Sabtu, 05 Juni 2010

Catatan Tertinggal Dari Sacramentum Caritatis

SAKRAMEN KASIH
Seruan Apostolik Pasca Sinode Para Uskup
Dari Paus Benediktus XVI
2007


[Mungkin bisa digunakan untuk refleksi teman-teman, daripada kusimpan sendiri, berikut kusajikan catatan-catatanku, yang sebagian merupakan cuplikan dari nomor-nomor artikel Seruan Apostolik Sacramentum Caritatis, dengan terjemahan bebas olehku. Bagian teologi dasarnya (art 1-14) tak kutemukan lagi, entah kupakai untuk apa dulunya. Sori ya! – BAMBANG KUSS]



Ekaristi Dan Gereja

Ekaristi adalah konstitutif sifatnya bagi eksistensi dan kegiatan Gereja sebagai Tubuh Kristus, dan dalam Ekaristi itulah bersumber misteri kesatuan Gereja, yang dalam kata-kata almarhum Paus Yohanes Paulus II dinyatakan sebagai “manifestasi tertinggi komunio Gerejawi”. Kesatuan komunio Gerejawi diungkapkan secara konkret dan diperbarui dalam Ekaristi, dan perbedaan-perbedaan diatasi dalam sakramen persatuan itu, ”in quibus et ex quibus una et unica Ecclesia catholica exsistit.” [art 15].


Ekaristi, Roh Kudus dan Perayaan Misteri

Diingatkan menurut Dokumen Konsili Vatikan II PO 5, bahwa seluruh tugas pelayanan dan karya kerasulan terikat dan terarah pada Ekaristi. Sebab di dalam Ekaristi tersimpan seluruh kekayaan rohani Gereja yaitu Kristus sendiri, Paskah Kebangkitan dan roti hidup kita, yang memberikan hidup kepada manusia oleh Roh Kudus.[art 16]. Gereja melakukan perayaan Ekaristi dengan norma liturgis yang terpelihara selama dua ribu tahun dan dengannya memupuk iman umat yang ikut serta secara aktif dalam rangka Umat Allah, imamat rajawi, bangsa yang kudus (1 Ptr 2:4-5) [art 38].


Ekaristi, Misteri yang Dihayati

Namun Ekaristi bukan hanya dirayakan, melainkan juga harus dihayati, menurut Santo Paulus sebagai persembahan hidup, ibadat rohani yang berkenan pada Tuhan (logike latreia, Rm 12:1) dalam prinsip inkarnasi. Bersumber dari Ekaristi, seluruh realitas manusiawi setiap umat yang dalam persekutuan Gerejawi dipersembahkan pada Kristus diubah menjadi kudus (Flp 3:12) [art 70]. Maka agar pantas dan layak ibadat ini menuntut agar “jika engkau melakukan sesuatu... lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah” (1 Kor 10:31). Maka segala sesuatu yang konkret dalam hidup umat Kristiani secara tersirat hendaklah mencerminkan hakekat Ekaristi, sebagai perubahan progresif dari semua yang dipanggil oleh rahmat untuk memantulkan gambar Putera Allah (bdk Rm 8:29ff), baik pikiran, perasaan, perkataan maupun perbuatan [art 71]. Santo Ignatius dari Antiokia dalam hal ini menyerukan agar kita hidup selar= as dengan Hari Tuhan (iuxta dominicam viventes), yaitu dengan kesadaran bahwa penebusan oleh Kristus membentuk hidup kita sehari-hari sebagai ciptaan baru yang mewartakan rahmat Tuhan kepada semua orang. [art 72].


Spiritualitas dan Budaya Ekaristi

Para Uskup dalam Sinode tentang Ekaristi (Oktober 2005) menyatakan bahwa kaum beriman perlu lebih memahami hubungan antara Ekaristi dan hidup sehari-hari. Spiritualitas Ekaristi bukan hanya berupa keikutsertaan dalam Misa dan devosi pada Sakramen Mahakudus, tetapi meliputi seluruh hidup. Ini dimaksudkan agar kita dalam hidup dan kebudayaan “berubahlah oleh pembaruan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah, apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna” (Rm 12:2). Dan dengan demikian dalam kondisi dunia sekarang ini “kita bukan lagi anak-anak, yang diombang-ambingkan oleh rupa-rupa angin pengajaran, oleh permainan palsu...kelicikan...yang menyesatkan” (Ef 4:14). [art 77].

Spiritualitas Ekaristi, yaitu misteri Ekaristi yang dihayati sehari-hari, adalah panggilan radikal yang mendesak bagi kaum awam yang sehari-hari mengeluti soal-soal duniawi. Mereka adalah anak-anak Allah yang ditanamkan di dunia, “ladang” (Mat 13:38) tempat Allah menaburkan benih kebaikan, “supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar” dari Allah (1 Ptr 2:9). Sebagai saksi yang meyakinkan di tempat kerja dan dalam masyarakat. Juga di dalam keluarga, di mana Ekaristi dapat mengungkapkan daya khasiatnya yang mengubah hidup dan memberikan makna yang sepenuhnya. [art 79].

Ekaristi juga harus makin merasuk dalam spiritualitas para imam. Jika semakin sering Ekaristi dirayakan dengan penuh iman dan perhatian, Ekaristi akan membina mereka sedalam-dalamnya dan mengantar konfigurasi para imam dengan Kristus dan menguatkan mereka di dalam panggilan imamat mereka [art 80].

Demikian pula hubungan antara Ekaristi dengan hidup bakti sangat jelas di dalam kesaksian profetis pria dan wanita yang membaktikan diri kepada Tuhan. Perayaan dan adorasi Ekaristi menjadi sumber kekuatan yang dipelukan bagi upaya mengikuti Kristus secara radikal, melalui ikrar ketaatan, kemiskinan dan kemurnian agar semakin kuat menunjukkan dimensi eskatologis dari hidup kita. [art 81]

Suatu pembicaraan yang hangat di dalam Sinode Para Uskup berkenaan dengan hubungan antara bentuk hidup yang ekaristis dan transformasi moral. Puji syukur atas karunia Allah haruslah mengubah sikap hidup umat sedemikian, sehingga kesadaran bahwa dikasihi Allah pada gilirannya mendorong umat untuk mengasihi sesama secara konkret di dalam komunio, dengan contoh pengalaman Zakheus (Luk 19: 1-10). [art 82].

Ini merujuk kepada konsistensi Ekaristis sebagai suatu kualitas hidup di dalam komunio. Ibadat harus berlanjut dengan kesaksian iman dalam kehidupan publik. Jelas, ini sungguh benar bagi mereka yang telah dibaptis, namun terutama ditujukan kepada mereka yang, berdasarkan kedudukan mereka secara sosial (dalam kemasyarakatan) dan politik (dalam pemerintahan) harus membuat keputusan yang berkaitan dengan nilai-nilai dasar, seperti penghargaan pada hidup manusia, perlindungannya sejak masa kehamilan hingga mati secara wajar, keluarga yang dibangun atas perkawinan seorang pria dan seorang wanita, kebebasan dalam pendidikan anak-anak dan memajukan kesejahteraan umum dalam segala bentuknya. Semua nilai dasar ini tidak bisa dikompromikan. Konsekuensinya, para politisi dan anggota legislatif Katolik, sadar akan tanggungjawabnya yang berat di hadapan masyarakat, harus merasa benar-benar terikat komitmen, atas dasar hati-nurani yang dibina dengan baik, untuk mengajukan dan mendukung perundang-undangan yang dijiwai oleh nilai-nilai yang termaktub dalam kodrat manusia. Ada suatu hubungan yang obyektif di sini dengan Ekaristi (bdk 1 Kor 11:27-29). Para Uskup terikat untuk terus-menerus menegaskan nilai-nilai dasar ini sebagai bagian dari tanggungjawab mereka atas kawanan yang dipercayakan kepada mereka. [art 83].


Ekaristi dan Karya Perutusan

Kasih yang dirayakan dalam sakramen persekutuan Ekaristis bukanlah sesuatu yang hanya disimpan untuk diri sendiri, namun harus dibagikan kepada semua orang. Dunia memerlukan kasih Allah. Maka Ekaristi sebagai sumber dan puncak bukan hanya bagi hidup Gereja, tetapi juga bagi misi perutusannya: “suatu Gereja yang autentik Ekaristis adalah suatu Gereja yang misioner” (proposisi no 42 Sinode Para Uskup 2005). “Apa yang telah kami lihat dan yang telah kami dengar itu, kami beritakan kepada kamu juga, supaya kamupun beroleh persekutuan bersama kami” (1 Yoh 1:3). Penetapan Ekaristi oleh Yesus adalah dalam rangka misi perutusanNya untuk menebus dunia (bdk Yoh 3:16-17; Rm 8:32). Maka altar perjamuan Ekaristis harus membentuk hidup Kristiani yang sanggup keluar melaksanakan karya perutusan mewartakan keselamatan. [art 84]. Dengan perkataan maupun tindakan kita harus menghadirkan diri di mana kita berada menjadi saksi kasih Allah yang Ekaristis dengan penuh sukacita. [art 85]. Namun tekanan atas hubungan intrinsik antara Ekaristi dan tugas perutusan kita memerlukan katekese terus menerus bagi semua orang yang terlibat dalam usaha misioner mewartakan Yesus Sang Juru Selamat [art 86].


Ekaristi, Misteri yang Dianugerahkan Kepada Dunia

“Roti yang Kuberikan adalah dagingKu, yang akan Kuberikan untuk hidup dunia” (Yoh 6:51). Komunitas kita ketika merayakan Ekaristi harus semakin sadar bahwa kurban Kristus diperuntukkan bagi semua orang, dan Ekaristi meminta kita semua menjadi “roti yang dipecah-pecahkan” bagi orang lain, dan untuk bekerja membangun dunia yang lebih berasudara dan adil. Ingatlah mujizat perbanyakan roti dan ikan, di mana seruan Yesus agar para murid secara pribadi terlibat tetap bergema bagi kita: “Kamu harus memberi mereka makan” (Mat 14:16). Bersama Yesus, masing-masing dari kita dipanggil menjadi roti yang dipecah-pecahkan bagi hidup dunia [art 88].

Perlu diperhatikan implikasi sosial dari penghayatan Ekaristi yang meruntuhkan tembok-tembok pemisah sosial, karena Ekaristi merupakan sakramen kesatuan yang mendamaikan, melakukan rekonsiliasi “bagi semua orang” (bdk Ef 2:14; Mat 5:23-24). Ekaristi haruslah mengobarkan semangat dialog dengan komitmen untuk mewujudkan kebenaran, keadilan dan perdamaian, dengan mengubah struktur-struktur yang tidak adil dan memulihkan martabat manusia. Namun, bukanlah tugas Gereja untuk melibatkan diri dalam karya politik dalam rangka memungkinkan terwujudnya masyarakat yang sungguh adil; namun, Gereja juga tidak bisa dan tidak boleh berada di garis pinggir saja di dalam memperjuangkan keadilan. Gereja harus “memainkan peranannya melalui wacana rasional dan harus membangkitkan energi kerohanian yang tanpanya keadilan, yang selalu menuntut pengorbanan, tidak akan bertahan dan tumbuh dengan subur”. Menurut para Bapa Sinode, kurban Kristus merupakan misteri pembebasan yang selalu dan terus menerus menantang kita. Maka semua yang ambil bagian dalam Ekaristi harus punya komitmen mewujudkan kedamaian di dunia yang carut marut oleh kekerasan dan perang, dan dewasa ini oleh terorisme, korupsi dan eksploitasi seksual [art 89].

Sebagai “roti yang dipecah-pecahkan” bagi hidup dunia kita juga harus melanjutkan upaya memenuhi kebutuhan kaum miskin, terutama anak-anak, dan mengembangkan harapan baru pada mereka melalui tradisi solidaritas kita (bdk Kis 4:32; Rm 15:26) [art 90].

Dengan cara yang sangat khusus, awam Kristiani, yang dibina dengan pendidikan Ekaristi, terpanggil untuk mengemban tanggungjawab sosial politik mereka yang khas. Untuk itu, mereka harus mendapatkan pembinaan yang memadai dalam hal kasih dan keadilan. Demi tujuan ini, Sinode menganggap penting agar Keuskupan-keuskupan dan komunitas Kristiani mengajarkan dan menyebarkan ajaran sosial Gereja. Ajaran ini, buah seluruh sejarah Gereja, sangat menonjol karena didasarkan atas realisme dan sikap moderasi; ajaran sosial Gereja dapat membantu menghindarkan kompromi-kompromi yang salah kaprah atau berbagai utopia [art 91]. Akhirnya spiritualitas ekaristis yang mendalam niscaya mendorong seluruh umat di dalam menghaturkan pujian dan syukur kepada Allah melalui Ekaristi meningkatkan kesadaran bahwa semua ini dilakukan atas nama seluruh semesta ciptaan, dengan maksud menguduskan dunia dan mengusahakan hal itu. Termasuk di dalamya usaha-usaha yang penuh tanggungjawab bagi melindungi dan melestarikan alam ciptaan. [art 92]. Seruan Apostolik ini diterbitkan pada 22 Februari 2007.



Bambang Kussriyanto, Juli 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar