rasul (Kis 1:1). Lukas mengemukakan tujuannya: “aku mengambil keputusan untuk membukukannya dengan teratur bagimu, supaya engkau dapat mengetahui, bahwa segala sesuatu yang diajarkan kepadamu sungguh benar.” (Luk 1:1-4)
Injil ini unik dalam dua hal. Pertama injil ini adalah satu-satunya injil yang ditulis oleh seorang yang bukan Yahudi, sementara para penulis Injil yang lain (dan para penulis Perjanjian Baru lainnya) adalah orang Yahudi. Yang kedua, Injil Lukas adalah satu-satunya kitab Perjanjian Baru yang pertama yang terdiri dari dua bagian, di mana bagian yang kedua kemudian dipisahkan menjadi kitab Kisah Para Rasul. Dengan demikian Injil Lukas perlu dikaji dengan kelanjutannya yaitu Kisah Para Rasul, dan jika digabungkan, maka keduanya mendokumen-tasikan kemajuan Injil yang tetap dari Nazaret ke Yerusalem, di mana tugas penyelamatan Yesus mencapai puncaknya dan di mana Gereja didirikan; dan kemudian dari Yerusalem sampai ke Roma.

Lukas sebagai Pengarang Injil Ketiga
Status Lukas sebagai pengarang Injil ketiga dikuatkan oleh tradisi yang diungkapkan oleh Kanon Murata, Tertulianus, St Ireneus dan Origenes (dalam abad kedua M), dan St Hieronimus dan Eusebius dari Kaisarea (dalam abad keempat M). Lukas dianggap penulis Kisah Para rasul berdasarkan gaya penceritaannya (Kis 16:10) dan rujukannya pada Injil (Kis 1:1). Kisah Para Rasul menurut Prolog Anti-Golongan Marcion, ditulis di daerah Akaya, suatu Provinsi Roma di Yunani selatan.
St Ireneus dari Lyon menyatakan bahwa “Lukas, yang menyertai Paulus, menuliskan dalam suatu kitab Injil yang diwartakannya.” Demikian pulalah kesaksian yang disampaikan Origenes; Eusebius, Athanasius, Gregorius Nazianze, dan Hieronimus.
Ciri pribadi Lukas sebagai tabib mewarnai Injilnya di beberapa tempat. Pada tahun 1882 Dr. Hobart menerbitkan sebuah buku, The Medical Language of St. Luke (Dublin, 1882), yang menunjukkan pemakaian bahasa teknis ketabiban yang juga digunakan oleh penulis soal ketabiban Yunani, Hippocrates, Arctæus, Galen, dan Dioscorides, misalnya kata παραλελυμἐνος, atau orang lumpuh Luk 5:18, 24 (Injil-injil yang lain menggunakan kata παραλύτικος); συνεχομένη πυρετῷ μεγαλλῳ atau demam keras Luk 4 :38; ἔστη ἡ ῥύσις τοῦ ἅιματος atau pendarahan 8 :44 (bdk. Mat. 5 :29) ; ἀνεκάθισεν, rasa iba, atau belas kasihan Luk 7 :14. Lukas dengan cermat membedakan pembebasan kerasukan setan dari penyembuhan penyakit, Luk 4:18; 13: 32; ia menyatakan dengan tepat usia anak yang akan meninggal, Luk 8:42; dan lamanya penderitaan yang ditanggung dalam Luk 13:11. Hanya dia saja yang menyebutkan penyembuhan telinga Malkhus. Semua ini merujuk pada sebutan Paulus: “Lukas, tabib yang terkasih”.
Lukas juga menorehkan pemikiran Paulus, yang menunjukkan bahwa Injil ketiga ditulis oleh teman setia Paulus.
Selain itu ad keserupaan antara Injil ketiga dengan Kisah Para Rasul. Jika Lukas menulis Kisah maka tak pelak lagi dia jugalah yang menulis Injil ketiga. Pendapat umum ini dinyatakan oleh Knowling ketika memberi kata pengantar untuk Kisah dalam buku Expositor’s Greek Testament II p. 3: “Whoever wrote the Acts wrote also the Gospel which bears the name of Luke.” Memang benar ada lebih banyak warna Ibrani pada Injil ketiga daripada dalam Kisah, tetapi hal itu disebabkan karena ketika menyusun Injil Lukas bergantung kepada bahan-bahan tertulis Ibrani ketimbang ketika ia menulis Kisah.
Sejauh mana Paulus berperan pada penulisan Injil ketiga? Menurut Tertulianus: “Sari-sari ajaran Lukas mengikhtisarkan ajaran Paulus. Maka mudah sekali disimpulkan bahwa ajaran sang guru dipublikasikan oleh muridnya.” Menurut Eusebius: “Dalam Injilnya Lukas menyampaikan beberapa hal yang berasal dari Paulus karena hubungan mereka yang beitu akrab, dan hubungannya dengan rasul-rasul yang lain.” Hieronimus sepakat dengan gagasan ini. Tetapi Athanasius menyatakan bahwa Injil Lukas didiktekan oleh Paulus. Pendapat seperti ini mungkin untuk memberi bobot wewenng rasuli pada Injil ketiga. Namun kiranya peendapat seperti itu berlebihan. Hubungan Paulus dengan Injil ketiga justru lebh renggang jika dibndingkan dengan hubungan Petrus dengan Injil kedua (Markus). Lukas tidak begitu saja menuliskan apa yang diingatnya dari ajaran Paulus, karena ia sendiri “menyelidiki dengan seksama segala sesuatu dari awal mulanya” baik dari sumber lisan maupun tertulis. Di antara sumber lisan itu tentu saja khotbah-khotbah Paulus yang didengarnya. Bahwa rasul besar itu mempengaruhi Lukas sejak awal InjilNya sangat jelas. Ada 175 kata-kata ungkapan dalam Injil ketiga yang khas Paulus. Selain itu wawasan utama Paulus juga diketemukan dalam Injil ketiga, misalnya sifat universal Injil, pentingnya iman, dan penggunaan kata διακαιόω secara forensik, Luk 7:29; 10:29; 16:15; 18:14. Suatu kemiripan yang sangat menyolok terdapat dalam kisah penetapan Ekaristi, Luk 22:19-20. dan kenangan Paulus tentang hal itu dalam I Kor. 11: 23-25, namun mungkin saja ini berasal dari penggunaan sumber yang sama.
Kedudukan Lukas sebagai pengarang Injil ketiga diterima secara umum sampai pada abad kedelapan belas, ketika Rasionalisme menggugat kitab-kitab dalam Kitab Suci. Sekolah Tubingen, Jerman, terutama F.C. Baur menyatakan bahwa Injil Marcion, yang beredar di Roma dari tahun 140, adalah Injil yang asli. Pendapat Baur ini mendapat pengikut. Tetapi beberapa tahun kemudian, pendapat kritis berbalik sepenuhnya dan pada umumnya orang berpendapat bahwa Injil Marcion adalah hasil mutilasi Injil Lukas, sekalipun ada bagian-bagian yang sangat lain dan merupakan teks yang lebih tua. Maka orang kembali meyakini kepengarangan Lukas lagi, sekalipun masih ada beberapa sarjana Jerman yang meragukannya. Keberatan mereka lebih didasarkan pada kitab Kisah Para Rasul ketimbang pada Injil. Tetapi pendapat mereka berlaku pada Injil Lukas juga, karena bagaimanapun ada kesatuan antara Injil Lukas dan Kisah Para Rasul.

Waktu Penulisan
Waktu penulisan Injil Lukas tidak jelas. Menurut Eusebius, Klemen dari Aleksandria menerima tradisi dari para imam yang lebih kuno, bahwa “Injil-injil yang memuat Silsilah ditulis lebih dulu”. Menurut Teofilak Lukas menulis lima belas tahun sesudah Kristus naik ke surga. Eutimius sependapat dengan Teofilak, tetapi Eutikhius menduga Lukas menulis pada zaman Kaisar Nero. Berdasarkan kesaksian-kesaksian itu dugaan lama memperkirakan Injil Lukas disusun antara tahun 54 hingga sebelum Roma menaklukkan Yerusalem pada tahun 70 M. Secara lebih spesifik, waktu penulisan itu diperkirakan hingga awal tahun 60-an, terutama karena di dalam narasi sejarahnya, Kisah Para Rasul selesai sekitar tahun 62 M, pada waktu penahanan Paulus di Roma berakhir (Kis 28:14.30). Di dalam teks Injil Lukas maupun Kisah Para Rasul tidak ada petunjuk mengenai masa sesudah tahun ini. Namun para ahli yang kritis condong dengan dugaan bahwa kitab ini diselesaikan pada tahun 80-an, setidaknya karena kebanyakan ahli menyatakan bahwa Lukas menggunakan Injil Markus di dalam menyusun kisahnya. Karena Injil Markus diduga disusun tak lama sebelum atau sesudah tahun 70, dan dengan memperhitungkan waktu yang diperlukan Injil Markus untuk diperbanyak dan diedarkan, barulah Lukas menuliskan Injilnya.

Minggu, 17 Oktober 2010

Injil Lukas 12

A. Meninjau Seluruh Lukas 12
Konteks luas Lukas 12 masih perjalanan Yesus dari Galilea menuju Yerusalem dan kesempatan yang digunakan untuk membina para murid, atau melakukan pemuridan, baik dengan wacana maupun teladan. Pembinaan hati merupakan fokus sejak bab sebelumnya. Dalam Lukas 12 pembinaan hati masih berlanjut. Hati para murid dibina berangsur-angsur agar mempunyai kualitas tertentu. Misalnya, hati yang bebas dari rasa takut agar berani jujur (ay 1-7), hati yang terarah pada kebijaksanaan, kebenaran, yang berasal dari Allah berkat Roh Kudus (ay 8-12), hati yang cerdas yang condong pada kekayaan rohani yang tidak akan habis atau hilang (ay 13-21), hati yang tidak cemas karena percaya pada penyelenggaraan ilahi (ay 21-34), hati yang waspada berjaga-jaga dan konsisten untuk menyambut Tuhan yang datang sewaktu-waktu (ay 35-38), hati yang dengan cerdas berbuat kasih pada sesama yang lebih lemah kedudukannya, agar dapat mendapat pembelaan dalam pengadilan akhir dan bertahan setia (ay 39-48), hati yang tahu menentukan urgensi dalam hidup ini dan peka pada tanda-tanda zaman (ay 49-53), hati yang memahami berbagai konflik sebagai kesempatan untuk memilih dan setia pada pilihan itu demi hidup kekal (ay 54-59),

B. Bagian-bagian dari Lukas 12
1. Luk 12:1-7 [Renungan Harian, Jumat, Pekan Biasa 28]
2. Luk 12: 8-12 [Renungan Harian, Sabtu, Pekan Biasa 28]
3. Luk 12: 13-21 [Renungan Harian, Senin, Pekan Biasa 29. Untuk tahun 2010, berhubung bertepatan dengan 18 Okt, Pesta St Lukas, Pengarang Injil, diganti dengan Luk 10:1-9]
4. Luk 12: 21-34
5. Luk 12: 35-38 [Renungan Harian, Selasa, Pekan Biasa 29]
6. Luk 12: 39-48 [Renungan Harian, Rabu, Pekan Biasa 29]
7. Luk 12: 49-53 [Renungan Harian, Kamis, Pekan Biasa 29]
8. Luk 12: 54-59 [Renungan Harian, Jumat, Pekan Biasa 29]

Sabtu, 16 Oktober 2010

Anacleth Hitayezu : Un peu d'humour pour cloturer la semaine!!!

L'insertion couvre l'ensemble des rapports de la personne avec son environnement social. Être inséré signifie avoir une place, être assuré de positions sociales différenciées et reconnues (statut, rôles, etc.).

Le concept d'insertion est indissociable du concept de socialisation car pour être inséré, l’homme doit intérioriser un ensemble de valeurs, de normes, de règles communes. Il existe la socialisation primaire (au sein du cercle familial) et la socialisation secondaire (au sein de l’espace scolaire, professionnel et au fil des divers échanges avec autrui). Ces processus de socialisation permettent à l’individu de trouver sa place dans la société, d’être inséré socialement.

Selon l'IDRIS[1], l’insertion sociale est l'« action visant à faire évoluer un individu isolé ou marginal vers une situation caractérisée par des échanges satisfaisants avec son environnement. C’est aussi le résultat de cette action, qui s'évalue par la nature et la densité des échanges entre un individu et son environnement. »

Jean-Yves Barreyre[2] donne l’origine étymologique du mot « insérer » du latin in-sere, qui signifie « introduire dans ». Marc Loriol[3], pour sa part, cite Durkheim pour définir le concept d’insertion « un groupe ou une société sont intégrés quand leurs membres se sentent liés les uns aux autres par des croyances, des valeurs, des objectifs communs, le sentiment de participer à un même ensemble sans cesse renforcé par des interactions régulières ». L’insertion sociale revêt donc plusieurs dimensions, que ce soit au niveau professionnel, du logement, culturel ou encore de la santé.

Politiques d’intégration sociale en Europe.

Les sociétés modernes multiethniques et pluriculturelles sont le résultat de grandes migrations en cours encore aujourd’hui et qui, avec le temps, ont influencé la société dans de nombreux pays eur...opéens. L’Italie et la France ont été sûrement deux des nations d’Europe les plus soumises à la pression migratoire. Ces derniers ont interprété ce phénomène en partant de leurs racines les plus profondes, du concept même de l’Etat, en adoptant des politiques d’intégration adaptées aux institutions déjà existantes. La médiation culturelle adoptée durant ces années, a influencé ultérieurement le développement de la société multiethnique dans les deux pays, et s’est développée en réponse aux phénomènes migratoires.
Considérations générales

L’histoire de l’homme a toujours été caractérisé par les migrations de sa création jusqu’à aujourd’hui, en re-mélangeant complètement la géographie humaine de la planète, en nous faisant accéder au monde entier, ou m...ieux encore, en considérant notre planète comme un grand village où nous ne reconnaissons que les rues qui nous semblent principales.
Nous devons être préparés face à la société multiethnique et pluriculturelle, être capables d’en recueillir les beautés tout en étant vigilants de défendre notre «ethnie» et d’éviter de passer sur les valeurs fondamentales de notre société en utilisant des procédés d’intégration mal équilibrés et erronés.
C’est pour cette raison que le XXIème siècle s’ouvre avec la nécessité d’intégrer pacifiquement les «différents», n’importe où, à travers des politiques adaptées pour la tutelle des droits et des valeurs fondamentales de la personne humaine.
L’exigence de la médiation culturelle naît comme une propre exigence des sociétés contemporaines multiethniques et apparaît comme une possible modalité d’intégration des étrangers à l’intérieur des sociétés multiculturelles projetées dans la construction intentionnée d’une société interculturelle.
Si toutes les relations humaines se basent sur le dialogue, la communication assume un rôle fondamental, surtout lorsque les participants appartiennent à des langues et des cultures différentes et sont par conséquent plus facilement exposés à des incompréhensions et des malentendus.
Dans cette optique, la médiation culturelle s’affirme comme une forme particulière de communication étant donné la diversité des sujets intéressés.
Dans le milieu complexe des relations interethniques, la présence de personnes qui soutiennent le processus communicatif est souvent nécessaire, à travers des entretiens aussi bien de traduction linguistique que d’interprétation des sens présents dans les messages considérés culturellement divers.
Dans la mesure où l’intégration vise à un procédé de négociation réciproque entre les citoyens et les institutions, en ayant conscience de la nécessité d’intégrer les nouveaux citoyens, l’objectif de la médiation culturelle est de réorganiser les relations entre les partis pour qu’elle puisse résulter satisfaisante le plus possible à tous.
Avant d’approfondir la confrontation entre le modèle de médiation français et italien et en tirer quelques indications sur la situation actuelle des deux pays en terme de médiation culturelle, nous analyserons des données statistiques sur l’immigration et les modèles d’intégration respectifs adoptés dans les deux pays étudiés.
Le résultat qui s’est présenté après notre enquête démontre deux réalités complètement différentes. Les raisons sont multiples mais la raison fondamentale est à rechercher dans la diversité de la tradition migratoire présente dans les deux paysSee More

Il faut justement partir sur la conception même d’Etat pour comprendre l’intégration et la médiation culturelle en France.
C’est pour cette raison que dans le cas français, les pratiques de.médiation n’ont pas un caractère complètement offic...iel: l’Etat se propose comme un interlocuteur unique et direct des citoyens, sans passer à travers les autres intermédiaires reconnus officiellement. En somme, la médiation semble destinée à rester une pratique empirique à laquelle ont recours les pouvoirs publics, tout en ne lui reconnaissant pas un caractère de légitimité.
Dans ces conditions, l’intégration et l’assimilation ne peuvent qu’englober le même projet, et c’est pour cette raison que l’on a donné plus d’importance à la médiation culturelle que dans les années 80, lorsque le modèle d’intégration des étrangers basé sur l’assimilation et sur le refus de la différence et de n’importe quelle forme de particularisme ( au moins en ce qui concerne la sphère publique) commença à montrer les premiers signes d’incompatibilité.
L’utilisation de la ressource étrangère dans le domaine social remonte au début des années soixante-dix..
Durant ces années-là, entre les différentes associations, nous pouvons rappeler surtout ISM (Inter Service Migrant), née en 1969, qui est encore actuellement la plus vieille agence d’interprétariat social. Cette agence créa ces années-là, la figure professionnelle connue comme « interprète linguistique-culturel » ou « agent de communication ». Ces interprètes devaient être originaires d’un pays étranger et devaient avoir vécu un processus d’intégration dans la société française.
En effet, jusqu’à la fin des années 70, le concept de médiation culturelle fut assimilé à celui de l’interprétariat social et linguistique.
En 1974, le gouvernement Chirac proclama la suspension de l’immigration qui eut comme conséquence de transformer, avec la fermeture des frontières, une immigration de type temporaire à une immigration définitive.
Même si l’immigration en France n’a jamais été un phénomène accidentel et transitoire, il semblait que l’on prenait conscience de cela seulement alors.
Nous étions dans une période de forte dépression économique avec un taux de chômage toujours plus croissant et une immigration qui montrait depuis longtemps des signes de persistance et de stabilité.
Ceci aggrava la crise déjà existante et la France des années 80 , outre le fait de faire face à une forte dépression économique et à un chômage croissant, dut faire face aussi au climat dérivant de la déception générale des valeurs fondamentales de la société qui régnait aussi bien du point de vue politique que du point de vue intellectuel. Il faut ajouter à cela que le pays s’apprêtait à vivre justement dans ces années-là à un des événements les plus importants d’après-guerre: la victoire politique de la gauche.
Parmi les premières décisions de la gauche au gouvernement, nous trouvons la promulgation de la loi du 9 octobre 1981 qui élimine tous les obstacles juridiques à la formation des associations d’immigrés. Ces associations ne tarderont pas à formuler des demandes de reconnaissance sociale et symbolique, et certains immigrés inaugureront une nouvelle fonction de « porte-parole », c’est-à-dire de médiation entre leur communauté et les institutions. L’historicité sociale de ce processus est indispensable à la compréhension du phénomène de médiation, car les médiateurs ou intermédiaires culturels en France ont été avant tout le produit et le résultat du contexte social des années 80.
...
Il est désormais évident qu’une série de facteurs socio-économiques nous entraîne inéluctablement vers une société multiethnique et pluriculturelle, au moins jusqu’à ce que nous ne réussiront pas à distribuer les ressources entre les différentes zones géographiques d’une manière plus juste et plus équilibrées pour réussir à éviter les migrations de masse entre les territoires riches et les territoires pauvres.
Notre analyse aura démontré comment les modèles d’intégration dans les deux pays sont fortement influencés par l’évolution des axes politiques et institutionnels et des dynamiques du consensus.

En outre, cet aspect résulte aujourd’hui bien évident, si l’on tient compte de l’énorme changement de la législation sur l’immigration proposé par les gouvernements de droite actuels dans les deux pays.

Rabu, 13 Oktober 2010

Injil Lukas Bab 11

A. Tinjauan Seluruh Bab
Dalam konteks luas pekerjaan Yesus di dalam perjalanan menuju Yerusalem (Luk 9:51-19:10), yang berintikan “pemuridan” atau pembinaan murid-murid. Lukas 11 menekankan pengajaran Yesus mengenai doa (Luk 11:1-13), yang merupakan kelanjutan dari prinsip pokok jalan hidup yang diajarkan dalam Lukas 10: yaitu kasih dan doa, yang bersumber dari Roh Kudus, anugerah Bapa (ay 13).
Yesus ditampilkan sebagai teladan doa. Ia memberikan contoh formula doa, yang kita kenal sebagai Doa Bapa Kami versi Lukas (ay 1-4).
Selanjutnya ditampilkan “bagaimana” cara berdoa dengan bersungguh-sungguh dan tiada henti. Dinyatakan pula “doa permohonan pokok” yang terpenting (ay 5-13).
Situasi konfrontasi dengan para Farisi pun diubah Yesus menjadi pengajaran tentang sikap batin yang dimulai dari ay 14, mengenai hati.
Pertama-tama, disiapkan hati yang mengenal dan memihak pada Kerajaan Allah, yang telah datang bersama Yesus yang memerlihatkan kuasaNya (ay 20) dan menjawab undanganNya (ay 23). Yang kedua, hati yang telah dibersihkan dari kuasa setan, yang harus dijaga dengan kuat dengan mendengarkan firman Tuhan dan memeliharanya (ay 24-28). Yang ketiga, hati peka pada tanda-tanda kebaikan Tuhan dan yang oleh iman mau berserah kepada rencana Tuhan dengan tulus (ay 29-32). Yang keempat, hati yang terang oleh iman, dan jernih, sehingga dapat menangkap ajaran Yesus dan memancarkan cahaya ajaran itu untuk menerangi orang lain (ay 33-36). Semua ini (ay 14-36) terutama berhubungan dengan kualitas hati perorangan pribadi
Yang kelima hati yang telah dicuci bersih transparan dari dalam hingga keluar, sehingga amal saleh tetap tampak berseri tanpa perlu ditonjol-tonjolkan atau diberi tanda tertentu (ay 37-41). Yang kelima, hati yang merendah, yang tidak congkak dan merasa lebih tinggi karena amal saleh, dan yang memberi beban yang keterlaluan pada orang lain berdasarkan tafsiran hukum yang berlebihan (ay 42-46). Yang ketujuh adalah hati yang jujur pada sejarah, tidak menutupi keburukan masa lalu, supaya orang bisa belajar melihat keselamatan (ay 47-54). Semuanya ini (ay 37-54) berkaitan dengan dimensi sosial dari hati seseorang.
Kita diajak mengarahkan hati pada Tuhan Yesus. Ajakan yang berkaitan dengan kualitas atau fitur hati tertentu, yang masih akan disuarakan kelanjutannya dalam Lukas 12.

B. Bagian-bagian dari Bab 11Luk 11:1-4 [Renungan Harian: Rabu, Pekan Biasa 27]
Luk 11:5-13 [Renungan Harian: Kamis, Pekan Biasa 27]
Luk 11:14-26 [Renungan Harian: Jumat, Pekan Biasa 27]
Luk 11:27-28 [Renungan Harian: Sabtu, Pekan Biasa 27]
Luk 11:29-32 [Renungan Harian: Senin, Pekan Biasa 28]
Luk 11:33-36
Luk 11:37-41 [Renungan Harian: Selasa, Pekan Biasa 28]
Luk 11:42—46 [Renungan Harian: Rabu, Pekan Biasa 28]
Luk 11:47-54 [Renungan Harian: Kamis, Pekan Biasa 28]

Sabtu, 28 Agustus 2010

St Agustinus

St Agustinus adalah orang Afrika Utara dari suku Berber yang dilahirkan pada tahun 354 di Tagaste (sekarang Souk Ahras, Aljazair). Pada usia 11 tahun ia dikirim sekolah di Madaurus, suatu kota di sebelah selatan Tagaste. Ia gemar membaca sastra Latin dan memelajari kepercayaan dan praktek kafir, sebab ayahnya seorang kafir. Ketika usia 17 ia belajar di Kartago dan belajar filsafat dan retorika. Walaupun ibunya, Monika, mendidiknya secara katolik dan saleh, Agustinus meninggalkan gereja dan mengikuti agama Manikea, sehingga membuat ibunya putus asa. Agustinus muda hidup bersenang-senang, memiliki pacar bernama Floria Aemilia, dan mempunyai anak dengan dia, Adeodatus, yang mati muda. Ia pulang ke Tagaste dan menjadi guru sekolah dasar (373-374), lalu balik kembali ke Kartago dan mengajar retorika selama sembilan tahun. Pada tahun 383 ia pindah ke Roma dan mendirikan sekolah di sana, tapi usahanya gagal. Seorang teman lalu mengenalkan dia dengan prefek kota Roma, yang mengangkatnya menjadi guru di sekolah kekaisaran di Milano. Dari situ ia membangun suatu karir politik. Dalam suatu perjalanan untuk menyampaikan pidato di depan kaisar, seorang pengemis mabuk yang lewat di jalan memberi teguran kepadanya, bahwa hidupnya tiada berarti. Kejadian itu mengubah hidupnya.
Sudah sejak di Kartago ia kecewa dengan teolog agama Manikea dan mulai memisahkan diri. Ia sama sekali melepaskan diri dari kepercayaan Manikea ketika di Roma. Ketika ia pindah di Milano, Monika, ibunya menyusul dan mendesaknya agar kembali lagi ke dalam pelukan Gereja dan belajar agama katolik. Ia mendapat bimbingan dari St Ambrosius, uskup Milano, yang juga seorang ahli retorika, lebih tua dan lebih pengalaman. Namun ia masih belum meninggalkan sepenuhnya hidupnya yang berdosa dan sempat menunda-nunda, hingga dikenal dengan doanya: “Berikan padaku hidup pantang dan murni, tapi nanti dulu” (da mihi castitatem et continentiam, sed noli modo) – Konfesiones VIII, 7, 17).
Pada tahun 386 ia mempelajari riwayat hidup tokoh hidup membiara St Antonius dari Padang Gurun yang sangat besar pengaruhnya. Suatu pengalaman rohani menjadi titik balik hidupnya. Ketika berada di taman dia seolah mendengar suara seorang anak yang menyanyi dan seperti berkata: Tolle, lege (ambil dan bacalah). Ia meraih kitab suci yang ada di dekatnya dan secara acak membukanya, dan mendapatkan Surat Kepada Jemaat Roma 13: 13-14. Ia menjadi berubah seratus persen. Ia bertekat akan menjadi katolik dan dibaptis oleh Ambrosius; ia meninggalkan karirnya dalam hal retorika. Pada tahun 388 ia pulang kembali ke Afrika meninggalkan gagasan tentang hidup perkawinan dan menjual segala miliknya, kecuali rumah keluarga yang diubahnya menjadi biara yang didirikannya dengan beberapa teman untuk hidup selibat membaktikan diri sepenuhnya kepada Tuhan, dan pada tahun 391 ia ditahbis menjadi imam. Ia menjadi pengkhotbah ulung, dan pada tahun 396 ia diangkat menjadi Uskup ko-ajutor di Hippo, dan kemudian menjadi uskup penuh menggantikan uskup Hippo yang wafat. Jabatan itu disandangnya sampai ia wafat pada tahun 430. Ia mewariskan Regula, yaitu aturan hidup membiara yang menjadi pedoman umum yang besar pengaruhnya pada berbagai ragam biara-biara hingga sekarang.
Beberapa perkataan/nasehat Agustinus yang terkenal dan sering direnungkan:
"Kasihilah orang pendosa tapi bencilah dosa" (Cum dilectione hominum et odio vitiorum) (Opera Omnia, II. 962, 211).
"Serba berlebihan atau ekses adalah musuh Tuhan" (Luxuria est inimica Dei.)
"Hati berbicara dengan hati" (Cor ad cor loquitur)
"Yang menjadi pemenang hanyalah kebenaran, dan kebenaran yang jaya adalah kasih" (Victoria veritatis est caritas}
"Menyanyi sama dengan berdoa dua kali" (Qui cantat, bis orat)
"Laksanakan kasih, dan lakukan apa yang kamu inginkan" (Dilige et quod vis fac)
"God, O Lord, grant me the power to overcome sin. For this is what you gave to us when you granted us free choice of will. If I choose wrongly, then I shall be justly punished for it. Is that not true, my Lord, of whom I indebted for my temporal existence? Thank you, Lord, for granting me the power to will my self not to sin.” (Free Choice of the Will, Book One)
"Kristuslah Guru yang ada dalam diri kita” (De Magistro - 11:38)
"Dengarkan pihak yang lain" (Audi partem alteram) De Duabus Animabus, XlV ii
"Ambil dan bacalah" (Tolle, lege) Confessions, VIII, 12
"Bagi banyak orang, berpuasa sama sekali (karena tidak ada yang harus dinikmati) itu jauh lebih mudah dari pada menahan diri (menghadapi kenikmatan yang tersedia)." (Multi quidem facilius se abstinent ut non utantur, quam temperent ut bene utantur. –
"Harapan punya dua anak cantik. Namanya Amarah dan Keberanian. Amarah ada pada jalan yang biasa-biasa saja, tetapi Keberanian mau mengambil jalan lain yang luar biasa." (dikutip dalam William Sloane Coffin, The Heart Is a Little to the Left)

Minggu, 08 Agustus 2010

Yohanes Baptista Maria Vianney

Pastor di suatu desa kecil, Ars, di Perancis, yang dalam hidupnya ia berkarya selama 40 tahun pada masa Revolusi Perancis. Pada 4 Agustus 1859 ia wafat, dan pada 5 Januari 1905 dimintakan beatifikasi. Pada Mei 1925 ia dinyatakan sebagai orang kudus, pelindung “para imam, gembala jiwa-jiwa di seluruh dunia”, oleh Paus Pius XI.
Pada 1 Agustus 1959, dalam rangka menyambut 100 tahun wafatnya YM Vianney, Paus Yohanes XXIII menerbitkan ensiklik Primarii Nostri Sacerdoti mengenai imam dan teladan St Yohanes Maria Vianney. Menurut beliau St Yohanes Maria Vianney adalah pribadi yang menarik dan praktis mendorong hidup imamat hingga setinggi-tingginya, sebagai sahabat-sahabat Kristus Tuhan (art 7). Maria Vianney merupakan teladan dalam hal semangat pastoral, devosi doa, dan ketekunannya dalam sakramen pengampunan, dan menjadi model asketisme dan kesalehan, khususnya dalam devosi kepada Ekaristi (art 9).
Ia mengikuti nasehat-nasehat Injil dalam hal kemiskinan, kemurnian dan ketaatan, dengan bersikap keras pada dirinya sendiri, tetapi lembut pada orang lain (art 11), mengingatkan para imam bahwa “diperlukan kesucian batin yang lebih besar daripada yang dituntut oleh status hidupnya sebagai rohaniwan”, juga sekalipun sebagai imam diosesan (Praja) yang untuk itu memerlukan kerjasama dengan Ordo religius yang direstui Gereja (art 12). Mengikuti sabda Guru Ilahi, “Jika seseorang hendak mengikut Aku, ia harus menyangkal diri, memikul salibnya dan mengikut Aku”, pastor dari Ars yang suci itu menerapkan sabda itu dalam tindakannya sehari-hari (art 13). Dalam hal kemiskinan, imam yang rendah hati dari Ars itu menjadi anggota Ordo Ketiga St Fransiskus Asisi dengan mengikuti peraturannya dengan setia. Ia merelakan apa saja untuk orang lain dan tidak menyimpan sesuatu bagi dirinya sendiri (art 14). Kebebasannya dari harta benda duniawi membuatnya bersungguh-sungguh di dalam menolong kaum miskin, terutama di dalam parokinya sendiri, dengan kasih yang besar, dengan kebaikan hati yang tulus, dan dengan menghormati mereka. Karena ia melakukan pantang dan puasa setiap hari, jika ada pengemis mengetuk pintunya, ia menerima mereka dengan senang dan dapat berkata ‘Aku juga hidup dalam kekurangan; aku sama dengan Anda’. Dan kepada orang yang akan mati ia berkata, ‘Aku akan bahagia jika boleh mati sekarang, sebab aku tidak punya apa-apa; maka jika Tuhan dalam kebaikanNya menganggap tepat untuk memanggilku, aku sudah siap dan akan berangkat.’ (art 15). Mengingat Maria Vianney itu, Pius XI menyatakan: “imam-imam yang hidupnya bersahaja dan mengikuti ajaran Injil dengan mengesampingkan kepentingannya sendiri niscaya mendatangkan berkat manfaat bagi lebih banyak umat (art 16). Sebaliknya, pastor dari Ars itu juga menyuarakan kecaman keras pada zamannya: “Ada banyak orang menyembunyikan uang mereka, sementara sesamanya banyak yang mati kelaparan.” Namun ini tidak berarti bahwa imam tidak boleh mempunyai uang untuk keperluan hidupnya, dan karena setiap pekerja harus mendapatkan upah yang adil, para imam juga harus mendapatkan santunan sepantasnya untuk pekerjaannya (art 19).
Dalam hal kemurnian Yohanes Maria Vianney juga menjadi teladan para imam di tengah zaman yang terinfeksi oleh moralitas yang longgar dan hawa nafsu yang tak pernah puas. Dengan latihan-latihan pantang dan puasa ia menempa tubuhnya sendiri bagaikan atlet Kristus, namun sekaligus menunjukkan kelembutan pada mereka yang datang kepadanya. Melalui sakramen tobat ia terus menerus mengendalikan hasrat-hasrat yang tidak murni. “Hanya langkah-langkah pertama saja yang sulit bagi siapapun yang akan menempuh jalan ini,” katanya (art 24). Dalam keyakinannya “Hanya jiwa yang murni saja yang dapat mengasihi orang lain, setelah ia sendiri menemukan sumber kasih...yaitu Tuhan” maka menurut Maria Vianney, kasih imamat seharusnya mengalir dari Hati Kudus Yesus (art 25).
Dalam hal ketaatan Maria Vianney menjadi teladan dalam ketekunannya melaksanakan imamat melayani umat di desa kecil Ars selama 40 tahun. Sebenarnya ia lebih suka hidup menyendiri sebagai pertapa. Tetapi Tuhan tidak mengizinkannya. Ia diajar untuk melaksanakan tugas yang diberikan uskup dengan setia sebagai pelayan umat hingga wafatnya (art 27-28). Sehubungan dengan itu Paus Pius XII menulis: “Kesucian hidup dan efektivitas kerasulan apapun mendapatkan dasar dan dukungan dari ketaatan yang tetap dan setia kepada pemimpin gereja.” (art 30). Melalui ketaatan itu imam tidak bekerja sendiri, melainkan di dalam persaudaraan dengan yang lain dalam ikatan mesra dengan Bunda Gereja, saling menguatkan (art 31-34).
Suatu hal yang juga mencolok pada Pastor dari Ars ini adalah kehidupan doanya. “Para imam terhambat mendapatkan kesucian karena tak memberikan kesempatan yang luas pada dirinya untuk memikirkan apa yang sesungguhnya harus dilakukan. Kita memerlukan renungan yang mendalam, dalam doa dan persekutuan yang mesra dengan Tuhan.” Betapapun sibuknya, Maria Vianney dikatakan “tidak pernah lupa berwawancara dengan Tuhan.” (art 37). Bagi dia “Kita adalah peminta-minta yang harus memohon apa saja dari Tuhan”. “Doa yang bersungguh-sungguh kepada Tuhan merupakan kebahagiaan manusia di dunia” (art 38).
Dalam rangka peringatan 150 tahun wafatnya Santo Yohanes Maria Vianney, Paus Benediktus XVI menyatakan tahun 2009 sebagai Tahun Imam, dan para imam diajak bercermin kembali kepada teladan-teladan Santo Yohanes Maria Vianney.

Pernyataan Kasih St Yohanes Maria Vianney

I love You, O my God and my sole desire is to love You until the last breath of my life.
I love You, O infinitely lovable God and I prefer to die loving You than live one instant without loving You.
I love You, O my God, and I do not desire anything but heaven so as to have the joy of loving You perfectly.
I love You, O my God, and I fear hell, because there will not be the sweet consolation of loving You.
O my God, if my tongue cannot say in every moment that I love You, I want my heart to say it in every beat. Allow me the grace to suffer loving You, to love you suffering and one day to die loving You and feeling that I love You. And as I approach my end, I beg you to increase and perfect my love of You.


Aku mencintai Dikau, ya Tuhanku, dan hasratku adalah hanya mengasihi Dikau sampai napas terakhirku.
Aku mencintai Dikau, O Tuhanku yang sangat terkasih, dan aku lebih suka mati dengan mengasihi Dikau, daripada hidup tanpa mengasihi Dikau.
Aku mencintai Dikau, Tuhan, dan hanya surga yang kuharapkan, supaya aku mempunyai kegembiraan untuk mengasihi Dikau dengan sempurna.
Aku mencintai Dikau, ya Tuhan, dan aku takut neraka, karena di sana tidak ada manisnya cinta dalam kasih padaMu.
Tuhanku, jika lidahku tak mampu mengucapkan setiap saat betapa aku cinta pada Dikau, semoga hatiku berulang-ulang menyatakan kasihku pada-Mu seiring tarikan napasku. Berilah aku rahmat penderitaan demi kasih kepadaMu, untuk mengasihi Engkau dengan menderita dan suatu hari mati dengan mengasihi Dikau dan menyadari bahwa Aku mencitai Dikau. Dan jika hari akhirku semakin dekat, kumohon tambahkanlah dan sempurnakanlah cintaku kepadaMu.

Senin, 02 Agustus 2010

Digiling dan Diremukkan, Sebagai Bulir-bulir Gandum

Ketika di dalam Misa kita merenungkan kisah kurban Yesus (dalam Doa Syukur Agung, pusat liturgi), kita mengalami “kehadiran nyata” dari peristiwa wafat dan kebangkitan Kristus, dan kita ikut serta di dalamnya. Bagaimana caranya? Kita ikut serta dalam kurban Yesus bagi kita itu jika kita seperti Dia, membiarkan diri kita diremukkan, jika kita seperti Dia tidak lagi menjadi diri kita sendiri. Ekaristi sebagai kurban mengundang kita menjadi seperti bulir-bulir gandum yang digunakan untuk membuat hosti, dan butir-butir buah anggur untuk membuat minuman anggur, dipreteli dan digiling, sehingga kita menjadi bagian dari hosti komuni dan anggur dalam cawan kurban.
Kadang-kadang ketika membagikan komuni Santo Agustinus tidak berkata, “Tubuh Kristus,” melainkan “Terimalah dirimu.”
Ia menyatakan sesuatu yang tepat. Yang terjadi dalam Ekaristi menurut St Agustinus ialah bahwa kita semua, dengan mempersembahkan diri sebagai kurban atas segala sesuatu yang mencerai-beraikan kita, tentulah juga menjadi Tubuh dan Darah Kristus.
Lebih dari sekedar roti dan anggur, kita semua harus berubah dengan seluruh hakekat kita. Ekaristi sebagai kurban, meminta kita menjadi roti yang dipecah-pecahkan dan piala kerentanan kita. (Ronald Rolheiser OMI. Terjemahan Bambang Kuss)

Sabtu, 31 Juli 2010

St Alfonsus Liguori

Alfonsus Liguori (1696-1787), advokat dari Milan yang gagal dalam kerja dan kemudian beralih menjadi imam; dalam masa hidupnya Gereja memperkenalkan pesta devosi rosario (1716), doa sapta kedukaan (1724), dan Doa Angelus (Doa Malaikat Allah) pada 1724 (pada Masa Paus Benediktus XIII) dan 1742 (pada masa Paus Benediktus XIV); pada usia 66 tahun ia menjadi uskup dan kemudian pujangga Gereja, ia mendirikan tarekat imam Congregatio Sanctissimi Redemptoris, CSsR (1732), yang sejak 1956 bekerja di Indonesia juga, terutama di Keuskupan Weetebula (Sumba dan Sumbawa).

Cuplikan beberapa doa St Alfonsus Liguori kepada Yesus:

Hati Yesus yang penuh belas kasih, kasihanilah aku. Bahkan sebelum aku berdosa kepadaMu, O Penebusku, aku tidak layak menerima rahmat begitu besar yang Kau berikan kepadaku. Engkau telah menciptakan aku, memberiku begitu banyak keinginan dan sungguh tak layak aku menerima semuanya itu. Namun setelah berdosa padaMu, aku bukan saja tak pantas Engkau tolong, aku justru pantas tidak Engkau perhatikan selamanya. Namun Engkau sungguh rahim, Engkau menunggu aku dan tetap menjaga hidupku sekalipun di waktu aku memusuhi Dikau. Kerahimanmu membuatku melihat deritaku dan Engkau memanggil aku agar bertobat; Engkau memberikan kepadaku rasa sedih atas dosa-dosaku dan suatu hasrat untuk mengasihi Dikau. Aku sangat berharap dengan pertolongan rahmatMu, aku dapat menjadi sahabatMu lagi. (Frederick M. Jones CSsR, Saint Alphonsus de Liguori: Selected Writings, 1999, hal 232).

O sakramen kasih, entah memberikan diriMu sendiri dalam komuni, entah tinggal bertahta di altar, Engkaulah yang paling tahu bagaimana dengan kasihMu yang lembut Engkau menarik begitu banyak hati kepada Dikau, mereka yang terpikat kepadaMu, penuh kekaguman memandang kasih yang sedemikian, dinyalakan oleh sukacita, dan selalu memikirkan Dikau; sangat merindukan kasihMu, hidup menghamba pada cintaMu. Aku pun, kini dan seterusnya, menyerahkan semua minatku, semua harapanku, semua perasaanku, seluruh jiwaku, segenap ragaku, --- kuserahkan ke dalam tangan-tangan kebaikanMu. Terimalah aku, O Tuhan, dan gunakan aku sesuka Tuhan (The Complete Works of Saint Alphonsus, karya suntingan Eugene Grimm C.Ss.R, volume 6, Redemptorist Fathers, 1927, hal 149-150)

Jumat, 16 Juli 2010

Kasih Dalam Kebenaran art 16-17

Kasih dalam Kebenaran (16)
(Caritas In Veritate)
Ensiklik Paus Benediktus XVI
Terjemahan oleh Bambang Kuss

16. Dalam Ensiklik Populorum Progressio, Paulus VI mengajarkan bahwa kemajuan, pada asal-usul dan hakekatnya, adalah pertama-tama dan terutama suatu panggilan: “Dalam rencana Allah setiap orang dipanggil untuk berkembang dan memenuhi diri sendiri, sebab setiap kehidupan adalah suatu panggilan tugas” (PP 15). Inilah yang memberikan hak yang sah kepada keterlibatan Gereja dalam seluruh permasalahan perkembangan. Jika perkembangan hanya berhubungan dengan aspek teknis dari hidup manusia, dan tidak menyangkut makna perjalanan hidup manusia melalui sejarah bersama-sama dengan sesamanya, tidak pula memperlihatkan tujuan perjalanan itu, maka Gereja tidak berhak membicarakannya. Paulus VI seperti Leo XIII sebelumnya dalam Ensiklik Rerum Novarum (Bdk PP 2; Leo XIII, Ensiklik Rerum Novarum; Yohanes Paulus II, Sollicitudo Rei Socialis, 8, dan Centessimus Annus 5) tahu, bahwa ia melaksanakan kewajiban yang berkait dengan jabatannya untuk memancarkan terang Injil atas masalah-masalah sosial pada zamannya (Bdk PP 2, 13).
Memandang perkembangan sebagai panggilan tugas adalah sama dengan mengakui bahwa hal itu berasal dari panggilan ilahi di satu pihak, dan bahwa hal itu sendiri tidak mampu memberikan makna yang tertinggi dari dirinya sendiri. Ada alasannya bahwa kata “panggilan” juga terdapat dalam alinea lain Ensiklik Populorum Progressio, yang berbunyi: “Humanisme yang sejati terarah kepada Allah dan sadar akan panggilan tugas yang memberikan makna yang sebenarnya kepada hidup manusia” (PP 42). Visi perkembangan ini merupakan jantung Ensiklik Populorum Progressio, dan menjadi latar belakang di balik renungan Paulus VI atas kebebasan, atas kebenaran dan atas kasih di dalam perkembangan. Semua itu juga tetap menjadi alasan pokok mengapa Ensiklik itu masih relevan di zaman kita.

Teks Latin:
16. In Litteris encyclicis Populorum progressio Paulus VI imprimis nobis demonstrare voluit progressionem sua scaturigine essentiaque quandam esse vocationem: « Ex divino consilio, quilibet homo ad sui ipsius profectum promovendum natus est, cum cuiusvis hominis vita ad munus aliquod a Deo destinetur » [N. 15: l.m., 265.]. Hoc quidem ipsum id comprobat quod in progressionis quaestionibus agit Ecclesia. Si technicae rationes in hominis vita considerarentur ac minime sane commune cum ceteris fratribus eiusdem in historia iter neque designata eiusdem itineris meta conspicerentur, non haberet Ecclesia ius hac loquendi de re. Paulus VI, perinde ac olim Leo XIII in Litteris encyclicis Rerum novarum [Cfr ibid., 2: l.m. 258; Leo XIII, Litt. enc. Rerum novarum (15 Maii 1891): Leonis XIII P.M. Acta, XI, Romae 1892, 97-144; Ioannes Paulus II, Litt. enc. Sollicitudo rei socialis, 8: l.m., 519-520; Id., Litt. enc. Centesimus annus, 5: l.m., 799.], sibi erat conscius se suas partes tueri, cum Evangelii in quaestiones suae aetatis sociales lumen effunderet [Cfr Litt. enc. Populorum progressio, 2. 13: l.m., 258. 263-264.].
Cum quis progressionem vocationem appellat, ille agnoscere vult hinc eandem ex transcendenti quadam postulatione oriri atque illinc non habere ipsam facultatem sui ipsius ultimam significationem praebendi. Non sine causa « vocationis » verbum in altero etiam loco est adhibitum, ubi dicitur: « Vera igitur humanitatis species non est nisi ea quae ad summum Deum intendit, dum munus agnoscitur ad quod sumus vocati et quo vera vitae humanae forma praebetur » [Ibid., 42: l.m., 278.]. Argumentum hoc progressionis est Litterarum encyclicarum Populorum progressio cardo et universas Pauli VI cogitationes de libertate, de veritate et in progressu de caritate comprobat. Praecipua etiam est ratio, qua Litterae encyclicae illae nostrae aetati accommodantur.

Kasih dalam Kebenaran (17)
(Caritas In Veritate)
Ensiklik Paus Benediktus XVI
Terjemahan oleh Bambang Kuss

17. Suatu panggilan tugas menuntut jawaban yang bebas dan bertanggungjawab. Perkembangan manusia yang utuh mengandaikan kebebasan yang bertanggungjawab dari umat manusia dan perorangan: tidak ada struktur yang dapat menjamin perkembangan ini melampaui dan di atas kemampuan manusia untuk memberi jawaban (=melampaui kemampuan manusia dalam memikul tanggungjawab). “Berbagai ragam paham mengenai penyelamat (mesianisme) yang memberi janji-janji namun menciptakan ilusi” (Bdk PP 11, Centessimus Annus 25) selalu timbul dari penyangkalan atas dimensi transenden (ilahi) dari perkembangan, dan dari keyakinan bahwa perkembangan itu sepenuhnya terletak di tangan mereka. Jaminan palsu ini menjadi suatu cacat, karena menyusutkan manusia menjadi budak, menjadi alat belaka demi perkembangan, sementara kerendahan hati mereka yang menerima panggilan diubah menjadi otonomi yang sejati, karena panggilan itu membebaskan mereka. Paulus VI pasti yakin bahwa hambatan dan bentuk-bentuk ajaran seperti itu menghalangi perkembangan, tetapi ia juga yakin bahwa “tidak pedulu bagaimanapun pengaruh yang diterimanya, setiap orang tetap menjadi penanggungjawab keberhasilan atau kegagalannya sendiri” (PP 15). Kebebasan ini menyangkut macam perkembangan yang sedang kita bahas, tetapi juga berkenaan dengan situasi-situasi keterbelakangan yang tidak seharusnya terjadi, atau berbagai keharusan historis yang dibebankan menjadi tanggungjawab manusia. Inilah sebabnya “bangsa-bangsa yang mengalami kelaparan mengarahkan himbauan yang dramatis kepada bangsa-bangsa yang mendapat karunia kelimpahan” (PP 3). Ini juga merupakan suatu panggilan, himbauan bantuan yang berasal dari manusia yang merdeka kepada sesamanya yang merdeka atas pra-anggapan mengenai tanggungjawab bersama. Paulus VI sangat memahami pentingnya struktur-struktur dan pranata ekonomi, namun beliau juga memahami dengan sama jelasnya hakekat struktur dan pranata itu sebagai alat perlengkapan bagi kebebasan manusia. Hanya jika berdasar kebebasan maka perkembangan itu seutuhnya manusiawi; hanya jika dalam iklim kebebasan yang bertanggungjawab maka perkembangan akan bertumbuh dengan memuaskan.

Teks Latin:
17. Vocatio postulatio est quaedam, quae liberam consciamque responsionem requirit. Humana integraque progressio libertatem personae populorumque responsalem complectitur: nulla quidem structura hanc progressionem praestare potest, extra supraque humanam responsalitatem. « Quidam magnificis sed dolosis eorum pollicitationibus vehementer inescantur, qui se veluti alteros Messias iactant » [Ibid., 11: l.m., 262; cfr Ioannes Paulus II, Litt. enc. Centesimus annus, 25: l.m., 822-824.]. Eorum consilia in denegata significatione progressionis transcendenti nituntur, cum prorsus ii confidant omnia sibi commodari. Fallax haec confidentia fit infirmitas, quandoquidem hominis servitutem efficit, qui progressionis fit instrumentum, dum suscipiendae cuiusdam vocationis humilitas vera fit autonomia, quoniam personam liberam reddit. Nulla fuit Paulo VI dubitatio quin progressioni impedimenta condicionesque obessent, sed hoc etiam pro explorato habebat: « Unusquisque, quantumcumque apud eum valent externae sollicitationes, sortis suae prosperae vel infelicis praecipuus artifex exstat » [Litt. enc. Populorum progressio, 15: l.m., 265.]. Libertas haec ob oculos positum provectum respicit ac simul ad tardi progressus condiciones attinet, quae non casu atque quandam propter historiae necessitatem oriuntur, sed ex humana responsalitate pendent. Quapropter « fame laborantes populi hodie divitiis praepollentes populos miserabili quadam voce compellant » [Ibid., 3: l.m., 258.]. Haec per verba homines liberi appellant, scilicet invocant, homines liberos ad responsalitatem communiter sumendam. Paulus VI plane intellexit structurarum oeconomicarum institutionumque pondus, sed ipse pariter earum naturam instrumentorum humanae libertatis liquido comprehendit. Solummodo si liber est, progressus integre humanus adest; solummodo regimine vigente responsalis libertatis, progressus aequabiliter augescere potest.

Rabu, 14 Juli 2010

Tentang Santa Anna, Sumber 2 Tradisi

Sepatah Kata Pengantar

Injil adalah salah satu ragam sastera di masa Perjanjian Baru. Sebelum dituliskan, injil-injil terlebih dahulu berkembang sebagai tradisi lisan di dalam masyarakat. Di luar keempat Injil yang terdapat dalam Kitab Perjanjian Baru (Injil-injil kanonik Matius, Markus, Lukas, Yohanes) sudah beredar banyak tulisan Injil seperti itu. Di dalam pembukaan Injil yang ditulisnya, Santo Lukas mengatakan: “Banyak orang telah berusaha menyusun suatu berita tentang peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di antara kita, seperti yang telah disampaikan kepada kita oleh mereka, yang dari semula adalah saksi mata dan pelayan Firman.” (Luk 1:1-2). Mungkin Lukas telah melihat ada yang benar dan ada yang salah dalam tulisan-tulisan Injil yang sudah beredar, sehingga ketika hendak menyusun Injilnya, ia mengadakan penyelidikan dengan seksama dari mulanya (bdk Luk 1:3).
Proto Injil Santo Yakobus dan Injil Kelahiran Maria termasuk injil-injil yang berangkat dari tradisi dan merekam tradisi, yang diperkirakan berasal dari abad kedua. Karena tidak termasuk dalam kanon (daftar Kitab Suci) Perjanjian Baru, maka Injil-injil ini termasuk golongan Injil Apokrif. Namun ini tidak berarti apa yang tertulis di dalamnya keliru semua, melainkan ada yang benar, yang didukung oleh tradisi.
Sebagian dari Proto-Injil Santo Yakobus dan Injil Kelahiran Maria yang kusampaikan di sini adalah sebagai sumber-sumber tradisi untuk mengenal Santa Anna, yang bagi banyak orang hanya dikenal namanya, namun tidak diketahui bagaimana riwayatnya.

Malang, akhir Juni hingga awal Juli 2010
Bambang Kuss


PROTO-INJIL SANTO YAKOBUS
Bab 1

1. Dalam riwayat kedua-belas suku Israel, kita membaca ada seseorang yang bernama Yoakhim, yang sangat kaya, yang menyampaikan persembahan kepada Tuhan Allah dua kali lipat, dengan keyakinan: “persembahanku niscaya menjadi berkat bagi semua orang, dan karenanya aku akan mendapat kerahiman Tuhan Allah demi pengampunan dosa-dosaku”. 2. Namun pada suatu hari raya Tuhan, ketika anak-anak Israel menyampaikan persembahan mereka dan Yoakhim juga hendak menyampaikan persembahannya, Ruben, imam besar, menolak dia, katanya, “Tidak sepantasnya kamu menyampaikan persembahan, mengingat kamu belum punya anak keturunan dalam Israel.” 3. Kata-kata ini membuat Yoakhim sangat sedih, sehingga ia pergi menemui petugas pencatat silsilah kedua belas suku, untuk melihat apakah hanya dirinya saja yang tidak punya keturunan. 4. Dari penyelidikan itu diketahuinya semua orang benar mempunyai benih di Israel: 5. Lalu ia teringat bapa-bangsa Abraham, Bagaimana Tuhan memberi dia anak, yaitu Ishak, pada bagian akhir hidupnya; ingatan itu membuat Yoakhim amat sangat sedih, dan ia tidak mau pulang menemui isterinya; 6. ia pergi ke padang gurun, mendirikan tenda di sana, dan berpuasa empat puluh hari dan empat puluh malam, dan berkata pada dirinya sendiri, “Aku tak akan makan atau pun minum, sampai Tuhan Allahku berkenan memandang diriku, dan doaku adalah makananku dan minumanku.”

Catatan:
[1:6 Bdk dengan Musa, Kel 24:11; 34:28; Ul 9:9; dengan Elia, 1Raj 19:8.]

Injil Kelahiran Maria
BAB 1
1 Perawan Maria yang kudus dan mulia, yang terbit dari suku rajawi dan keluarga Daud, dilahirkan di kota Nazaret, dan dididik di Yerusalem, di Bait Allah Tuhan.
2 Nama ayahnya adalah Yoakim dan ibunya Hana (*). Keluarga ayahnya berasal dari Galilea dan dari kota Nazaret. Keluarga ibunya berasal dari Betlehem.
3. Mereka hidup lurus dan benar di mata Tuhan, saleh dan tanpa cela di hadapan manusia. Sebab mereka membagikan seluruh milik mereka menjadi tiga bagian:
4. Salah satu bagian mereka peruntukkan bagi Bait Allah dan petugas Bait Allah; sebagian yang lain diperuntukkan bagi orang asing dan orang miskin; dan bagian yang ketiga bagi diri mereka dan digunakan untuk keluarga mereka sendiri.
5. Dengan cara itulah mereka hidup selama dua puluh tahun secara murni, berkenan pada Allah, disukai sesama, namun tidak punya keturunan.
6. Namun mereka bernazar, sekiranya Tuhan berkenan memberikan anak, mereka akan membaktikan anak itu kepada Tuhan; karena itu mereka pergi beribadat di Bait Allah pada setiap perayaan.
7. Demikianlah maka menjelang perayaan cahaya, Yoakim dan teman-temannya yang satu puak pergi ke Yerusalem, dan pada waktu itu yang menjadi imam besar adalah Isakhar.
8. Ketika melihat Yoakim bersama dengan rombongannya membawa persembahan, ia mencemooh Yoakim dan persembahannya, katanya
9 “Mengapa dia yang tidak punya keturunan berani tampil di antara mereka yang punya.” Sambil menambahkan, bahwa persembahannya tidak akan diterima oleh Tuhan, yang menganggapnya tidak layak mempunyai anak; menurut Kitab Suci, celakalah barangsiapa yang tidak mempunyai putera di Israel.
10. Selanjutnya ia berkata, Yoakim seharusnya melepaskan diri dari kutuk dengan mendapatkan anak dulu, baru kemudian datang dengan membawa persembahannya di hadirat Tuhan.
11. Namun Yoakim yang sangat malu karena cemoohan itu, mengundurkan diri ke tempat para gembala, yang menjaga ternak mereka di padang;
12. Ia tidak berani pulang ke rumahnya, sebab setidaknya tetangga-tetangga yang ada bersamanya dan mendengar semua perkataan imam besar, akan menghinanya di depan umum dengan cara yang sama.
Catatan: (*) Hana(h) adalah nama Ibrani. Nama ini ditransliterasikan ke dalam berbagai bahasa lain menjadi Ann, Anna, atau Anne. Dalam transliterasi nama Ibrani itu, Kitab Suci Indonesia menggunakan Hana (Mis Hana isteri Tobit, ibu Tobias, Tob 1:9 dan nabiah dalam Luk 2:36-38), sedang bacaan-bacaan di luar Kitab Suci pada umumnya menggunakan Anna.
I:6 Bdk 1 Sam 1:6-7

Injil Kelahiran Maria
BAB 2
1 Setelah di tempat itu beberapa lama, pada suatu hari ketika ia sendirian, malaikat Allah berdiri di hadapannya dengan cahaya yang menyilaukan.
2 Kepadanya yang terkejut karena penampakan itu, malaikat yang menampakkan diri itu menghibur, katanya:
3 “Jangan takut, Yoakim, jangan terkejut karena melihat aku, sebab aku malaikat yang diutus Allah kepadamu, supaya aku memberitahukan kepadamu, bahwa doamu sudah didengarkan, dan segala dermamu naik ke hadapan Allah.
4 Karena Dia telah menyaksikan betapa kamu malu, dan telah mendengarkan hinaan yang tidak adil karena kamu tidak punya anak: sebab Tuhan menghukum dosa, bukan kodrat;
5 Maka ketika Ia menutup rahim seseorang, Ia melakukannya dengan maksud ini, supaya dengan cara yang lebih ajaib Ia membukanya kembali, sehingga yang dilahirkan bukanlah hasil nafsu, tetapi karunia Allah.
6 Bukankah ibu leluhur bangsamu Sara mandul sampai usianya delapan puluh tahun? Sekalipun begitu pada akhirnya ia melahirkan Ishak pada masa tuanya, dan pada anaknya itu ada janji berkat bagi segala bangsa.
7 Rahel juga yang sungguh dikasihi Allah, dan sangat dicintai oleh Yakub yang kudus tetap mandul sampai lama, tetapi sesudahnya ia menjadi ibu Yusuf yang bukan saja menjadi penguasa di Mesir, tetapi juga membebaskan banyak bangsa dari kematian karena lapar
8 Siapa di antara hakim-hakim yang lebih perkasa dari Simson, atau lebih kudus dari Samuel? Namun ibu-ibu mereka sama-sama mandul
9 Jika semua ini tidak meyakinkan kamu akan kebenaran perkataanku, bahwa ada banyak orang mengandung di masa tua, dan bahwa mereka yang mandul kemudian melahirkan sehingga menimbulkan keheranan besar, maka Hana isterimu akan melahirkan bagimu seorang anak perempuan, dan kamu akan menamainya Maria;
10 Dia akan dibaktikan kepada Allah dari masa kecilnya, dan akan penuh dengan Roh Kudus sejak dalam kandungan ibunya.
11 Ia tak akan makan atau minum sesuatu yang haram, dan iapun tidak akan bergaul dengan orang kebanyakan, melainkan berada di dalam bait Allah; itu supaya ia tidak dihinakan atau dicurigakan melakukan apa yang buruk.
12 Maka ketika ia bertumbuh nanti, sebagaimana ia sendiri dilahirkan dengan cara yang ajaib dari seorang yang mandul, maka sewaktu ia masih perawan, dengan cara yang tiada duanya, ia akan melahirkan Putera Allah yang Mahatinggi, yang akan dinamai Yesus, dan sesuai dengan arti namaNya, Ia akan menjadi Penyelamat segala bangsa (Mat 1:21).
13 Dan inilah tandanya bagimu dari semua yang telah kukatakan, yaitu, ketika kamu sampai di Gerbang Emas Yerusalem, kamu akan menjumpai Hana yang sangat cemas karena kamu tidak segera pulang, dan dia akan bersuka cita menjumpai engkau.”
14 Setelah mengatakan semuanya itu, malaikat itupun pergi meninggalkan dia.

Catatan: Ay 3: (Kis 10:4); Ay 6: (Kej 16:2dst; 17:10dst); Ay 7: (Kej 30:1-22; 41:1dst); Ay 8: (Hak 13:2; 1 Sam 6); Ay 10: (Luk 1:15)


PROTO-INJIL SANTO YAKOBUS
Bab 2

1. Sementara itu Hana, isterinya sangat sedih dan bingung karena dua sebab, dan berkata pada dirinya sendiri, “Aku akan meratapi baik keadaanku yang menjanda ditinggal suamiku maupun kemandulanku.” 2. Dan menjelang suatu hari raya Tuhan, Yudit, hambanya, berkata: “Sampai berapa lama engkau akan menyiksa jiwamu? Hari raya Tuhan sudah mendekat, tidak baik bagi seseorang untuk berdukacita. 3. Karena itu kenakanlah pakaian terbaik, yang diberikan oleh orang yang membuatnya bagimu, sebab tidak cocok jika aku, seorang hamba, memakainya, tetapi pakaian itu sangat cocok bagimu yang lebih mulia.” 4. Tapi Hana menjawab, “Pergilah dariku, aku tidak pantas untuk pakaian seperti itu, selain itu Tuhan sungguh membuatku hina, 4. aku takut orang keliru memberikan ini padamu dan kamu datang menambah parah keadaan dosaku”. 6. Lalu Yudit hambanya itu menjawab, “Kejahatan apa lagi yang kutimpakan padamu jika engkau tidak mendengarkan aku? 7. Aku tak ingin menambah besar kutuk yang engkau sandang, bahwa Allah menutup rahimmu, sehingga engkau tidak bisa menjadi seorang ibu di Israel.” 8. Atas perkataan itu Hana bertambah semakin sedih, dan setelah mengenakan gaun perkawinannya, pada pukul tiga sore ia berjalan-jalan di kebunnya, 9. dan ia melihat sebatang pohon salam, lalu ia duduk di bawah pohon itu, dan berdoa kepada Tuhan, katanya: 10. “Ya Allah para leluhurku, turunkanlah berkatMu kepadaku dan dengarkanlah doaku, seperti Engkau telah mendatangkan berkat pada rahim Sara, dan memberikan kepadanya seorang putera, Ishak.”(*)

Catatan:
* Kej 21:2


PROTO-INJIL SANTO YAKOBUS
Bab 3

1. Dan ketika ia menengadah dilihatnya sebuah sarang burung pipit di antara daun-daun salam. 2. Ia mengeluh di dalam hati, katanya, “Wahai diriku, siapa yang memperanakkan aku? rahim siapakah yang melahirkan aku, sehingga aku menanggung aib ini di hadapan anak-anak Israel, sehingga mereka menghinakan dan mencemooh aku di rumah Tuhanku? Wahai diriku, dengan apa aku ini bisa dibandingkan? 3. Tak dapat aku dibandingkan dengan hewan-hewan yang paling ganas di bumi, sebab bahkan hewan bumi yang paling ganas pun punya keturunan di hadapanMu, ya Tuhan! Wahai diriku, dengan apa aku bisa dibandingkan? 4. Tak dapat aku dibandingkan dengan hewan-hewan rendah di bumi, sebab bahkan hewan bumi yang rendah pun punya keturunan di hadapanMu, ya Tuhan! Wahai diriku, dengan apa aku bisa dibandingkan? 5. Tak dapat aku dibandingkan dengan semua air ini, sebab segala air berbuah di hadapanMu, ya Tuhan! Wahai diriku, dengan apa aku bisa dibandingkan? 6. Tak dapat aku dibandingkan dengan ombak di laut, sebab ombak, entah tenang, entah bergerak, punya ikan-ikan di dalamnya, dan memuliakan Engkau, ya Tuhan! Wahai diriku, dengan apa aku bisa dibandingkan? 7. Tak dapat aku dibandingkan dengan bumi, sebab bumi menghasilkan buahnya dan memuji Dikau, ya Tuhan!”

PROTO-INJIL SANTO YAKOBUS
Bab 4

1. Kemudian seorang malaikat Tuhan berdiri di sampingnya dan berkata, “Hana, Hana, Tuhan telah mendengarkan doamu; kamu akan mengandung dan melahirkan; dan anakmu itu akan menjadi buah bibir di seluruh dunia.” 2. Dan Hana menjawab, “Demi Tuhan Allahku yang hidup, maka anak yang kulahirkan, entah laki-laki, entah perempuan, akan kubaktikan kepada Tuhan Allahku, dan anak itu akan melayaniNya dalam hal-hal yang kudus sepanjang hidupnya.” 3. Kemudian tampak dua malaikat, yang berkata kepadanya: “Suamimu, Yoakhim, akan pulang bersama para gembalanya,” 4. Sebab seorang malaikat juga sudah menemuinya dan berkata, “Tuhan Allah telah mendengarkan doamu, bergegaslah dan pulanglah, sebab Hana isterimu akan mengandung.” 5. Yoakhim pergi dan memanggil para gembalanya, dan berkata: “Ambillah untukku sepuluh anak-domba betina yang putih dan tak bercacat, dan mereka akan kupersembahkan kepada Tuhan Allahku; 6. Dan bawa padaku dua belas anak lembu yang tak bercatat, dan keduabelas anak-lembu itu akan diserahkan untuk para imam dan para penatua. 7. Bawa pula untukku seratus kambing, dan semuanya akan kueserahkan untuk segenap umat.” 8. Dan Yoakhim pulang bersama dengan para gembalanya, dan Hana yang berdiri menanti di dekat gapura melihat Yoakhim mendatangi bersama para gembalanya. 8. Ia berlari mendapatkan suaminya dan merangkul lehernya, katanya: “Kini aku tahu, Tuhan sungguh murah hati memberikan berkat karunia padaku; 10. sebab lihatlah, aku yang seorang janda kini bukan janda lagi, dan aku yang mandul kini akan mengandung.”

Injil Kelahiran Maria
BAB 3

1 Kemudian malaikat menampakkan diri pada Hana isterinya, dan berkata: “Jangan takut, dan jangan mengira bahwa yang kamu lihat ini hantu.
2 Sebab aku adalah malaikat yang menyampaikan doa-doa dan dermamu di hadapan Tuhan, dan sekarang aku diutus untuk memberitahukan kepadamu, bahwa kamu akan melahirkan seorang anak perempuan, yang akan kamu namai Maria, dan ia akan diberkati dari antara semua wanita.
3 Dari sejak lahirnya ia akan penuh dengan rahmat Tuhan, dan akan terus tinggal selama tiga tahun di rumah bapanya, dan sesudahnya akan dibaktikan untuk melayani Tuhan, Ia tidak akan meninggalkan Bait Allah sebelum tiba waktu yang ditentukan baginya.
4 Pendeknya dia akan berada di sana melayani Tuhan siang dan malam dengan puasa dan doa, dan akan berpantang dari semua yang diharamkan, dan tak akan mengenal laki-laki.
5 Namun tanpa ada duanya, tanpa pembenihan, dan sebagai seorang perawan yang tidak mengenal laki-laki satupun, dia akan mengandung seorang putera, dan akan melahirkan Tuhan, yang dengan rahmat dan nama dan pekerjaanNya, akan menjadi penyelamat dunia.
6 Maka bangunlah dan pergilah ke Yerusalem dan pergilah ke Gerbang Emas (yang disebut demikian karena disepuh dan dilapisi dengan emas). Dan sebagai tanda atas semua perkataanku, kamu akan menjumpai suamimu yang kamu cemaskan keselamatannya.
7 Maka ketika kamu dapatkan semuanya ini terjadi, percayalah bahwa selebihnya yang telah kukatakan kepadamu, juga pasti akan terlaksana juga.”
8. Maka sesuai dengan perkataan malaikat itu, mereka berdua pergi meninggalkan tempat masing-masing dan di tempat yang telah ditunjukkan malaikat, mereka saling berjumpa.
9 Maka dengan bersuka cita atas penampakan masing-masing, dan merasa dipuaskan oleh janji akan seorang anak, mereka mengucap syukur kepada Allah, yang telah meninggikan yang hina dina.
10 Sesudah memuji Tuhan mereka pulang dan hidup dengan sukacita dengan harapan yang pasti akan janji Allah.
11. Maka Hana mengandung dan melahirkan seorang anak perempuan dan sesuai dengan perkataan malaikat, mereka menamai anak itu Maria.

Catatan: Ay 1: Bdk Mat 14:26; ay 2: Lih Luk 1:28; ay 4: Lih Luk 2:37

PROTO-INJIL SANTO YAKOBUS
Bab 5

1. Dan Yoakim seharian itu tinggal di rumah saja, namun esok hatinya ia membawa semua persembahannya dan berkata, 2. “Seandainya Tuhan rahim kepadaku, hendaklah dari Urim dan Tumim yang dikenakan imam Ia menyatakan keadaanku.” 3. Dan dari Urim dan Tumim yang dikenakan imam itu, kepadanya diperlihatkan, bahwa dosa tidak ada padanya. 4. Kata Yoakim, “Kini aku tahu Tuhan sungguh baik kepadaku dan telah membersihkan segala dosaku.” 5. Ia turun dari Bait Allah dan telah dibenarkan, lalu ia pulang ke rumahnya. 6. Dan setelah sembilan bulan genap bagi Hana, tibalah waktunya untuk melahirkan, dan kepada prawat penolong-kelahiran ia bertanya, “Bagaimana anak yang kulahirkan?” 7. Penolong kelahiran itu memberi tahu, “Seorang anak perempuan.” 8. Lalu Hana berkata, “Hari ini Tuhan telah memuliakan jiwaku.” Dan ia berbaring di ranjangnya. 9. Dan setelah usai masa nifasnya dan ia telah ditahirkan, ia menyusui anak itu dan memberikan nama Maria kepadanya.


PROTO-INJIL SANTO YAKOBUS
Diterjemahkan secara longgar, artinya tidak harfiah
oleh: Bambang Kuss

Bab 6
1 Dan anak itu bertambah kuat setiap hari, maka ketika umurnya sembilan bulan, ibunya menurunkannya ke tanah untuk melihat apakah ia bisa berdiri; anak itu berjalan sembilan langkah, kemudian kembali lagi ke pangkuan ibunya.
2. Ibunya mengangkatnya dan berkata, “Demi Tuhan Allahku yang hidup, kamu tak boleh lagi berjalan di atas bumi sampai kubawa kamu ke Bait Allah.”
3. Maka Hana membuatkan untuk anaknya itu suatu kamar sebagai tempat yang kudus, sehingga tidak tersentuh oleh sesuatu yang diharamkan dan apa yang najis tidak datang padanya, namun ia mengundang datang puteri-puteri Israel yang masih suci, tapi mereka menyisihkan anak itu.
4. Ketika umur anak itu genap satu tahun, Yoakim membuat pesta besar, dan ia mengundang para imam, ahli-kitab, para penatua dan segenap orang Israel.
5. Dan Yoakim menyampaikan persembahan korban untuk anak itu, dan mereka memberkati anak itu dengan berkata, “Allah para bapa leluhur kita memberkati gadis ini, dan memberikan nama yang masyhur kepadanya untuk segala angkatan.” Semua yang hadir menjawab, “Amin”.
6. Lalu untuk kali yang kedua, Yoakim menyerahkan anak itu kepada para imam, dan mereka memberkati anak itu dambil berkata, “Ya Allah yang mahatinggi, pandanglah anak ini, dan karuniakanlah kepadanya berkat yang kekal.”
7. Ibunya lalu mengambil anak itu, dan menyusui anak itu, sambil menyanyikan kidung berikut kepada Tuhan.
8. “Aku akan menyanyikan lagu baru kepada Tuhan Allahku, sebab Ia telah melawat aku; Ia telah membebaskan aku dari musuh-musuh yang menghinaku, dan memberikan kepadaku keadilan-Nya, sehingga boleh diberitakan kepada anak-anak Ruben, bahwa Hana telah menyusui anaknya.”
9. Kemudian ia membaringkan anak itu tidur di kamar yang telah ditahirkan, lalu ia keluar lagi untuk melayani tamu-tamu.
10. Dan ketika perjamuan pesta usai, mereka pulang dengan sukacita sambil memuji Allah.


Bab 7
1. Anak itu bertumbuh menjadi besar, dan ketika umurnya dua tahun, Yoakim berkata kepada Hana, “Mari kita membawanya ke Bait Allah, supaya kita melunaskan janji kita, yang telah kita ucapkan kepada Tuhan Allah, supaya Ia tidak memurkai kita dan tidak berkenan kepada persembahan kita.”
2. Namun Hana berkata, “Biarlah kita tunggu hingga tahun ketiga, supaya ia mengenal ayahnya.” Yoakim menjawab, “Kalau begitu baiklah kita menunggu.”
3. Dan ketika umur anak itu tiga tahun, Yoakim berkata, “Marilah kita mengajak gadis-gadis Ibrani yang masih suci, dan biarlah masing-masing dari mereka membawa pelita, dan biarlah mereka menyalakan pelita itu, supaya anak ini tidak berpaling untuk pulang, dan tidak bosan pada Bait Allah.”
4. Hal itu mereka lakukan, sampai mereka naik ke Bait Allah. Dan imam besar menerima anak itu, dan memberkati anak itu sambil berkata, “Maria, Tuhan Allah telah memuliakan namamu kepada semua angkatan, dan hingga akhir zaman Tuhan akan memberikan keselamatan kepada anak-anak Israel.”
5. Imam besar menurunkan Maria pada undakan ketiga dari altar, dan Tuhan memberkatinya, dan Maria menari dengan kakinya, dan seluruh Israel mengasihi dia.

Bab 8
1. Orangtuanya pulang dengan takjub dan memuji Allah, sebab anak itu tidak rewel berbalik kepada mereka.


Injil Kelahiran Maria
BAB 4

1 Tiga tahun telah berlalu dan masa sapihannya pun selesai, mereka membawa sang Perawan ke Bait Allah sekalian dengan membawa persembahan.
2 Dan menjelang tiba di Bait Allah, menurut lima belas Mazmur ziarah ada lima belas anak tangga yang harus didaki.
3 Karena Bait Allah dibangun di atas sebuah gunung, mezbah korban bakaran tak bisa tidak harus didekati dengan mendaki anak tangga.
4 Orangtua sang Perawan dan kanak-kanak Maria yang terberkati berhenti dan mereka menurunkannya di salah satu anak tangga
5 Mereka melepas pakaian yang telah digunakan untuk perjalanan, dan menurut adat harus diganti dengan yang lebih rapi dan bersih.
6 Sementara itu Perawan Allah dengan cara yang luarbiasa mendaki semua anak tangga satu per satu, tanpa ada orang yang membimbing atau mengangkatnya, sehingga setiap orang mengira umurnya sudah cukup.
7 Maka Tuhan melakukan perkerjaan yang ajaib dalam masa kanak-kanak sang Perawan, terbukti betapa baiknya dia di kemudian hari.
8 Namun setelah menyampaikan persembahan korban mereka menurut adat hukum, dan menyempurnakan nadar mereka, orangtuanya meninggalkan sang Perawan di Bait Allah, untuk dibesarkan di sana, lalu pulang.

Ay 2: Mzm 120 s/d 134

Mengejar Tujuan Dengan Luwes

Ada strategi tertentu di dalam upaya mencapai tujuan, yang mengajak kita untuk mengikuti arus. Strategi pencapaian sasaran itu mengajarkan kepada kita keluwesan hati dan kerelaan fisik. Dalam hal ini ada hikmat yang diajarkan kisah Sufi tentang sungai yang bertemu dengan padang gurun. Sungai itu sangat kuat dan sejauh yang diingatnya, ia mengalir terus. Ia telah melalui gunung-gunung dan dataran, melewati es juga. Lalu pada suatu hari ia sampai di padang gurun.
Pada mulanya ia mencoba melintasi padang gurun itu dan menggelontorkan airnya sekuat mungkin ke pasir. Tetapi air itu selalu habis diserap pasir. Gentarlah sungai itu. Jelas sekali bahwa cara kerjanya yang lama, yang biasa digunakannya, tidak bisa jalan di sini. Ia tidak tahu bagaimana caranya melintasi padang pasir.
Akhirnya sungai itu meminta nasihat dari angin.
“Kamu harus santai, biarkan aku mengangkatmu,” kata angin menjelaskan. “Jika kamu mau membiarkan dirimu menjadi uap air, dengan senang hati aku akan menerbangkan kamu, melintasi seluruh padang gurun itu dalam waktu singkat. Lalu kamu menjadi awan hujan, lalu jatuh dari langit dalam rupa jutaan titik air hujan, dan menjadi sebuah sungai lagi.”
Si sungai terguncang. “Uap air?” teriaknya. “Apa itu uap air? Dan apa pula awan hujan? Titik air hujan? Aku tak bisa menjadi hal-hal itu. Aku sebuah sungai!”
Angin berusaha memberi penjelasan. “Tapi kamu adalah banyak hal. Memang kamu sebatang sungai, tetapi juga sebuah sungai dan awan uap air dan juga titik air hujan, walaupun berbeda, semua itu adalah bentuk atau rupa yang lain dari sesuatu yang sama. Katakanlah itu hakikatmu, dan aku yakin kamu tak akan lupa tentang hakikat itu.”
“Tapi aku sebuah sungai,” kata sungai itu dengan keras kepala, “bagaimana mungkin aku bisa menjadi hal-hal yang lain itu?”
“Oh, sungguh itu. Yah. Percayalah padaku,” jawab angin itu. “Cobalah untuk percaya kepadaku, nanti akan kutunjukkan kepadamu. Kamu dapat menjadi banyak hal, menjadi berbagai hal, tanpa kehilangan hakikatmu, temanku.”
Sungai yang takut dan tidak yakin itu merenung cukup lama, tetapi ia akhirnya memutuskan bahwa tak ada pilihan yang lebih baik.
“Kupikir aku sudah siap sekarang,” akhirnya ia berbisik kepada angin.
Sang angin kemudian mengangkat sungai itu dengan penuh kasih, mula-mula membelainya agar menjadi bentuk kabut uap air yang jauh lebih ringan, dan kemudian dengan lembut ia membawanya ke seberang padang gurun. Sungai itu menjadi santai. Dan kemudian sang angin menurunkannya sejauh mungkin di seberang sana, dan kemudian sungai itu melanjutkan perjalanannya lagi.
Sungai yang berkembang menjadi lebih bijaksana dari sebelumnya, kini mengalir maju dengan suatu hati yang baru, hati yang terbuka kepada berbagai kemungkinan yang jauh lebih besar.
Belajar dari keadaan serupa yang dihadapi sungai, kita tahu bahwa keluwesan, kepasrahan dan keterbukaan dapat membawa kita jauh lebih efektif ke arah tujuan.

ADA BAIKNYA BERTEMAN DENGAN KETIDAKPASTIAN.... SUPAYA KITA JADI PEKA TERHADAP SEMUA KEMUNGKINAN.
Rachel Naomi Remen

Senin, 12 Juli 2010

Tentang Santa Anna, Proto-Injil St Yakobus Bab 6, 7, 8

PROTO-INJIL SANTO YAKOBUS
Diterjemahkan secara longgar, artinya tidak harfiah
oleh: Bambang Kuss

Bab 6
1 Dan anak itu bertambah kuat setiap hari, maka ketika umurnya sembilan bulan, ibunya menurunkannya ke tanah untuk melihat apakah ia bisa berdiri; anak itu berjalan sembilan langkah, kemudian kembali lagi ke pangkuan ibunya.
2. Ibunya mengangkatnya dan berkata, “Demi Tuhan Allahku yang hidup, kamu tak boleh lagi berjalan di atas bumi sampai kubawa kamu ke Bait Allah.”
3. Maka Hana membuatkan untuk anaknya itu suatu kamar sebagai tempat yang kudus, sehingga tidak tersentuh oleh sesuatu yang diharamkan dan apa yang najis tidak datang padanya, namun ia mengundang datang puteri-puteri Israel yang masih suci, tapi mereka menyisihkan anak itu.
4. Ketika umur anak itu genap satu tahun, Yoakim membuat pesta besar, dan ia mengundang para imam, ahli-kitab, para penatua dan segenap orang Israel.
5. Dan Yoakim menyampaikan persembahan korban untuk anak itu, dan mereka memberkati anak itu dengan berkata, “Allah para bapa leluhur kita memberkati gadis ini, dan memberikan nama yang masyhur kepadanya untuk segala angkatan.” Semua yang hadir menjawab, “Amin”.
6. Lalu untuk kali yang kedua, Yoakim menyerahkan anak itu kepada para imam, dan mereka memberkati anak itu dambil berkata, “Ya Allah yang mahatinggi, pandanglah anak ini, dan karuniakanlah kepadanya berkat yang kekal.”
7. Ibunya lalu mengambil anak itu, dan menyusui anak itu, sambil menyanyikan kidung berikut kepada Tuhan.
8. “Aku akan menyanyikan lagu baru kepada Tuhan Allahku, sebab Ia telah melawat aku; Ia telah membebaskan aku dari musuh-musuh yang menghinaku, dan memberikan kepadaku keadilan-Nya, sehingga boleh diberitakan kepada anak-anak Ruben, bahwa Hana telah menyusui anaknya.”
9. Kemudian ia membaringkan anak itu tidur di kamar yang telah ditahirkan, lalu ia keluar lagi untuk melayani tamu-tamu.
10. Dan ketika perjamuan pesta usai, mereka pulang dengan sukacita sambil memuji Allah.


Bab 7
1. Anak itu bertumbuh menjadi besar, dan ketika umurnya dua tahun, Yoakim berkata kepada Hana, “Mari kita membawanya ke Bait Allah, supaya kita melunaskan janji kita, yang telah kita ucapkan kepada Tuhan Allah, supaya Ia tidak memurkai kita dan tidak berkenan kepada persembahan kita.”
2. Namun Hana berkata, “Biarlah kita tunggu hingga tahun ketiga, supaya ia mengenal ayahnya.” Yoakim menjawab, “Kalau begitu baiklah kita menunggu.”
3. Dan ketika umur anak itu tiga tahun, Yoakim berkata, “Marilah kita mengajak gadis-gadis Ibrani yang masih suci, dan biarlah masing-masing dari mereka membawa pelita, dan biarlah mereka menyalakan pelita itu, supaya anak ini tidak berpaling untuk pulang, dan tidak bosan pada Bait Allah.”
4. Hal itu mereka lakukan, sampai mereka naik ke Bait Allah. Dan imam besar menerima anak itu, dan memberkati anak itu sambil berkata, “Maria, Tuhan Allah telah memuliakan namamu kepada semua angkatan, dan hingga akhir zaman Tuhan akan memberikan keselamatan kepada anak-anak Israel.”
5. Imam besar menurunkan Maria pada undakan ketiga dari altar, dan Tuhan memberkatinya, dan Maria menari dengan kakinya, dan seluruh Israel mengasihi dia.

Bab 8
1. Orangtuanya pulang dengan takjub dan memuji Allah, sebab anak itu tidak rewel berbalik kepada mereka.

Sabtu, 10 Juli 2010

Excerpts on Love and the Good Samaritans

The parable of the Good Samaritan (cf. Lk 10:25-37) offers … important clarifications. Until that time, the concept of “neighbour” was understood as referring essentially to one's countrymen and to foreigners who had settled in the land of Israel; in other words, to the closely-knit community of a single country or people. This limit is now abolished. Anyone who needs me, and whom I can help, is my neighbour. The concept of “neighbour” is now universalized, yet it remains concrete. Despite being extended to all mankind, it is not reduced to a generic, abstract and undemanding expression of love, but calls for my own practical commitment here and now. The Church has the duty to interpret ever anew this relationship between near and far with regard to the actual daily life of her members. [Pope Benedict XVI, Deus Caritas Est art. 15]

“If anyone says, ‘I love God,' and hates his brother, he is a liar; for he who does not love his brother whom he has seen, cannot love God whom he has not seen” (1 Jn 4:20).

For the Church, charity is not a kind of welfare activity which could equally well be left to others, but is a part of her nature, an indispensable expression of her very being.
The Church is God's family in the world. In this family no one ought to go without the necessities of life. Yet at the same time caritas-agape extends beyond the frontiers of the Church. The parable of the Good Samaritan remains as a standard which imposes universal love towards the needy whom we encounter “by chance” (cf. Lk 10:31), whoever they may be. Without in any way detracting from this commandment of universal love, the Church also has a specific responsibility: within the ecclesial family no member should suffer through being in need. The teaching of the Letter to the Galatians is emphatic: “So then, as we have opportunity, let us do good to all, and especially to those who are of the household of faith” (6:10). [Pope Benedict XVI, Deus Caritas Est art. 25]

This gives rise to the duty of believers to unite their efforts with those of all men and women of good will, with the followers of other religions and with non-believers, so that this world of ours may effectively correspond to the divine plan: living as a family under the Creator's watchful eye. A particular manifestation of charity and a guiding criterion for fraternal cooperation between believers and non-believers is undoubtedly the principle of subsidiarity, an expression of inalienable human freedom. [Pope Benedict XVI, Caritas In Veritate, art 57).

Evolving societies must remain faithful to all that is truly human in their traditions, avoiding the temptation to overlay them automatically with the mechanisms of a globalization of technological civilization. In all cultures there are examples of ethical convergence, some isolated, some interrelated, as an expression of the one human nature, willed by the Creator; the tradition of ethical wisdom knows this as the natural law. This universal moral law provides a sound basis for all cultural, religious and political dialogue, and it ensures that the multi-faceted pluralism of cultural diversity does not detach itself from the common quest for truth, goodness and God. Thus adherence to the law etched on human hearts is the precondition for all constructive social cooperation. Every culture has burdens from which it must be freed and shadows from which it must emerge. The Christian faith, by becoming incarnate in cultures and at the same time transcending them, can help them grow in universal brotherhood and solidarity, for the advancement of global and community development. [Pope Benedict XVI, Caritas In Veritate, art 59).

Novena Santa Anna

St Anna terutama dipandang sebagai pelindung ibu-ibu, penghibur bagi mereka yang sedih, bunda bagi yang menderita, kesehatan bagi yang sakit, pelindung mereka yang tak punya anak, pertolongan bagi yang sedang mengandung, teladan wanita menikah dan para ibu, serta pelindung para janda, pelindung para bidan dan wanita yang melahirkan.
Santa Anna juga Pelindung Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI).

St Anna diperingati setiap tanggal 26 Juli, bersama dengan suaminya, St Yoakim; mereka adalah orangtua St Perawan Maria, Bunda Yesus.

Sembilan hari menjelang peringatannya itu, para ibu biasanya mengadakan novena St Anna, untuk meminta pertolongan darinya.

Berikut adalah doa Novena kepada St Anna, yang didaras sembilan hari berturut-turut:

St Anna yang mulia,
Engkau Ibu yang sungguh menyayangi orang yang berseru kepadamu, dan penuh kasih kepada orang yang menderita.
Dengan menanggung beban berat segala kesulitan, kami bersimpuh di kakimu. Dengan rendah hati kami memohon kepadamu, ya Ibu, sudilah secara khusus memerhatikan maksud tujuan kami, yang kami serahkan kepadamu.

Tolonglah sampaikan segala permohonan kami kepada puterimu, Santa Perawan Maria, agar ia meletakkannya di hadapan tahta Puteranya, Yesus, agar Yesus mengubahnya jadi warta gembira bagi kami.
Permohonan kami adalah ......[uraikan keinginan Anda]....
Semoga Ibu senantiasa menjadi pengantara kami, hingga permohonan kami dikabulkan. Namun terutama, usahakan bagi kami rahmat karunia, agar suatu hari nanti, kami boleh memandang Tuhan dari muka ke muka, bersama denganmu, Ibu, bersama Santa Perawan Maria, dan semua orang kudus, untuk memuji dan memuliakan Dia selama-lamanya. Amin.

Bapa kami.....
Salam Maria....

Ya Yesus, Santa Maria dan Santa Anna, tolonglah kami sekarang dan pada waktu kami mati.

Santa Anna yang baik, doakanlah kami.

Kamis, 08 Juli 2010

Kasih dalam Kebenaran (15)

(Caritas In Veritate)
Ensiklik Paus Benediktus XVI
Terjemahan oleh Bambang Kuss

15. Dua dokumen berikutnya dari Paulus VI tidak mempunyai kaitan langsung dengan ajaran sosial, yaitu Ensiklik Humanae Vitae (25 Juli 1968 [tentang martabat manusia dan program Keluarga Berencana. Pnjmh]) dan Seruan Apostolik Evangelii Nuntuiandi (8 Desember 1975 [tentang Pewartaan Injil. Pnjmh]) – adalah sangat penting karena menekankan makna perkembangan yang sepenuhnya manusiawi yang disarankan Gereja. Karena itu ada manfaatnya meninjau keduanya sehubungan dengan Populorum Progressio.
Ensiklik Humanae Vitae menekankan makna seksualitas yang menyatukan dan terbuka bagi keturunan, dan dengan demikian meletakkan sebagai dasar masyarakat perkawinan pria dan wanita yang menerima satu sama lain baik perbedaan-perbedaan maupun saling melengkapi; dan demikian pasangan yang terbuka bagi kehidupan (Bdk. Paulus VI, Humanae Vitae no 8-9; Benediktus XVI, Amanat Pada Peserta Kongres Internasional memperingati 40 tahun Humanae Vitae, 10 Mei 2008). Jadi, ini bukan masalah moralitas yang semata-mata individual: Humanae Vitae menunjukkan hubungan yang kuat antara etika kehidupan dan etika sosial, mengantar kepada suatu masa baru ajaran magisterium yang berangsur-angsur dituangkan dalam rangkaian dokumen, terutama baru-baru ini Ensiklik Yohanes Paulus II Evangelium Vitae (lih. Evangelium Vitae [EV]93). Gereja dengan sepenuh daya memelihara hubungan di antara etika hidup dan etika sosial, dengan menyadari sepenuhnya bahwa “masyarakat tidak punya dasar yang kuat jika di satu pihak mengakui nilai-nilai martabat pribadi, keadilan dan perdamaian, namun di pihak lain bertindak secara radikal bertentangan dengan membolehkan dan membiarkan berbagai ragam cara di mana hidup manusia tidak dihargai dan dilanggar, khususnya mereka yang lemah dan terpinggirkan (EV 101).
Seruan Apostolik Evangelii Nuntiandi (EN) pada gilirannya sangat erat terkait dengan perkembangan, sesuai dengan kata-kata Paulus VI “pewartaan Injil tidak lengkap jika tidak memperhitungkan hubungan terus menerus antara Injil dan kehidupan yang konkret baik pribadi maupun sosial” (EN 29). “Antara pewartaan Injil dan kemajuan manusia – perkembanan dan pembebasan – terdapat kaitan yang mendalam” (EN 31): atas dasar ini, Paulus VI dengan jelas mengemukakan hubungan di antara pewartaan Kristus dan kemajuan perorangan dalam masyarakat. Kesaksian akan kasih Kritus melalui karya-karya di bidang keadilan, perdamaian dan perkembangan, merupakan bagian dan kemasan pewartaan Injil, karena Yesus Kristus yang mengasihi kita memperhatian pribadi manusia secara keseluruhan. Ajaran yang sangat penting ini memmbentuk dasar aspek misioner (Yohanes Paulus II, Sollicitudo Rei Socialis, 41) dari ajaran sosial Gereja, di mana aspek misioner itu merupakan elemen pokok dari pewartaan Injil (Idem; lihat juga Yohanes Paulus II, Centessimus Annus, 5 dan 54). Ajaran sosial Gereja menyatakan dan mengandung kesaksian iman. Ajaran sosial Gereja adalah alat dan tempat pembinaan iman yang tak doleh dilupakan.

Teks Latin:
15. Duo alia Pauli VI documenta cum sociali doctrina coniunguntur, videlicet Litterae encyclicae Humanae vitae, die XXV mensis Iulii anno MCMLXVIII datae, atque Adhortatio apostolica Evangelii nuntiandi, die VIII mensis Decembris anno MCMLXXV evulgata, quae magni momenti sunt, ut progressionis prorsus humana significatio describatur, quam Ecclesia proponit. Quocirca aequum est scripta haec quoque legere cum Litteris encyclicis Populorum progressio conferenda.
Litterae encyclicae Humanae vitae coniunctivam genetivamque sexualitatis naturam extollunt, quae sicut societatis fundamentum locant coniuges, virum et feminam, dum se mutuo distinguentes itemque complentes suscipiunt. De coniugibus ideo agitur vitae studentibus [Cfr nn. 8-9: AAS 60 (1968), 485-487; Benedictus XVI, Sermo ad participes Congressus Internationalis, XL anniversario interveniente Litt. enc. « Humanae vitae » (10 Maii 2008): Insegnamenti IV, 1 (2008), 753-756.]. Haud de re morali solummodo singulorum sermo fit: Litterae encyclicae « Humanae vitae » solida vincula designant, quae inter vitae ethicam et ethicam socialem intercedunt, magistrale quoddam insinuantes argumentum, quod gradatim variis in documentis auctum est, novissime in Ioannis Pauli II Litteris encyclicis Evangelium vitae [Cfr Litt. enc. Evangelium vitae (25 Martii 1995), 93: AAS 87 (1995), 507-508.]. Firmiter hanc vitae ethicae cum ethica sociali coniunctionem exhibet Ecclesia, sibi prorsus conscia: « Nec firma habere potest fundamenta illa societas quae – dum bona asserit qualia sunt personarum dignitas, iustitia et pax – sibi obloquitur radicitus, cum diversissimas quidem recipiat perferatque rationes humanam neglegendi ac violandi vitam, praesertim infirmam et segregem » [Ibid., 101: l.m., 516-518.].
Adhortatio apostolica Evangelii nuntiandi, sua fungens vice, artissime cum progressione coniungitur. Eo quod « evangelizatio – scripsit Paulus VI – plena non est, nisi ratio habetur mutuae appellationis, quae continenter intercedit inter Evangelium et vitam concretam, personalem ac socialem hominis » [N. 29: AAS 68 (1976), 25.]. « Revera inter evangelizationem et promotionem humanam, seu progressionem et liberationem, interveniunt intima vincula coniunctionis » [Ibid., 31: l.m., 26.]: hac ductus conscientia, Paulus VI vinculum Christi nuntii cum personae in societate provectione aperte ostendit. Christi caritatis testificatio per iustitiae, pacis progressionisque opera pars quidem est evangelizationis, quandoquidem Iesu Christo, qui nos diligit, cordi est totus homo. Praestanti hac in doctrina disciplinae socialis Ecclesiae facies missionaria [Cfr Ioannes Paulus II, Litt. enc. Sollicitudo rei socialis, 41: l.m., 570-572.] tamquam essentialis pars evangelizationis nititur [Cfr ibid.; Id., Litt. enc. Centesimus annus, 5.54: l.m., 799. 859-860.]. Ecclesiae doctrina socialis nuntiatio est et fidei testificatio. Ad eandem consequendam institutionis instrumentum locusque est necessarius.

Tentang St Anna, Injil Kelahiran Maria Bab 3

Injil Kelahiran Maria
Diterjemahkan secara longgar, artinya tidak harfiah
Oleh : Bambang Kuss

BAB III
1 Kemudian malaikat menampakkan diri pada Hana isterinya, dan berkata: “Jangan takut, dan jangan mengira bahwa yang kamu lihat ini hantu .
2 Sebab aku adalah malaikat yang menyampaikan doa-doa dan dermamu di hadapan Tuhan, dan sekarang aku diutus untuk memberitahukan kepadamu, bahwa kamu akan melahirkan seorang anak perempuan, yang akan kamu namai Maria, dan ia akan diberkati dari antara semua wanita .
3 Dari sejak lahirnya ia akan penuh dengan rahmat Tuhan, dan akan terus tinggal selama tiga tahun di rumah bapanya, dan sesudahnya akan dibaktikan untuk melayani Tuhan, Ia tidak akan meninggalkan Bait Allah sebelum tiba waktu yang ditentukan baginya.
4 Pendeknya dia akan berada di sana melayani Tuhan siang dan malam dengan puasa dan doa , dan akan berpantang dari semua yang diharamkan, dan tak akan mengenal laki-laki.
5 Namun tanpa ada duanya, tanpa pembenihan, dan sebagai seorang perawan yang tidak mengenal laki-laki satupun, dia akan mengandung seorang putera, dan akan melahirkan Tuhan, yang dengan rahmat dan nama dan pekerjaanNya, akan menjadi penyelamat dunia.
6 Maka bangunlah dan pergilah ke Yerusalem dan pergilah ke Gerbang Emas (yang disebut demikian karena disepuh dan dilapisi dengan emas). Dan sebagai tanda atas semua perkataanku, kamu akan menjumpai suamimu yang kamu cemaskan keselamatannya.
7 Maka ketika kamu dapatkan semuanya ini terjadi, percayalah bahwa selebihnya yang telah kukatakan kepadamu, juga pasti akan terlaksana juga.”
8. Maka sesuai dengan perkataan malaikat itu, mereka berdua pergi meninggalkan tempat masing-masing dan di tempat yang telah ditunjukkan malaikat, mereka saling berjumpa.
9 Maka dengan bersuka cita atas penampakan masing-masing, dan merasa dipuaskan oleh janji akan seorang anak, mereka mengucap syukur kepada Allah, yang telah meninggikan yang hina dina.
10 Sesudah memuji Tuhan mereka pulang dan hidup dengan sukacita dengan harapan yang pasti akan janji Allah.
11. Maka Hana mengandung dan melahirkan seorang anak perempuan dan sesuai dengan perkataan malaikat, mereka menamai anak itu Maria.