Kamis, 16 Juni 2011

Deus Caritas Est (Allah Adalah Kasih) Bagian I

Ensiklik Paus Benediktus XVI
Tahun 2005
Terjemahan FX Bambang Kussriyanto


Bagian Pertama
Kesatuan Kasih
Dalam Penciptaan dan Sejarah Keselamatan

Persoalan Bahasa
2. Kasih Allah pada kita adalah dasar hidup kita. Darinya muncul pertanyaan-pertanyaan penting mengenai siapa Allah dan juga siapa kita. Dalam merenungkannya, kita segera menemui hambatan bahasa. Dewasa ini kata kasih atau cinta sudah menjadi salah satu di antara kata-kata yang paling sering digunakan dan disalah-gunakan, suatu kata yang ditafsirkan dengan beberapa makna yang berlain-lainan. Walaupun Ensiklik ini terutama berhubungan dengan pengertian dan praktek kasih dalam Kitab Suci dan dalam Tradisi Gereja, namun kita tidak dapat begitu saja menyerahkan makna kata kasih itu pada berbagai kebudayaan yang berbeda-beda dan dalam penggunaannya sekarang.

Pertama-tama marilah kita lihat berbagai makna yang luas dari kata “kasih” atau “cinta”. Kita bicara tentang cinta negara, cinta profesi tertentu, cinta persahabatan, cinta kerja, cinta antara orangtua dan anak-anak, cinta antar anggota keluarga, kasih pada sesama dan kasih pada Allah. Namun di antara aneka makna kasih atau cinta ini ada satu hal yang terus membayang: cinta di antara laki-laki dan perempuan, di mana tubuh dan jiwa disatukan tak terpisahkan dan manusia menengok pada suatu janji bahagia yang tampaknya tak dapat ditolak. Kiranya inilah inti yang sebenarnya dari kasih atau cinta; jika dibandingkan dengannya, semua jenis cinta yang lain menjadi lebih suram. Maka kita bertanya: apakah semua bentuk kasih pada dasarnya satu saja, sehingga kendati aneka wujud dan variasinya tetap merupakan kenyataan yang tunggal. Atau, apakah kita menggunakan satu kata saja untuk aneka kenyataan yang sungguh berbeda-beda?

“Eros” dan “Agape”: perbedaan dan kesatuan
3. Cinta di antara laki-laki dan perempuan yang tanpa direncana dan tidak terduga datang begitu saja pada manusia oleh orang Yunani kuno disebut eros. Segera kita perhatikan bahwa Kitab Suci Perjanjian Lama berbahasa Yunani menggunakan kata eros hanya dua kali, sedang Kitab Suci Perjanjian Baru sama sekali tidak menggunakan kata eros. Di antara tiga kata Yunani untuk cinta, yaitu eros, philia (cinta persahabatan) dan agape, para penulis Perjanjian Baru lebih memilih kata agape, yang malah jarang digunakan dalam bahasa Yunani. Sedangkan kata philia, cinta persahabatan, digunakan dengan tambahan arti yang dalam untuk mengungkapkan hubungan di antara Yesus dan para murid-Nya dalam Injil Yohanes. Kecenderungan menghindari kata eros dan pandangan baru atas kasih yang diungkapkan dengan kata agape jelas menunjukkan sesuatu yang baru dan lain sekali dalam pemahaman Kristen akan cinta atau kasih. Di dalam kajian kritis atas Kekristenan yang berawal dari zaman Pencerahan dan dengan cepat bertambah semakin radikal, unsur baru ini terlihat sebagai sesuatu yang negatif seluruhnya. Menurut Friedrich Nietzsche, Kekristenan telah meracuni eros, sebab kemudian untuk sebagian walau tidak seluruhnya, kata eros berangsur-angsur merosot nilainya menjadi sesuatu yang buruk (bdk. Friedrich Nietzsche, Jenseits von Gut und Böse, IV, 168). Di sini filsuf Jerman itu menyatakan pandangan khalayak luas: bukankah Gereja, dengan semua perintah dan larangannya memutarbalikkan hal yang paling berharga dalam hidup menjadi kepahitan? Bukankah Gereja menganggap sukacita yang dikaruniakan Sang Pencipta dan yang memberikan kebahagiaan pada kita, yang adalah cicipan keilahian, sebagai sesuatu yang berbahaya?


4. Benarkah demikian? Apakah Kekristenan sungguh merusak eros? Marilah kita lihat dunia sebelum Kekristenan. Bangsa Yunani – seperti kebudayaan lainnya – menganggap eros terutama sebagai semacam keadaan mabuk kepayang tergila-gila, penelikungan akal-budi oleh suatu “kegilaan ilahi” yang melemparkan manusia lepas dari pelbagai keterbatasan dan memampukannya, dalam proses untuk menjadi, berkat daya ilahi itu mencapai kebahagiaan tertinggi. Semua daya lainnya di langit dan di bumi lalu dianggap sekunder. “Cinta mengalahkan segalanya” kata Vergilius dalam Eclogue. Ia menambahkan: “marilah kita juga mereguk nikmat cinta” (Vergilius, Eclogue, X, 69). Dalam keagamaan, sikap ini mendapatkan ungkapan dalam kultus kesuburan yang merebak di banyak kuil, yang sebagian merupakan praktek pelacuran “suci”. Maka eros dirayakan sebagai daya ilahi, sebagai kesatuan dengan Yang Ilahi.

Bentuk agama demikian, yang dianggap merupakan suatu cobaan besar atas iman pada Tuhan yang Esa, oleh Kitab Suci Perjanjian Lama ditentang dengan keras sebagai penyimpangan citarasa keagamaan. Namun Perjanjian Lama tidak menolak eros; yang dilawan adalah bentuknya yang salah dan rusak, sebab pemujaan eros yang palsu ini sungguh melucuti martabatnya dan membuatnya tidak manusiawi. Sebab para pelacur di kuil yang melayani nafsu ilahi ini tidak diperlakukan sebagai manusia atau pribadi, melainkan hanya sekedar alat untuk membangkitkan “kegilaan ilahi”: mereka juga bukan dewi-dewi, hanya manusia, namun mereka disalahgunakan. Maka eros yang kepayang tergila-gila dan tidak tertib bukanlah anak tangga “ekstase’ menuju Yang Ilahi, melainkan malah menurunkan martabat manusia. Karenanya eros perlu ditertibkan dan dimurnikan jika diharapkan menghasilkan bukan hanya kenikmatan sementara, melainkan cicipan tertentu atas puncak keberadaan kita, kebahagiaan yang dirindukan oleh segenap diri kita.

5. Ada dua hal yang timbul dari tinjauan sekilas atas konsep eros masa lalu dan sekarang. Pertama, ada hubungan tertentu antara cinta dengan Yang Ilahi: cinta menjanjikan kekekalan atau keabadian – suatu realitas yang jauh lebih besar dan sepenuhnya berbeda dari situasi keberadaan kita sehari-hari. Namun juga kita lihat bahwa cara kita mencapai tujuan hidup dalam perspektif sekarang pun tidaklah semata-mata berserah hanya kepada naluri saja. Pemurnian dan pertumbuhan dalam kedewasaan diperlukan, dan semua ini mendapat kemajuan dengan melewati lorong pengendalian. Jauh dari menolak atau “meracuni” eros, langkah-langkah itu justru menyembuhkan eros dan memulihkan keagungannya.

Pertama-tama dan terutama ini karena fakta bahwa manusia merupakan badan dan jiwa. Manusia adalah sungguh manusia sejati jika badan dan jiwanya bersatu dengan erat; tantangan eros dapat dikatakan telah diatasi dengan terwujudnya kesatuan badan-jiwa ini. Seandainya manusia mau menjadi roh saja dan menolak daging karena terkait dengan kodrat jiwa saja, maka jiwa dan badan sama-sama kehilangan martabatnya. Di pihak lain, seandainya manusia menyangkal jiwa dan menganggap materi, badan, sebagai satu-satunya realitas, maka iapun kehilangan kemuliaannya. Gassendi yang suka kenikmatan sering dengan bercanda menyapa Descartes: “Hai, Jiwa!” Dan Descartes sebaliknya menjawab: “Hai, Daging!” (bdk R. Descartes, Œuvres, ed. V. Cousin, vol. 12, Paris 1824, hal. 95dst). Tetapi baik jiwa saja maupun badan saja tidak dapat mencinta atau mengasihi: adalah manusia seluruhnya, pribadinya, mahluk utuh yang merupakan kesatuan badan-jiwa yang mencinta. Hanya jika kedua dimensi jiwa-badan sungguh bersatu, manusia mencapai kepenuhan hakikinya. Hanya dengan cara demikianlah cinta – eros – dapat dewasa dan mencapai keagungannya.

Pada zaman sekarang Kekristenan dari masa lalu sering dikritik karena melawan tubuh; tak dapat disangkal bahwa kecenderungan seperti ini selalu ada. Namun cara memuja tubuh zaman sekarang banyak kita saksikan, juga menyesatkan. Eros yang disusutkan menjadi “seks” belaka telah menjadi suatu komoditi, hanya suatu “hal” yang dapat diperjual-belikan atau tepatnya, manusia sendiri telah menjadi suatu komoditas. Ini bukanlah penerimaan yang sungguh tepat atas tubuh manusia. Sebaliknya, manusia menganggap tubuh dan seks benar-benar sebagai bagian yang material dari dirinya, untuk didayagunakan dan dieksploatasi sesukanya. Ia tidak memandang tubuh dan seksualitas sebagai arena pelaksanaan kebebasan, tetapi obyek yang diusahakan kapan saja ia mau tanpa merasa bersalah. Di sini kita berhadapan dengan kemerosotan arti tubuh manusia: tubuh tidak lagi bagian utuh dari kebebasan eksistensial seluruhnya; bukan lagi ungkapan vital seluruh keberadaan, namun disusutkan jadi bagian biologis saja. Lalu yang tadinya tampak sebagai pemujaan tubuh dengan cepat berubah menjadi kebencian pada tubuh. Sebaliknya iman Kristen selalu memandang manusia sebagai kesatuan dua cara berada di mana jiwa dan badan saling merasuki, karenanya jiwa maupun badan diangkat pada kemuliaan baru. Memang, eros cenderung naik “dalam ekstase” menuju Yang Ilahi, mengarahkan kita melampaui diri sendiri; justru untuk itu eros memerlukan lorong naik, pemulihan, pemurnian dan kesembuhan.

6. Konkretnya, apa yang dituntut dari kita oleh lorong peluhuran dan pemurnian kasih ini? Bagaimana kasih dapat dialami sedemikian sehingga janji manusiawi dan ilahinya dapat sepenuhnya terwujud? Petunjuk yang pertama dapat kita temukan dalam Kitab Kidung Agung, salah satu kitab Perjanjian Lama yang sangat dikenal para mistikus. Menurut tafsir yang banyak diikuti sekarang, syair-syair di dalam kitab ini mulanya adalah nyanyian cinta, yang mungkin ditujukan untuk pesta nikah Yahudi dan dimaksudkan untuk mengagungkan cinta perkawinan. Di sini perlu diperhatikan bahwa dalam alur kitab itu digunakan dua kata Ibrani yang berbeda untuk “cinta”. Yang pertama adalah kata dodim, suatu bentuk jamak yang mau melukiskan cinta yang masih belum aman, belum pasti dan “dalam pencarian”. Kata ini kemudian diganti dengan kata ahaba, yang dalam Kitab Suci Perjanjian Lama versi bahasa Yunani kurang lebih sama dengan agape, yang seperti telah kita tinjau, menjadi ungkapan khusus dalam konsep alkitabiah tentang cinta. Kontras dengan cinta yang tidak pasti dan masih “dalam pencarian”, kata ahaba ini mengungkapkan pengalaman akan cinta yang meliputi suatu penemuan nyata akan yang lain, yang membawa orang melampaui sifat yang egois yang terdapat pada jenis cinta yang terdahulu. Cinta kini menjadi perhatian yang terarah pada orang lain dan mengusahakan kesejahteraannya. Tidak lagi mencari diri sendiri; tidak lagi tenggelam dalam mencari kesenangan; mengusahakan kebaikan orang yang dicintai: cinta lalu menjadi penyangkalan diri dan kesiapan atau kerelaan untuk berkorban.

Cinta yang berusaha jadi pasti adalah cinta yang tumbuh berkembang ke tataran yang lebih tinggi dan secara batin mengalami pemurnian dalam arti ganda: yaitu dalam arti eksklusivitas (hanya tertuju pada satu pribadi saja) dan dalam arti “untuk selamanya”. Cinta merangkul keseluruhan keberadaan dalam pelbagai dimensinya, termasuk dimensi waktu. Sulit dikatakan sebaliknya, karena janji cinta mengarah pada tujuannya yang definitif: cinta mencari kelestarian. Cinta memang memerlukan “ekstase”, bukan dalam arti suatu momen mabuk kepayang, melainkan proses terus-menerus, keluar dari belenggu kepentingan-sendiri melulu berkelanjutan, menuju kebebasan melalui pemberian diri, dan karenanya mengarah pada penemuan diri sejati dan juga perjumpaan dengan Allah: “Barangsiapa berusaha memelihara nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, dan barangsiapa kehilangan nyawanya, ia akan menyelamatkannya” (Luk 17:33), demikian sabda Yesus sepanjang Injil (bdk Mat 10:39; 16:25; Mrk 8:35; Luk 9:24; Yoh 12:25). Dengan sabda ini Yesus menunjuk pada jalan-Nya sendiri, yang melalui Salib sampai pada Kebangkitan: jalan bulir gandum yang jatuh ke tanah dan mati, dan dengan demikian berbuah banyak. Dengan sabda itu Yesus juga hendak menyatakan hakikat cinta dan hidup manusia, mulai dari pengorbanan-Nya sendiri yang dalam dan dari situ kasih-Nya hingga sampai kepenuhannya.

7. Alur pemikiran kami dalam pendahuluan ini merupakan refleksi filosofis atas hakikat cinta atau kasih, dan sekarang mengantar kita pada ambang iman alkitabiah. Kita mulai dengan bertanya apakah pelbagai makna yang berbeda bahkan berlawanan dari kata kasih menunjuk pada kesatuan dasar yang dalam, ataukah sebaliknya, tiap makna kasih selalu terpisah, berdampingan satu sama lain. Namun yang lebih utama, apakah pesan kasih yang disampaikan kepada kita oleh Kitab Suci dan Tradisi Gereja berhubungan dengan pengalaman manusiawi yang lazim atas cinta, atau apakah bertentangan dengannya. Ini mengantar kita pada pemikiran atas kedua kata pokok: eros, yang merujuk pada cinta “duniawi”, dan agape, yaitu cinta yang telah dijinakkan dan dibentuk oleh iman. Kedua pengertian itu sering dilawankan sebagai cinta yang “menaik” dan cinta yang “menurun”. Ada gambaran lain yang mirip, misalnya pembedaan antara cinta yang menguasai dan cinta yang berkurban, amor concupiscentiae (cinta birahi), dan amor benevolentiae (kasih murah hati), yang kadang-kadang ditambah di antaranya dengan cinta yang mencari keuntungan diri.

Dalam filsafat dan teologi perbedaan-perbedaan ini disadari hingga membentuk suatu garis kontras di antara mereka: kasih yang menurun dan berkurban, yaitu agape, dikatakan khas Kristen, dan di pihak lain cinta yang menaik dan posesif atau hawa nafsu – eros – tidak Kristiani khususnya melekat bersifat Yunani. Andai kontras ini direntang hingga jauh maka esensi Kekristenan akan terpisah dari hubungan yang vital dan fundamental pada pengalaman manusiawi, dan akan menjadi suatu dunia yang lain, yang sekalipun mungkin menakjubkan, tetapi sungguh sama sekali terasing dari jalinan kompleks hidup insani. Namun jika keduanya dengan semua aspek yang berbeda semakin menemukan kesatuan yang wajar dalam realitas cinta yang tunggal, secara umum makin terwujudlah hakikat yang sebenarnya dari kasih. Bahkan sekalipun eros pada mulanya sungguh diwarnai nafsu dan menaik, suatu keterlenaan pada janji besar akan kebahagiaan, dalam proses pendekatan pada pihak yang lain, eros itu lambat laun membebaskan diri dari kepentingan diri dan semakin mengusahakan kebahagiaan yang lain, makin memerhatikan orang yang dicintai, memberikan segenap diri, ingin “berada bagi” yang lain. Dengan demikian unsur-unsur dari agape meresapi cinta ini, sebab jika tidak demikian eros akan merosot maknanya dan kehilangan hakikatnya. Di pihak lain, orang tidak bisa hidup semata-mata dengan kasih yang berkurban dan menurun saja. Ia tidak bisa selalu memberi, tetapi juga perlu menerima. Barangsiapa ingin memberi cinta juga harus menerima cinta sebagai karunia. Seperti yang dikatakan Tuhan pada kita, orang bisa menjadi sumber yang daripadanya mengalir air hidup (bdk Yoh 7:37-38). Namun untuk menjadi sumber itu, ia harus terus minum dari sumber yang asali, yaitu Yesus Kristus, yang dari lambung-Nya yang ditusuk mengalir kasih Allah (bdk Yoh 19:34).

Dalam cerita tentang tangga Yakub, para Bapa Gereja melihat hubungan yang tak terpisahkan di antara cinta yang menaik dan menurun, antara eros yang mencari Allah dan agape yang membagikan karunia yang telah diterima, dan dilambangkan dengan berbagai cara. Dalam teks Kitab Suci kita baca Bapa Bangsa Yakub melihat dalam mimpi, di atas batu yang menjadi bantalnya, terletak suatu tangga yang mencapai langit, di mana malaikat Allah naik dan turun (bdk Kej 28:12; Yoh 1:51). Suatu tafsir yang sangat menonjol mengenai gambaran ini diberikan oleh Paus Gregorius Agung dalam Regula Pastoralis-nya. Ia menyatakan: pastor yang baik tentu berakar dalam olah kontemplasi. Hanya karena itulah ia mampu menanggung kebutuhan orang lain dan memikulnya sebagai bebannya sendiri: “berkat olah kesalehan ia mampu menanggung beban orang lain” (Regula Pastoralis, II, 5: SCh 381, 196). Di sini St Gregorius merujuk pada St Paulus, tentang orang yang naik ke surga tertinggi dari Tuhan, dan dari sana turun lagi agar menjadi segala-galanya dalam semuanya (bdk 2Kor 12:2-4; 1Kor 9:22). Ia juga menunjuk contoh dari Musa, yang berulang kali masuk Kemah Allah, bercakap-cakap dengan Allah, lalu keluar dan dapat melayani bangsanya. “Masuk khusyuk dalam kontemplasi, agar di luar dapat sepenuhnya membantu yang menderita” (ibid 198).

8. Maka kita mendapatkan jawaban awal yang masih bersifat umum kepada dua soal yang di atas telah kita ajukan. Pada dasarnya, “cinta-kasih” adalah suatu realitas tunggal, namun mempunyai dimensi-dimensi yang berbeda: pada ketika yang berbeda, satu dimensi atau dimensi lainnya dari cinta-kasih muncul dengan lebih jelas. Dalam suatu sintesis juga telah kita lihat bahwa iman alkitabiah tidak menggariskan pemisahan paralel, ataupun memperlawankan gejala primordial manusiawi yang adalah cinta, tetapi justru merangkul keseluruhan manusia: iman alkitabiah meresapi pencarian manusia akan cinta untuk memurnikannya dan menyingkapkan dimensi-dimensi barunya. Hal yang baru dari iman alkitabiah terutama diperlihatkan dalam dua unsur yang perlu lebih dikemukakan: citra Allah dan citra manusia.

Unsur Baru dari Iman Alkitabiah
9. Pertama, dunia Kitab Suci mengemukakan kepada kita suatu citra baru dari Allah. Dalam kebudayaan-kebudayaan bangsa-bangsa di sekeliling, citra Allah dan berbagai ilah-ilah tetap tidak jelas dan saling bertentangan. Tetapi dalam perkembangan iman alkitabiah, isi doa pokok Israel, Shema, semakin jelas dan lantang: “Dengarlah, hai Israel, Tuhan adalah Allah kita, Tuhan itu esa” (Ul 6:4). Hanya ada satu Allah, Pencipta langit dan bumi, dan Allah semua manusia. Ada dua hal yang sungguh penting dari pernyataan ini: semua ilah yang lain bukan Allah, dan alam semesta tempat kita hidup berasal dari Allah dan diciptakan oleh-Nya. Memang ada kisah tentang penciptaan di mana-mana, namun hanya di sini sajalah bahwa bukan satu ilah di antara banyak yang lain, melainkan satu-satunya Allah yang benar sajalah yang merupakan sumber segala sesuatu; seluruh dunia menjadi ada karena kuasa Sabda-Nya yang menciptakan. Maka ciptaan disayangi oleh-Nya, karena dikehendaki oleh-Nya dan “dijadikan” oleh-Nya. Unsur penting yang kedua lalu mengemuka: Allah mengasihi manusia. Kuasa ilahi yang dicari-cari untuk dikenal oleh Aristoteles pada puncak filsafat Yunani melalui permenungan, dipandang sebagai sasaran hasrat dan cinta setiap insan – dan karena dicintai, Yang ilahi ini menggerakkan dunia (bdk Aristoteles, Metaphysica, XII, 7) – namun ia tidak butuh apa-apa dan tidak mencintai: Dia hanya obyek cinta. Di pihak lain, Allah esa dalam iman Israel mencintai dengan kasih yang pribadi. Selain itu, kasih-Nya adalah kasih yang memilih: Ia memilih Israel di antara semua bangsa dan mencintainya – tetapi Ia bertindak demikian untuk kesembuhan seluruh umat manusia. Allah mengasihi, dan kasih-Nya bisa disebut eros, namun juga bisa sepenuhnya agape (Dionysius Areopagus, dalam karyanya De divinis nominibus, IV, 12-14 menyebut Allah baik sebagai eros maupun agape).

Nabi-nabi, utamanya Hosea dan Yehezkiel, melukiskan cinta Allah atas umat-Nya dengan gambaran yang sungguh erotis. Allah dan Israel dilukiskan dengan kiasan pertunangan dan perkawinan; karena itu penyembahan berhala adalah perzinahan dan pelacuran. Maka di sini ada rujukan – seperti yang telah kita tinjau – pada kultus kesuburan dan penyalahgunaan eros, dan juga gambaran hubungan kesetiaan di antara Israel dengan Allah. Sejarah kasih ini – hubungan Allah dan Israel, pada intinya meliputi pemberian Taurat kepada Israel, hingga Israel tahu tentang kodrat menusia yang sebenarnya dan jalannya. Sejarah menunjukkan bahwa manusia, dengan iman kepada Allah yang esa mengalami diri sebagai kekasih Allah, dan bersukacita dalam kebenaran dan keadilan – sukacita dalam Tuhan menjadi inti kebahagiaannya: “Siapa gerangan ada padaku di surga selain Engkau? Selain Engkau tidak ada yang kuingini di bumi…. Sebab aku, aku suka dekat pada Allah” (Mzm 73: 25.28).

10. Sudah kita lihat eros Allah atas manusia juga sepenuhnya agape. Ini bukan hanya karena kasih itu diberikan sepenuhnya cuma-cuma, tanpa jasa sebelumnya, tetapi juga karena kasih ini adalah kasih yang mengampuni. Terutama Hosea menunjukkan kepada kita bahwa dimensi agape dari kasih Allah bagi manusia jauh melampaui aspek karunia cuma-cuma itu. Israel “berzinah” dan melanggar perjanjian; Allah selayaknya mengadili dan menghukum dia. Persis di sinilah Allah menyatakan diri sebagai Allah, bukan manusia: “Masakan Aku membiarkan engkau, hai Efraim, menyerahkan engkau, hai Israel? … Hati-Ku berbalik dalam diri-Ku, belas kasihan-Ku bangkit serentak. Aku tidak akan membinasakan Efraim kembali, tidak akan melaksanakan murka-Ku yang menyala-nyala itu,. Sebab Aku ini Allah dan bukan manusia, Yang Kudus di tengah-tengahmu” (Hos 11: 8-9). Cinta Allah yang kuat atas umat-Nya – atas manusia – adalah juga kasih pengampunan. Begitu kuatnya hingga Allah melawan diri-Nya sendiri, kasih-Nya melawan keadilan-Nya. Di sini umat Kristen samar-samar dapat melihat misteri Salib: demikian besar kasih Allah pada manusia sehingga dengan menjadi manusia Ia menyertai manusia bahkan sampai wafat, dan karenanya mendamaikan keadilan dengan kasih.

Dimensi filosofis dan kaitannya dari sudut sejarah-agama perlu diperhatikan dalam gambaran alkitabiah ini, yaitu bahwa di satu pihak kita berhadapan dengan suatu citra Allah yang amat metafisik, yaitu Allah yang mutlak dan sumber tunggal segala sesuatu. Namun prinsip universal penciptaan ini – Logos, sebab yang primordial – sekaligus juga kekasih yang mengasihi dengan kasih yang sejati. Eros dengan demikian amat sangat diluhurkan, sekaligus begitu dimurnikan menjadi agape. Maka tampak bagaimana penerimaan kitab Kidung Agung dalam kanon Kitab Suci dapat dijelaskan oleh gagasan bahwa madah-madah cinta ini sesungguhnya menggambarkan hubungan Allah dengan manusia, dan hubungan manusia dengan Allah. Maka kitab Kidung Agung, baik dalam sastra Kristen maupun sastra Yahudi, menjadi suatu sumber pengetahuan dan pengalaman mistik, suatu ungkapan esensi iman alkitabiah, bahwa manusia dapat sungguh-sungguh masuk dalam kesatuan dengan Allah yang adalah hasrat primordial baginya. Namun kesatuan ini bukan fusi atau peleburan seperti tenggelam dalam lautan Yang Ilahi tanpa nama. Kesatuan ini menciptakan cinta, suatu kesatuan di mana baik Allah maupun manusia tetap menjadi pribadi masing-masing namun sungguh-sungguh menjadi satu. Kata St Paulus: “Siapa mengikatkan dirinya pada Tuhan menjadi satu roh dengan Dia” (1Kor 6:17).

11. Yang baru dari iman alkitabiah seperti telah kita lihat, yang pertama adalah citra Allah dan yang kedua, yang berkait secara mendasar, citra manusia. Kisah Penciptaan alkitabiah bicara tentang kesendirian Adam, manusia pertama, yang menyebabkan Allah memberikan seorang penolong. Dari semua yang lain tak ada yang mampu menjadi penolong manusia, yang diberi kuasa memberi nama semua binatang besar dan burung-burung dan menjadikan mereka semua bagian hidupnya. Karena itu Allah menjadikan perempuan dari rusuk manusia itu. Maka Adam mendapat penolong untuknya: “Inilah tulang dari tulangku dan daging dari dagingku” (Kej 2:23). Di sini dapat dilacak jejak gagasan yang misalnya juga terdapat dalam mitos yang diceritakan Plato. Konon pada awal mulanya manusia itu utuh, lengkap dan mencukupi diri sendiri. Tetapi karena menjadi sombong manusia dihukum oleh Zeus dengan dibelah dua. Manusia lalu merindukan belahannya yang lain, ingin merengkuhnya lagi supaya dirinya utuh kembali (Plato, Symposium, XIV-XV, 189c-192d). Kendati kisah Kitab Suci tidak bicara soal hukuman, jelas terdapat di dalamnya gagasan bahwa manusia entah bagaimana tidak lengkap dan oleh kodratnya berusaha melengkapi dirinya agar utuh; gagasan bahwa hanya dengan bersatu dengan sesama dari jenis yang lain akan menjadikannya “lengkap”. Maka cerita Kitab Suci menyimpulkan dengan suatu nubuat tentang Adam: “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging” (Kej 2: 24).

Ada dua aspek yang penting di sini. Pertama, eros berakar dalam kodrat yang sesungguhnya dari manusia. Adam adalah seorang yang mencari, “meninggalkan ayah dan ibunya” untuk menemukan isterinya: hanya dengan bersatu keduanya jadi lengkap, menjadi “satu daging”. Aspek yang kedua sama pentingnya. Dari sudut ciptaan, eros mengarahkan manusia pada perkawinan, suatu ikatan yang tak tergantikan dan sungguh definitif. Sehingga, hanya dengan itu eros dapat mencapai tujuannya yang terdalam. Maka pada citra Allah yang esa terkait perkawinan monogami. Perkawinan, atas dasar cinta yang eksklusif dan definitif, menjadi lambang hubungan Allah dan umat-Nya. Cara Allah mencintai menjadi norma cinta manusia. Pertalian erat antara eros dan perkawinan dalam Kitab Suci tak ditemukan padanannya dalam tulisan-tulisan di luar Kitab Suci.

Yesus Kristus – kasih Allah yang menjadi manusia
12. Sejauh ini pembicaraan kita terutama menyangkut Perjanjian Lama, namun hubungan yang saling mendukung di antara kedua Perjanjian sebagai satu Kitab Suci iman Kristen sudah jelas dengan sendirinya. Yang baru dari Perjanjian Baru terdapat pada gagasan baru maupun pada figur Kristus, yang memberikan daging dan darah kepada konsep-konsep itu – realisme yang tidak ada sebelumnya. Dalam Perjanjian Lama, hal-hal baru dari Kitab Suci bukan pengertian abstrak, melainkan pengertian atas tindakan Allah yang tak terduga dan belum pernah ada sebelumnya. Tindakan ilahi ini kini dramatis bentuknya ketika dalam Yesus Kristus, Allah mencari “domba yang hilang”, yaitu kemanusiaan yang menderita dan hilang tersesat. Perumpamaan Yesus tentang gembala yang mencari domba yang hilang, tentang perempuan yang mencari uang yang hilang, tentang bapa yang menyambut anaknya yang durhaka, bukanlah sekedar kisah namun menjelaskan diri-Nya dan pekerjaan-Nya. Wafat-Nya di Salib adalah puncak penyangkalan-diri Allah, di mana Ia menyerahkan diri untuk mengangkat dan menyelamatkan manusia. Ini adalah bentuk kasih yang paling radikal. Dengan merenungkan lambung Kristus yang ditusuk tombak (bdk Yoh 19:37) kita dapat memahami titik tolak Ensiklik ini: “Allah adalah kasih” (1Yoh 4:8). Di situlah kebenaran ini direnungkan. Dari situlah pemaknaan kasih harusnya berawal. Dalam permenungan ini umat Kristen menemukan jalan yang harus ditempuh hidup dan cintanya.

13. Yesus mengabadikan tindakan penyerahan diri-Nya dengan hadir dalam Ekaristi, Perjamuan Baru. Ia mengantisipasi kematian dan kebangkitan-Nya dengan memberikan diri-Nya kepada para murid dalam rupa roti dan anggur, tubuh dan darah-Nya sebagai mana yang baru (bdk Yoh 6:31-33). Dunia lama tahu samar-samar bahwa makanan manusia yang sebenarnya, yang menopang hidup manusia, adalah Logos, hikmat yang kekal. Bagi kita sekarang Logos itu sungguh santapan – yaitu kasih. Ekaristi mendekatkan kita pada tindakan Yesus menyerahkan diri. Kita tidak pasif saja menerima Logos yang menjadi manusia, namun ikut serta dalam pemberian diri. Gambaran perkawinan Allah dan Israel kini disadari secara baru: yang dulu berarti berada di hadirat Allah, kini dimaknai kesatuan dengan Tuhan, berbagi dalam penyerahan diri Yesus, berbagi tubuh dan darah-Nya. “Mistikisme” sakramen di mana Allah merendahkan diri ke arah kita bekerja pada landasan yang sungguh lain, mengangkat kita jauh lebih tinggi daripada apa pun yang secara mistik mampu mengangkat kita.

14. Kini perlu direnungkan satu aspek yang lain. “Mistikisme” sakramen ini berwatak sosial. Dalam kesatuan sakramental kita menyatu dengan Tuhan, serentak juga menyatu dengan orang lain yang menerima komuni. St Paulus berkata: “Karena roti adalah satu, maka kita, sekalipun banyak, adalah satu tubuh, karena kita semua mendapat bagian dalam roti yang satu itu” (1Kor 10:17). Maka persatuan dengan Kristus juga merupakan persatuan dengan semua orang yang menerima pemberian diri Kristus. Kristus bukan hanya untukku sendiri; aku menjadi bagian dari-Nya dalam kesatuan dengan semua yang telah dan akan menjadi milik Kristus. Persatuan ini menarik aku keluar dari diri sendiri menuju Dia, sekaligus menuju semua umat Kristen. Kita menjadi “satu tubuh”, dalam satu keberadaan. Kasih pada Tuhan dan kasih pada sesama kini sungguh menyatu: Allah menjadi manusia menarik kita semua kepada-Nya. Maka kita dapat mengerti bahwa agape juga menjadi sebutan Ekaristi: di situ agape Tuhan sendiri secara ragawi sampai pada kita, melanjutkan karya-Nya dalam dan melalui kita. Dari dasar Kristologis dan sakramental inilah kita dengan tepat dapat memahami ajaran Yesus tentang kasih. Pergeseran yang dibuat-Nya dari kitab Taurat dan Nabi-nabi kepada perintah kasih ganda pada Allah dan pada sesama, dan menggantungkan seluruh hidup iman pada prinsip sentral ini bukanlah hanya sekedar soal moral, yang dapat dilakukan secara terpisah atau paralel dengan iman pada Kristus dan pada ungkapan kehadiran-Nya dalam sakramen. Iman, ibadat dan etos kini terjalin dalam satu kenyataan perjumpaan kita dengan agape dari Tuhan. Di sini pemisahan yang lazim di antara ibadat dan etika menjadi runtuh. Di dalam “ibadat” sendiri, persekutuan Ekaristis, menyatu baik yang dikasihi maupun yang mengasihi sesama. Ekaristi yang tidak dilanjutkan dalam praktek kasih konkret pada dasarnya kurang sempurna. Seperti yang akan kita renungkan secara rinci nanti, perintah kasih justru mungkin karena bukan sekedar syarat. Kasih dapat “diperintahkan” karena kasih itu sudah lebih dulu diberikan.

15. Prinsip ini menjadi titik tolak pemahaman atas beberapa perumpamaan penting dari Yesus. Orang kaya (Luk 16:19-31) dari tempatnya menderita memohon agar para saudaranya diberitahu mengenai apa yang akan dialami mereka yang tidak peduli pada orang miskin. Yesus mengedepankan seruan minta tolong ini sebagai suatu peringatan yang membantu kita bertobat kembali ke jalan yang benar. Perumpamaan Orang Samaria yang baik (Luk 10:25-37) memberi dua penjelasan yang sangat penting. Hingga waktu itu, konsep “sesama” pada dasarnya merujuk pada orang sebangsa dan orang asing yang tinggal di tanah Israel; atau merujuk komunitas dalam satu daerah atau bangsa. Batasan ini kini dihapus. Siapa pun yang membutuhkan aku, dan yang dapat aku bantu, dialah sesamaku. Konsep “sesama” lalu bersifat universal, namun konkret. Kendati diperluas meliputi semua manusia, namun tidak disusutkan menjadi ungkapan kasih yang umum, abstrak dan longgar, melainkan menuntut komitmen praktis dariku sendiri di sini, saat ini. Gereja bertugas memberi tafsiran baik yang paling mendekati maupun yang terjauh atas ikatan kasih yang harus diwujudkan para anggotanya dalam hidup sehari-hari. Akhirnya, harus kita tilik dengan cara baru juga perumpamaan mengenai Pengadilan Terakhir (Mat 25:31-46) yang di dalamnya kasih menjadi norma keputusan definitif tentang baik tidaknya hidup manusia. Yesus menyamakan diri dengan orang yang membutuhkan, orang yang lapar, yang haus, orang asing, telanjang, sakit dan yang dipenjara. “Segala-sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Mat 25:40). Kasih pada Allah dan kasih pada sesama menyatu: kita menemukan Yesus pada saudara yang terkecil, dan pada Yesus kita temukan Allah.

Kasih pada Allah dan Kasih pada Sesama
16. Setelah merenungkan hakekat cinta dan maknanya dalam iman alkitabiah, bagi kita tersisa dua pertanyaan mengenai sikap kita sendiri: dapatkah kita mengasihi Allah tanpa melihat Dia? Dan: dapatkah mengasihi diperintahkan? Terhadap perintah kasih ganda muncul penolakan ganda juga dari kedua pertanyaan di atas. Tak seorang pun pernah melihat Tuhan, jadi bagaimana kita bisa mencintai Dia? Lebih-lebih lagi, cinta tidak dapat diperintahkan: sebab cinta pada dasarnya adalah rasa hati, bisa ada rasa cinta, bisa tidak ada; namun cinta tidak bisa dihasilkan dari kemauan. Kitab Suci seperti membenarkan penolakan yang pertama: “Jikalau seorang berkata: ‘Aku mengasihi Allah’, dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya” (1Yoh 4:20). Namun kutipan ini tidak menganggap mustahil kasih pada Allah. Sebaliknya, seluruh konteks kutipan dari Surat Pertama Yohanes itu malah menunjukkan bahwa kasih itu dituntut. Ikatan antara kasih pada Allah dan kasih pada sesama sedemikian eratnya, sehingga menyatakan bahwa kita mengasihi Allah adalah dusta jika kita tertutup pada sesama atau malah membencinya. Kata-kata Yohanes mengandung pengertian bahwa kasih pada sesama adalah jalan yang mengarah pada perjumpaan dengan Tuhan, sehingga menutup mata terhadap sesama sama saja dengan buta terhadap Tuhan.

17. Memang, tak seorangpun pernah melihat Allah. Namun Allah bukannya sama sekali tidak nampak bagi kita: Ia bukannya sama sekali tak tersentuh. Allah sudah lebih dahulu mengasihi kita, kata Surat Yohanes dalam kutipan di atas (bdk. 1Yoh 4:10), dan kasih Allah ini sudah menampakkan diri pada kita, karena Ia “telah mengutus Anak-Nya yag tunggal ke dalam dunia, supaya kita hidup oleh-Nya” (1Yoh 4:9). Allah membuat diri-Nya bisa dilihat: dalam Yesus kita dapat melihat Bapa (bdk. Yoh 14:9). Tuhan dapat dilihat dengan berbagai cara. Dalam kisah kasih yang disampaikan Kitab Suci, Ia datang menjumpai kita, Ia terus berusaha menaklukkan hati kita, sampai pada Perjamuan Malam Terakhir, pada hati-Nya yang ditusuk di Salib, pada Kebangkitan-Nya yang agung, dan melalui karya para Rasul Ia membimbing Gereja yang baru lahir. Di sepanjang perjalanan Gereja selanjutnya Tuhan terus menyertai, melalui sabda-Nya, Sakramen-sakramen, dan terutama dalam Ekaristi. Dalam Liturgi Gereja, dalam doa-doa Gereja, dalam persekutuan hidup umat beriman, kita mengalami kasih Allah, kita menangkap kehadiran-Nya dan kita belajar mengenali kehadiran-Nya dalam hidup sehari-hari. Ia lebih dulu mengasihi kita dan Ia terus mengasihi kita; maka kita juga dapat menanggapi Dia dengan kasih pula. Tuhan tidak meminta dari kita suatu perasaan yang tidak dapat kita hasilkan sendiri. Dia telah mengasihi kita, membuat kita memahami dan mengalami kasih-Nya, dan karena Ia “lebih dulu” mengasihi kita, kasih-Nya juga melahirkan kasih tanggapan dari kita.

Dalam proses perjumpaan tidak ada rasa kasih hati yang tidak dinyatakan. Perasaan dapat datang dan pergi. Perasaan bisa saja hanya merupakan percikan indah di saat pertama, tapi itu bukan cinta yang penuh. Di atas kita telah berbicara tentang proses pemurnian dan pendewasaan eros agar menjadi eros yang sepenuhnya, menjadi kasih dalam arti kata yang lengkap. Adalah ciri kasih yang dewasa bahwa kasih itu melibatkan seluruh potensi manusia; dapat dikatakan kasih itu meliputi manusia seutuhnya. Wujud yang tampak dari kasih Allah dapat membangunkan dalam diri kita rasa sukacita yang berasal dari pengalaman dikasihi. Namun perjumpaan ini juga menyangkut kehendak dan akal-budi pula. Iman pada Allah yang hidup merupakan jalan menuju kasih, dan persetujuan “ya, amin” dari kehendak kita pada kehendak-Nya mengikat akal-budi, kehendak dan perasaan kita menjadi satu dalam tindakan kasih. Namun proses ini selalu terbuka ujungnya: kasih tak pernah “selesai” dan tuntas; sepanjang hayat kasih berubah, dan makin dewasa dan karenanya setia pada hakikatnya. Menginginkan yang sama dan menolak yang sama(Sallust, De coniuratione Catilinae, XX, 4), sudah sedari dulu diakui terdapat dalam cinta: karena yang satu ingin sama dengan yang lain, maka terjadi kesatuan kehendak dan pikiran. Kisah kasih Allah dan manusia menunjukkan bahwa kesatuan kehendak ini bertumbuh jadi sepikiran dan sehati, hingga kehendak kita seiring dengan kehendak Allah: kehendak Allah tidak asing lagi bagiku, bukan dipaksakan dari luar oleh perintah, tetapi merupakan kehendakku sendiri oleh kesadaran bahwa Allah sungguh hadir lebih dekat padaku ketimbang aku pada diriku sendiri (bdk St Augustinus, Confessions, III, 6, 11: CCL 27, 32). Maka makin besarlah pengosongan diri untuk Allah, dan Allah menjadi sukacita kita (bdk Mzm 73: 23-28).

18. Maka kasih pada sesama bisa dilaksanakan menurut teladan Yesus dalam Kitab Suci. Yaitu bahwa dalam Tuhan dan dengan Tuhan, aku mengasihi orang yang tidak kusukai atau bahkan tidak kukenal. Ini hanya terjadi berkat perjumpaan akrab dengan Tuhan, di mana terjadi kesatuan kehendak, dan juga kesatuan hati. Selanjutnya aku memandang orang lain bukan dengan mata dan hatiku sendiri, namun dengan perspektif Yesus Kristus. Sahabat-Nya adalah sahabatku juga. Dengan melampaui aspek luar, aku melihat pada batin orang lain suatu kerinduan akan tindakan kasih, akan perhatian, yang dapat kuberikan bukan hanya melalui organisasi yang didirikan untuk itu, tetapi menerimanya sebagai kewajiban selaku sesama warga. Karena melihat dengan mata Kristus, aku dapat memberi orang lain lebih banyak daripada kebutuhan ekstrinsik; aku dapat memberikan wajah kasih yang mereka rindukan. Di sini kita lihat pentingnya keterkaitan antara kasih pada Allah dan kasih pada sesama yang sedemikian intens dibicarakan Surat Pertama St Yohanes. Jika aku tak punya hubungan dengan Tuhan dalam hidupku, maka aku melihat orang lain hanya sebagai orang lain, dan aku tidak dapat melihat citra Allah pada dirinya. Tetapi jika aku sama sekali tidak peduli pada orang lain, dan mengasihi hanya karena mau jadi “saleh” sejauh melaknakan “kewajiban agama” saja, maka hubunganku dengan Allah juga jadi kering. Menjadi soal “kepatutan” belaka, namun tanpa kasih. Namun sejauh kesediaanku untuk menjumpai sesama dan menunjukkan kasih kepadanya, sejauh itu pulalah aku peka pada Tuhan. Sejauh aku melayani sesamaku, sejauh itu pula aku menyadari kasih Tuhan padaku dan besarnya karunia Tuhan padaku. Para orang kudus – misalnya Beata Teresa dari Kalkuta – selalu membarui kemampuannya untuk mengasihi sesama melalui perjumpaan dengan Tuhan Ekaristi, dan sebaliknya, perjumpaan dengan Tuhan ini memerlukan perwujudan yang kuat dan dalam lewat pelayanan pada orang lain. Kasih pada Tuhan dan kasih pada sesama lalu tak terpisahkan, menjadi satu perintah saja. Keduanya berasal dari kasih Allah, yang lebih dulu mengasihi kita. Kasih bukan lagi “perintah” dari luar dan bukan lagi panggilan untuk sesuatu yang mustahil, tetapi pengalaman kasih yang diberikan cuma-cuma dalam diri kita, kasih yang pada hakikatnya harus dibagikan pada sesama. Kasih yang bertumbuh melalui kasih. Kasih itu “ilahi” karena berasal dari Allah dan menyatukan kita pada Tuhan: melalui proses yang menyatukan ini kasih membuat pribadi-pribadi menjadi “Kita”, meruntuhkan sekat pemisah, agar dengan menjadikan kita satu, akhirnya Allah “menjadi semua dalam semua” (1Kor 15:28).

Teks Latin:

PARS PRIMA
AMORIS UNITAS
IN CREATIONE ET SALUTIS HISTORIA

Loquelae quaestio
2. Dei amor nobis quaestio est de vita principalis atque interrogationes fert decretorias quid sit Deus quidque simus nos. Hac de re nos ante omnia vocabulorum impedit difficultas. Verbum enim « amoris » nostra aetate factum est unum ex maxime adhibitis vocabulis et etiam pessime tractatis, cui videlicet interpretationes addimus prorsus inter se adversantes. Etiamsi harum Litterarum Encyclicarum argumentum in ipsam intelligentiam atque usum amoris dirigitur apud Sacras Litteras et Ecclesiae Traditionem, non possumus tamen simpliciter recedere a significatione quam idem verbum varias apud culturas et in hodierno sermone obtinet.

In primis meminimus Nos latissimae verborum provinciae quam occupat vox « amoris »: de amore patriae agitur, sicut et de amore in proprium vitae munus, de amore inter amicos, de amore erga proprium opus, de amore inter parentes filiosque, inter fratres ac familiares, de amore in proximum deque amore in Deum. Hac profecto in significationum multitudine tamen excellit amor inter virum ac mulierem, ubi corpus animaque inseparabiles concurrunt et ubi etiam promissio felicitatis hominibus recluditur quae recusari videtur non posse, perinde ac amoris per excellentiam imago perfecta, ad quam primo intuitu cetera universa amoris genera deflorescunt. Hinc oritur quaesitum: omnesne amoris hae formae tandem consociantur et amor ille, etiam ipsa in varietate propriarum demonstrationum, denique unicus et solus est, an contra eodem uno vocabulo utimur ad res prorsus diversas significandas?


« Eros » et « agape » – diversitas et unitas
3. Amori inter virum ac mulierem, qui non ex cogitatione nascitur neque ex sola voluntate verum certo quodam modo homini imponitur, Graecia antiqua nomen tribuit eros. Iam in antecessum fatemur Vetus Testamentum Graecum bis tantum, Novum contra Testamentum numquam vocabulum eros adhibere: tribus enim ex vocibus Graecis ad amorem spectantibus — eros, philia (amicitiae amor) et agape — Novi Testamenti scripta concedunt quoddam fere privilegium extremo nomini, quod in Graeca lingua potius ad marginem remittebatur. Quod amicitiae ad amorem (philia) attinet, is repetitur et in Ioannis Evangelio altiorem accipit significationem, quatenus necessitudinem inter Iesum eiusque discipulos declarat. Haec exclusio verbi eros atque simul novus amoris prospectus qui per vocem exprimitur agape eo usque quasi exclusam sine dubitatione in christianae vitae novitate aliquid necessarium omnino ad amorem comprehendendum designat. In censura christiani nominis quae ad ab illuminismi tempore profecta processit maiore usque vehementia, haec novitas modo plane negativo est aestimata. Ad mentem Friderici Nietzsche christiana religio dicitur venenum bibendum dedisse ipsi eros, qui licet non inde moreretur, impulsum accepit ut in vitium corrumperetur. (Cfr. Friedrich Nietzsche, Jenseits von Gut und Böse, IV, 168). Ita philosophus Germanicus communem late diffusam sententiam testabatur: nonne suis mandatis atque vetitis Ecclesia rem vitae pulcherrimam fortasse reddit nobis amaram? Nonne fortasse nuntios prohibitionis attollit Ecclesia ibi omnino ubi laetitia nobis a Creatore praeparata felicitatem nobis praebet quae praegustare nos etiam sinit aliquid de Divina natura?

4. Num ita revera sese res habent? Delevit revera christiana religio amorem — eros? Respiciamus mundum ante aetatem christianam. Certissime congruentes cum aliis culturis, viderunt Graeci in illo eros ante omnia aliquam ebrietatem, nempe rationis ipsius oppressionem per « divinum furorem » qui hominem ad ipsius vitae limitem abripit et, quod sic potestate quadam divina percutitur, quam maximam beatitudinem facit ut ipse experiatur. Reliquae omnes inter caelum terramque potestates sic videntur minoris cuiusdam momenti: « Omnia vincit amor », ait in Bucolicis Vergilius atque addit: « et nos cedamus amori ». (Vergilius, Eclogue, X, 69). In religionibus habitus hic in fertilitatis cultus inductus est, ad quos etiam « sacra » pertinebat prostitutio quae florebat multis in templis. Sic celebrabatur eros veluti divina quaedam vis, tamquam communio cum divina natura.

Huic religionis formae, quae uti validissima invitatio dissidet a fide in unicum Deum, Vetus Testamentum firmissime est adversatum, quam tamquam religionis perversitatem oppugnavit. Hinc vero minime eros repudiavit in se, sed quasi bellum indixit eius eversioni deletoriae, quoniam falsa divinizatio eros, quae hic contingit, destituit eum dignitate, eripit ei humanitatem. Nam in templo meretrices, quae ebrietatem Divini concedere debent, non tractantur uti homines ac personae, sed adsunt tantummodo uti instrumenta ad « furorem divinum » excitandum: non sunt ipsae revera deae, verum humanae personae, quibus alii abutuntur. Hanc ob rem eros ebrius et immoderatus non est ascensio, « exstasis » adversus naturam Divinam, sed prolapsus hominisque dignitatis imminutio. Sic manifestum evadit eros indigere disciplina et purificatione ut homini concedat non alicuius momenti voluptatem, sed quandam culminis vitae praegustationem, illius nempe beatitudinis quam tota nostra natura appetit.

5. Duae quidem res manifesto oriuntur in hac celeri contemplatione ipsius imaginis eros in historia atque hoc praesenti tempore. Ante omnia inter amorem et Divinum existit quaedam quasi necessitudo: infinitatem enim aeternitatemque promittit amor — rem scilicet maiorem et aliam omnino atque cotidianam vitae nostrae condicionem. Eodem autem tempore perspectum est viam hunc ad finem in eo simpliciter non consistere quod quis se sinat instinctu vinci. Necessariae purificationes sunt et maturationes quae per abdicationis quoque tramitem progrediuntur. Hoc non est repudiatio ipsius eros neque eius « venenatio », sed sanatio propter veram illius magnitudinem.

Hoc pendet in primis ab ipsa hominis constitutione qui corpore constat atque anima. Homo revera sui ipsius proprius evadit, quotiens corpus et anima penitus coniunguntur; haec eros concertatio revera evincitur, cum haec efficitur coniunctio. Si vero solus spiritus homo esse studet cupitque carnem reicere veluti hereditatem ut ita dicamus tantum animalis propriam, tunc dignitatem suam tam spiritus quam corpus amittunt. At si altera ex parte ille spiritum repudiat iudicatque materiam, nempe corpus, tamquam unicam veritatem, aequabiliter suam perdit magnitudinem. Per iocum Epicureus Gassendi salutatione illa Cartesium appellavit: « O Anima! ». Cui Cartesius respondit: « O Caro! » (Cfr. R. Descartes, Œuvres, curante V. Cousin, vol. 12, Paris 1824, pp. 95ss). Verumtamen neque solus spiritus neque corpus solum amat: homo enim est, persona videlicet, quae uti creatura composita amat, ad quam pertinent corpus et anima. Tunc tantum, cum in unum quiddam ambo revera coalescunt, plene sui ipsius fit homo. Uno hoc modo amor — eros — veram ad suam maturescere valet magnitudinem.

Non raro hodie christianis praeteritis obicitur quod corporeae veritatis fuerint adversarii; reapse in hanc partem proclivitates semper fuerunt. Verumtamen corporis extollendi via, cuius hodie sumus ipsi testes, prorsus decipit. Deiectus enim eros merum ad « sexum » merx aliqua evadit, « res » nuda quam emi licet vendique, homo immo vero ipse fit mercimonia. Re vera non est haec omnino magna illa hominis affirmatio proprio de corpore. Ille contra nunc corpus aestimat atque sexum tamquam materiam dumtaxat sui ipsius quam iudicio quodam adhibet et penitus lucratur. Haec tamen pars est quae ei non sicut provincia libertatis videtur, sed aliquid potius quod suo modo reddere ille simul conatur iucundum et innocens. Reapse consistimus hic ante corporis humani depravationem quod non amplius totum ingreditur vitae nostrae libertatem, quod non iam viva demonstratio est totius summae vitae nostrae, at in regionem abicitur dumtaxat biologicam. Quae videtur corporis esse honoratio cito transire potest in odium naturae corporalis. Ex contrario hominem semper iudicavit christiana fides tamquam ens unum et duplex, in quo spiritus et materies mutuo miscentur, dum ita profecto alterutrum novam experitur nobilitatem. Sic est: studet eros attollere nos « in exstasi » versus divinum, extra nos perducere nos ipsos; verum hanc ob rem poscit ascensionis cursum et abnegationum, purgationum ac sanationum.

6. Quomodo fingere nobis in re possumus hoc ascensionis et purificationis iter? Quo pacto amor vivi valet, ut eius humana divinaque promissio plane compleatur? Primam magni ponderis indicationem reperire possumus in Cantico Canticorum, videlicet uno Veteris Testamenti librorum, bene cognito a mysticis. Secundum hodie vigentem interpretationem carmina hunc in Librum inclusa primitus fuerunt cantus amoris, fortasse principio dedicati Hebraeorum nuptiarum celebritati, ubi coniugalis efferendus erat amor. His in adiunctis plurimum id ipsum docet quod per eundem librum duae diversae voces « amorem » indicantes deteguntur. Ante omnia vocabulum habemus « dodim » — pluralis forma qua amor adhuc incertus profertur, nempe in condicione generalis cuiusdam inquisitionis. Huic autem vocabulo deinceps sufficitur verbum « ahabà », quod in Veteris Testamenti interpretatione Graeca vox similis sonitus « agape » substituit, quae, prout iam vidimus, indicium proprium amoris est facta pro biblica rerum conceptione. Contra amorem indefinitum et adhuc inquirentem, hoc verbum experimentum exprimit amoris qui nunc vere fit alterius hominis inventio, excedendo indolem personalem, ad proprium commodum proclivem, quae antea manifesto dominabatur. Nunc alterius hominis curatio fit amor et sollicitudo pro eo. Non se ipsum amplius quaerit, immersionem in felicitatis ebrietatem; verum amati hominis quaerit bonum: abdicatio evadit quae ad sacrificium parata est quin immo illud conquirit.

Partem amoris efficit progredientis ad altiora stadia, ad suas extremas purificationes, ut manentem statum inquirat et quidem duplici intellectu: sensu exsclusionis — « sola praesto est unica haec persona » — atque sensu « sempiternae condicionis ». Summam enim vitae complectitur amor omni quidem in ipsius aspectu, etiam temporis. Non aliter se res habere potest, quoniam promissum eius spectat ad rem definitam: prospicit in aeternitatem amor. Ita, amor est « exstasis », attamen non aliqua exstasis veluti tempore ebrietatis, sed exstasis uti iter, tamquam stabilis exodus de persona in se ipsa clausa adversus propriam liberationem in dono sui ipsius, atque omnino sic versus novam sui detectionem, quin immo versus Dei inventionem: « Quicumque quaesierit animam suam salvam facere, perdet illam; et, quicumque perdiderit illam, vivificabit eam » (Lc 17, 33), ait Iesus — cuius afirmatio apud Evangelia reperitur pluribus in variationibus (cfr Mt 10, 39; 16, 25; Mc 8, 35; Lc 9, 24; Io 12, 25). Sic iter proprium suum describit Iesus quod per crucem ad resurrectionem illum perducit: est iter grani frumenti quod decidit in terram ac perit et sic multum profert fructum. Ab sui personalis sacrificii ipso principio atque amoris qui in illo suam attingit perfectionem proficiscens, his verbis ipse describit etiam amoris essentiam et hominum in universum vitae.

7. Deliberationes nostrae, initio potius philosophicae, de amoris essentia per interiorem vim ad fidem usque biblicam nos nunc perduxerunt. Principio enim quaestio est posita utrum variae, immo contrariae, vocabuli amoris significationes subaudiant quandam altiorem unitatem an contra manere debeant solutae, una iuxta aliam. Ante omnia tamen quaestio emersit habeatne nuntius amoris nobis a Sacris Bibliis adlatus nec non ab Ecclesiae Traditione aliquid commune cum universali hominum amoris experientia an fortasse illi potius opponatur. Huius rei causa incidimus duas in principales voces quae sunt: eros uti titulus amoris « mundani » significandi atque agape tamquam amoris declaratio qui fide nititur eaque conformatur. Hi duo conceptus crebro inter se opponuntur ut « ascendens » amor et amor « descendens ». Aliae quoque praesto sunt similes definitiones, verbi gratia distinctio inter amorem possesivum atque amorem oblativum (amorem concupiscentiae — amorem benevolentiae), cui interdum etiam amor subiungitur qui ad propriam spectat utilitatem.

In philosophica atque theologica disceptatione haec discrimina saepius ad extremum deducebantur, usquedum inter se opponebantur: amor proprie christianus esse dicebatur descendens, oblativus, id est agape; cultura autem non christiana, praesertim Graeca, amore signabatur ascendente, cupido et possessivo, qui nempe est eros. Si quis autem voluerit hanc oppositionem ad ultima producere, christianae rei essentia separabitur a principalibus vitae rationibus ipsorum hominum atque in se iam alium orbem constituit, qui fortasse mirabilis erit, at penitus ab ipsa summa vitae humanae segregatus. Re quidem vera eros et agape — amor ascendens atque amor descendens — non se sinunt umquam inter se seiungi. Quo enim plus etiam aliis modis rectam unitatem reperiunt in una amoris veritate, eo sane plus vera amoris natura in universum completur. Etiamsi principio ipse eros in primis est studiosus, ascendens — quod fascinum ex magna felicitatis pollicitatione procedit — appropinquans deinde alteri, minus usque interrogabit de se atque beatitatem alterius plus usque inquiret, magis semper de illo sollicitabitur, sese donabit atque cupiet « pro altero se esse ». Sic tempus agape in eum inseritur; alioquin eros decidit perditque suam ipsius naturam. Aliunde vero homo non potest vivere tantummodo de amore oblativo, descendente. Non valet semper solum donare, etiam recipere debet. Quicumque amorem donare vult, illum tamquam donum ipse recipiat oportet. Quemadmodum ipse ait Dominus — profecto fieri potest homo fons et origo unde aquae vivae flumina erumpunt (cfr Io 7, 37-38). At ut talis fiat ipse fons, ipse usque denuo bibat oportet ex primigeno illo et primo fonte qui est Iesus Christus, cuius ex transfixo corde amor Dei scaturit (cfr Io 19, 34).

Viderunt Patres Ecclesiae variis modis figuratam, in Iacob scalae narratione, hanc coniunctionem inseparabilem inter ascensionem et descensionem, inter eros qui Deum conquirit et agape qui receptum transmittit donum. In illo biblico scripto narratur patriarcha Iacob in somno vidisse supra petram, quae illi fuit uti pulvinus, scalam quae ad caelum usque pertingebat, per quam ascendebant descendebantque Dei angeli (cfr Gn 28, 12; Io 1, 51). Percellit maxime animum interpretatio quam Pontifex Gregorius Magnus sua in Regula Pastorali huius facit visionis. Dicit enim ille: in contemplatione radices agere debet pastor bonus. Hoc dumtaxat modo valebit ipse aliorum intra se suscipere necessitates, ita ut ipsius propriae evadant: « Per pietatis viscera in se infirmitatem caeterorum transferat » (Regula Pastoralis, II, 5: SCh 381, 196). Hoc loco se refert sanctus Gregorius ad sanctum Paulum qui sublime abripitur summa in Dei arcana sicque descendens omnia omnibus fieri potest (cfr 2 Cor 12, 2-4; 1 Cor 9, 22). Exemplum praeterea Moysis indicat qui in sacrum tabernaculum denuo semper ingreditur cum Deo colloquens ut sic, a Deo recedens, utilis suo populo esse possit. « Intus in contemplationem rapitur, foris infirmantium negotiis urgetur » (ibid 198).

8. Primam ita repperimus responsionem, adhuc potius universalem, duabus superius positis quaestionibus: « amor » denique unica res est, variis quamvis cum aspectibus; unus interdum vel alius aspectus magis emergere potest. Ubi vero duo eius aspectus penitus inter se seiunguntur, nascitur ridicula quaedam imago vel utcumque est forma reductiva amoris. Et in summa vidimus etiam biblicam fidem non efficere quendam mundum parallelum vel mundum illi primigenio eventui humano contrarium qui amor est, sed totum suscipere hominem eiusque adiuvare amoris inquisitionem ut is purificetur eodemque tempore novi aspectus ei aperiantur. Haec biblicae fidei novitas duobus ante omnia commonstratur in locis, qui digni sunt ut extollantur: videlicet in Dei imagine et imagine hominis.

De biblicae fidei novitate
9. De nova imagine Dei in primis agitur. In culturis quae circa Sacra Biblia versantur, dei deorumque imagines, usque ad finem, parum perspicuae et inter se perstant discrepantes. Biblica autem progrediente fide, magis usque id fit manifestum univocumque, quod praecipua Israel precatio, Shema scilicet, his verbis summatim prestringit: « Audi Israel: Dominus Deus noster Dominus unus est » (Dt 6, 4). Unus est Deus, qui caelum terramque creavit ideoque omnium hominum quoque est Deus. Duo in hac disceptatione sunt singularia, omnes ceteros deos non esse Deum et omnes item res, in quibus vivimus, a Deo manare, ab Eo esse creatas. Creandi certe notio etiam alibi reperitur, sed hic tantummodo prorsus patet non quemlibet deum, at unum verum Deum, ipsum omnium rerum esse factorem; quae ex eius creandi Verbi potentia oriuntur. Id significat eius creaturam ei esse caram, quandoquidem eam ipse voluit, eam ipse « fecit ». Magni momenti sic altera exstat pars: Deus hic hominem amat. Divina potentia, quam Aristoteles, Graeca philosophia attingente fastigium, meditando intellegere studuit, certe omnium hominum est quiddam desiderandum et amandum — quia amatur, haec deitas mundum movet (Cfr. Aristoteles, Metaphysica, XII, 7) —, sed nulla re indiget ipsa et non diligit, solummodo diligitur. Enimvero unus Deus, in quo Israel credit, personaliter amat. Eius amor praeterea electivus est amor: inter omnes gentes ipse Israel eligit eumque amat — ut hoc vero ipso modo humanitas universa sanetur. Ipse amat, et amor hic eius sine dubio veluti eros designari potest, qui tamen est etiam et prorsus agape (Cfr Pseudo-Dionysius Areopagita, qui in suo opere De divinis nominibus, IV, 12-14: PG 3, 709-713, Deum eodem tempore appellat eros et agape).

Osee potissimum et Ezechiel prophetae per audaces amatorias imagines hanc Dei in eius populum cupiditatem significarunt. Dei cum Israel necessitudo sponsalium coniugiique imaginibus collustratur; quapropter idolatria adulterium est et prostitutio. Quod cum ita sit — quemadmodum significavimus — re cultus attinguntur fertilitatis et eros abusus, sed eodem tempore inter Israel et Deum fidelitatis vinculum describitur. Dei Israelisque amoris narratio in eo penitus sistit quod ipse Torah ei tradit, Israel scilicet germanam hominis naturam recludit atque veri humanismi iter demonstrat. Historia haec in eo nititur quod homo, in Deo uno fidem servando, experitur se esse a Deo ipsum amatum et in veritate laetitiam, in iustitia detegere — quae in Deo laetitia eius fit essentialis felicitas: « Quis enim mihi est in caelo? Et tecum nihil volui super terram ... Mihi autem adhaerere Deo bonum est » (Ps 73 [72], 25.28).

10. Dei in hominem eros — quemadmodum diximus — eadem opera est prorsus agape. Non modo quia gratuito omnibus ex partibus donabitur, nullo antecedente merito, sed etiam quia amor est qui ignoscit. Osee potissimum agape modum nobis ostendit in Dei erga hominem amore, qui multum adspectui gratuitatis antecellit. Israel « adulterium » patravit, Foedus fregit; debet eum iudicare Deus et repudiare. Hoc autem ipso loco demonstratur Deum esse Deum, non hominem: « Quomodo dabo te, Ephraim, tradam te, Israel? ... Convertitur in me cor meum, simul exardescit miseratio mea. Non faciam furorem irae meae, non convertar, ut disperdam Ephraim, quoniam Deus ego et non homo, in medio tui Sanctus » (Os 11, 8-9). Flagrans Dei amor in populum suum — in hominem — ignoscens est simul amor. Sic est is magnus ut contra se ipsum vertat Deum, eius amorem contra eius iustitiam. Christianus, in hoc, Crucis mysterium per speciem adumbrari intellegit: sic Deus hominem diligit, ut, se ipsum efficiens hominem, usque ad mortem eum sequatur atque hoc modo iustitiam et amorem conciliat.



Philosophicus adspectus itemque historicus-religiosus in hac Sacrorum Bibliorum ratione revelandus in eo nititur quod ex una parte nos ante imaginem ponimur Dei, stricte quidem metaphisicam: absolute est Deus omnium rerum primigenius fons; sed hoc omnium rerum creandarum principium — Logos, primordialis ratio — est eadem opera amans quiddam, veri amoris impetu praeditum. Hoc modo eros summe extollitur, sed eodem tempore ita purificatur ut cum agape misceatur. Quocirca intellegere possumus Canticum Canticorum in Sacrae Scripturae canonem receptum, esse explicatum ex eo quod canticis his amoris demum Dei necessitudo significatur cum homine vicissimque hominis cum Deo. Hac ratione Canticum Canticorum factum est, tam in Christianis quam in Iudaicis litteris, cognitionis ac mysticae experientiae scaturigo, in qua biblicae fidei essentia manifestatur: ita sane, est hominis cum Deo consociatio — somnium scilicet hominis primigenium —, at haec consociatio non debet una simul fundi, in oceano videlicet Divini sine nomine mergi; est coniunctio quaedam quae amorem gignit, in quo ambo — Deus et homo — sui ipsorum manent atque tamen plene unum fiunt: « Qui adhaeret Domino, unus Spiritus est » cum eo (1 Cor 6, 17), ait sanctus Paulus.

11. Biblicae fidei prima res nova, sicut perspeximus, Dei est imago; altera, cum ea essentialiter coniuncta, in hominis imagine reperitur. Biblica creationis narratio de primi hominis solitudine disserit, scilicet Adami, cui adiumentum Deus addere vult. Nihil autem ex rebus creatis auxilium illud homini afferre potest, quo ipse indiget, licet omnibus bestiis agri cunctisque volatilibus nomen dederit, in suae vitae ambitum ea ingerens. Tunc ex hominis costa mulierem fingit Deus. Nunc Adamus, cuius indiget, auxilium reperit: « Haec nunc os ex ossibus meis et caro de carne mea! » (Gn 2, 23). Ex his rebus narratis opinationes quaedam intellegi possunt, quae exempli gratia etiam in fabula exstant, quam Plato refert, ubi primigenius homo globosus erat, eo quod completus in se suisque rebus sufficienter praeditus ipse erat. Sed suam propter superbiam a Iove bipertitus est, sic nunc alteram dimidiam partem desiderat et ad eam decurrit, ut suam integritatem reperiat. (Cfr. Plato, Symposium, XIV-XV, 189c-192d). In Sacrarum Scripturarum narratione de poena non fit mentio; at quod homo quodammodo est imperfectus, ex constitutione itineratur, alteram suae integritatis complentem partem inventurus, cogitatio scilicet procul dubio adest illa, ad quam ipse solummodo cum altero sexu per communionem potest esse « perfectus ». Sic biblica narratio de Adamo prophetia concluditur: « Quam ob rem relinquet vir patrem suum et matrem et adhaerebit uxori suae; et erunt in carnem unam » (Gn 2, 24).

Duae hic reperiuntur maioris momenti notiones: eros in ipsius natura hominis est quasi defixus; Adamus aliquid exquirit atque « relinquet patrem suum et matrem » mulierem inquisiturus. Sua in unitate tantum humanitatis integritatem fingunt, « una caro » fiunt. Non minus praestat altera notio: in cursu quodam, qui in creatione nititur, ad matrimonium committit eros hominem, ad vinculum scilicet quoddam, singulariter definiteque signatum. Sic et sic tantum suus intimus finis ad effectum adducitur. Ad unius Dei imaginem monogamicum coniugium respondet. Matrimonium, quod in amore unico ac definito fundatur, imaginem efficit Dei necessitudinis cum eius populo ac vicissim: ratio qua Deus amat mensura fit humani amoris. Artum hoc inter eros et coniugium in Bibliis Sacris vinculum fere in litteris extra ea similitudinem non reperit.


Christus Iesus – Dei incarnatus amor
12. Etiamsi adhuc usque Vetus Testamentum plerumque tractavimus, intima tamen duorum Foederum coagmentatio veluti una christianae fidei Scriptura est patefacta. Vera Novi Testamenti novitas haud in novis opinationibus sistit, sed in ipsa Christi effigie, qui cogitationibus praebet carnem et sanguinem — inauditum realismum. In Vetere iam Testamento biblica novitas non tantum exsistit ex abstractis notionibus, sed ex Dei inopinata opera et quodammodo inaudita oritur. Ratio haec agendi Dei dramatis formam nunc acquirit, eo quod in Iesu Christo ipse Deus « ovem amissam » persequitur, humanitatem videlicet dolentem atque deperditam. Cum Iesus suis in similitudinibus de pastore disserit, qui ad amissam ovem vadit, de muliere drachmam quaerente, de patre qui prodigo filio occurrit eumque amplexatur, id non in verba tantum recidit, sed eius essentiae et actionis rationem explanat. Eius per crucem in morte illud completur per quod contra se vertit Deus, in quo ipse se tradit, hominem sublevaturus eumque servaturus — amor hic in forma sua extrema adest. Visus in Christi latus perfossum conversus, de quo apud Ioannem fit mentio (cfr 19, 37), illud comprehendit ex quo hae Litterae Encyclicae initium sumpserunt: « Deus caritas est » (1 Io 4, 8). Ibi nempe veritas haec spectari potest. A quo initio capto, definiatur oportet quid sit amor. Ex hoc visu sumens initium, videndi amandique semitam reperit christianus.

13. Iesus huic oblationis actui perpetuam per constitutam in Novissima Cena Eucharistiam tribuit praesentiam. Antecapit ipse suam mortem resurrectionemque, iam illa hora suis discipulis in pane et vino se ipsum tradens, suum corpus suumque sanguinem tamquam novum manna (cfr Io 6, 31-33). Si vero antiqui somniaverunt, ad extremum verum hominis cibum — id quo homo vivit — esse Logos, aeternam sapientiam, nunc hic Logos nobis vere factus est alimentum — veluti amor. Eucharistia in actu oblationis Iesu nos trahit. Non recipimus nos solummodo immobiliter Logos incarnatum, sed in eius oblationis motum involvimur. Coniugii imago inter Deum et Israel illa efficitur ratione, quae antea concipi non potuit: quod antea fuit pro Deo stare, fit nunc, per Iesu donationem communicatam, eius corporis et sanguinis participatio, fit coniunctio. Sacramenti « mystica » indoles quae in Dei erga nos demissione nititur alia prorsus est res et sublimius perducit quam quaevis mystica hominis elevatio efficere possit.

14. Nunc autem alia pars est consideranda: Sacramenti « mystica » natura socialem rationem secum fert, quandoquidem in sacramentali communione ego cum Domino una simul cum ceteris communicantibus coniungor: « Quoniam unus panis, unum corpus multi sumus, omnes enim de uno pane participamur », effatur sanctus Paulus (1 Cor 10, 17). Cum Christo coniunctio est eadem opera cum ceteris omnibus consociatio, quibus ipse se tradit. Christum pro me uno habere non possum; ad eum pertinere possum solummodo cum iis omnibus coniunctus, qui ipsius facti sunt fientve. A memet ipso extrahit me communio ad eum, et sic etiam ad unitatem cum omnibus christianis ducit. « Unum corpus » efficimur, in exsistentiam unam fusi. Amor in Deum et in proximum amor nunc vere coniunguntur: incarnatus Deus omnes ad se nos trahit. Ex hoc intellegitur quo pacto agape Eucharistiae facta sit etiam nomen: in ea Dei agape ad nos corporaliter accedit ut in nobis ac per nos suam operam producat. Ex hoc tantum fundamento christologico-sacramentali sumpto initio, recte doctrina Iesu de amore intellegi potest. Transitus, quem ipse efficit, a Lege Prophetisque ad duplex amoris mandatum erga Deum ac proximum, fidei scilicet omnis exsistentia, quae deinde ex hoc mandato, medium locum occupante, oritur, non est simpliciter res moralis quae exinde sui iuris prope fidem in Christum eamque per ritum in Sacramento expressam esse possit: fides, cultus et ethos, veluti res unica inter se miscentur, quae Dei agape convenienda significatur. Sueta cultus ethicaeque oppositio simpliciter hic procidit. In « cultu » ipso, in eucharistica communione amari vicissimque reliquos amare continentur. Eucharistia, quae in amorem re effectum non transfertur, in se ipsa in particulas est redacta. Vicissim — sicut subtilius erit considerandum — amoris « mandatum » effici potest solummodo quia postulatio non est tantum: amor « mandari » potest quoniam antea donatur.

15. Ex hoc posito principio praecipuae Iesu parabolae sunt intellegendae. Epulo ille dives (cfr Lc 16, 19-31) ex supplicii loco implorat ut sui fratres certiores de illa re fiant, quae ei eveniat, qui impudenter pauperem ignoraverit in necessitate versantem. Iesus, ut ita dicamus, talem auxilii clamorem excipit, quem refert ut nos cauti simus, ut ad rectam semitam nos reducat. Boni Samaritani parabola (cfr Lc 10, 25-37) duas magni ponderis explanat res. Dum vero « proximi » notio iam tum ad populares alienigenasque in solo Israelitico commorantes ideoque ad participem alicuius regionis populique communitatem praecipue referebatur, nunc fines hi tolluntur. Quicumque me indiget et ego eum iuvare possum, mihi est proximus. Proximi notio universa complectitur, attamen concreta manet. Quamvis ad omnes homines pertineat, ad significationem non contrahitur incerti et indefiniti cuiusdam amoris, qui parum officii secum fert, sed meam postulat operam, re hic et nunc praestandam. Usque est Ecclesiae munus inter propinquitatem et longinquitatem interpretari rursus hoc vinculum, quae suorum membrorum re exigendam vitam habeat ob oculos. Memoretur tandem hic peculiarem in modum oportet novissimi Iudicii insignis parabola (cfr Mt 25, 31-46), in qua amor de humanae vitae bono vel non bono definitivae deliberationis fit norma. Personam induit Iesus indigentium: videlicet esurientium, sitientium, alienigenarum, nudorum, aegrotorum, in vinculis detentorum. « Quamdiu fecistis uni de his fratibus meis minimis, mihi fecistis » (Mt 25, 40). Amor Dei itemque amor proximi inter se commiscentur: in minimis ipsum Iesum et in Iesu Deum invenimus.


Amor Dei proximique amor
16. Omnibus his de amoris essentia eiusque in biblica fide significatione considerationibus absolutis, duplex superest interrogatio de nostra agendi ratione: amarine potest Deus, quamvis is non videatur? Rursus: amorine imperari potest? Adversus duplex amoris mandatum duplicia contra dicuntur, quae in his interrogationibus insunt. Nemo Deum umquam vidit — quomodo eum amare possumus? Atque porro: amori imperari non potest; est tandem quaedam animi affectio, quae adesse aut non adesse potest, sed ex voluntate gigni non potest. Sacra Scriptura primam hanc obiectionem roborare videtur, cum dicit: « Si quis dixerit: « Diligo Deum », et fratrem suum oderit, mendax est; qui enim non diligit fratrem suum, quem videt, Deum, quem non videt non potest diligere » (1 Io 4, 20). Sed sententia haec minime autumat Dei amorem quiddam esse impossibile; contra, in toto modo memoratae Primae Epistulae Ioannis contextu, talis amor manifeste requiritur. Inter Dei amorem ac amorem proximi artum vinculum confirmatur. Alter ad alterum sic se stricte refert ut Dei amoris affirmatio fiat mendacium, si homo a proximo se subducat, vel etiam eum oderit. Ioannis sententia hoc sensu potius intellegi debet: in proximum amor iter est ad Deum quoque inveniendum atque qui ab oculis proximum amovet, coram Deo etiam fit caecus.

17. Reapse, nemo umquam Deum vidit sicut ipse est. Attamen Deus nobis haud est prorsus invisibilis, non est nobis simpliciter inaccessibilis. Deus primus nos dilexit, sic asseverat memorata Ioannis Epistula (cfr 4, 10) atque amor hic Dei nobis apparuit, visibilis factus est eo quod « Filium suum unigenitum misit Deus in mundum, ut vivamus per eum » (1 Io 4, 9). Visibilis factus est Deus: in Iesu Patrem nos videre possumus (cfr Io 14, 9). Multifarie revera videri potest Deus. In amoris historia, quae in Sacris Bibliis narratur, ipse nobis obviam venit, nos acquirere studet — usque ad Novissimam Cenam, usque ad Cor in cruce perforatum, usque ad Resuscitati visus magnaque opera, quibus ipse per actus Apostolorum Ecclesiae nascentis iter direxit. Etiam in Ecclesiae subsequentibus annalibus haud absens Dominus deprehenditur: usque denuo nobis occurrit — per homines in quibus ipse conspicitur; suum per Verbum, Sacramenta, potissimum Eucharistiam. In Ecclesiae liturgia, in eius precatione, in viva credentium communitate, Dei amorem experimur nos, eius praesentiam percipimus atque hoc modo in cotidiano vitae cursu eam etiam agnoscere discimus. Primus ipse nos dilexit ac primus nos diligere pergit; idcirco per amorem nos respondere possumus. Non imperat nobis animi affectum Deus, quem in nobis excitare non possumus. Ipse nos diligit idemque efficit ut suum amorem perspiciamus experiamurque, atque ex hoc « primum » Dei tamquam responsio etiam in nobis oriri potest amor.

Hoc in conveniendi processu non esse tantum animi affectum amorem palam demonstratur. Animi affectiones accedunt eaeque recedunt. Affectio mira potest esse initialis scintilla, sed non totum amorem complectitur. In principio de purificationum maturationumque processu disseruimus, quarum ope eros plane efficitur sui ipsius, amor fit plene significante verbo. Ad amoris maturitatem pertinet omnes hominis virtutes complecti et includere, ut ita dicamus, hominem tota in eius integritate. Cum Dei amoris visibiles significationes conveniuntur, laetitiae sensus in nobis excitari potest, quae ex eo oritur quod amamur. Sed hic occursus nostram etiam voluntatem intellectumque involvit. Vivens Deus agnitus via est qua ad amorem pervenitur, atque assensus nostrae voluntatis eius voluntati coniungit intellectum, voluntatem et affectionem in amoris actu, omnia complectente. Processus autem hic continenter progreditur: amor numquam « finitur » et completur; in vitae decursu mutatur, maturescit ideoque sibi ipse fidelis manet. Idem velle atque idem nolle, (Sallust, De coniuratione Catilinae, XX, 4) quibus verbis antiqui germanum amoris sensum definiebant: cum alter alteri assimulatur, id volendi cogitandique perducit ad communitatem. Inter Deum hominemque amoris historia in eo nempe stat quod haec voluntatis communio in cogitationis affectionisque communione adolescit, atque sic nostra et Dei voluntas magis ac magis idem expetit: Dei voluntas mihi iam non est extraria voluntas, quam mihi extrinsecus mandata praecipiunt, sed mea eadem est voluntas, eo quod ex experientia Deus re vera « interior intimo meo » (bdk St Augustinus, Confessions, III, 6, 11: CCL 27, 32) est quam ego. In Deo tum crescit deditio et Deus nostrum fit gaudium (cfr Ps 73 [72], 23-28).

18. Exstare sic potest proximi amor, quem Sacra Scriptura, Iesus enuntiarunt. Is quidem sibi vult me in Deo et cum Deo amare etiam personam quae mihi non probatur vel quam non novi. Id effici solummodo potest intime Deo conveniendo, ubi haec congressio facta est voluntatis communio atque usque ad animi affectionem pervenit. Tunc non modo meis oculis meisque affectionibus, sed ad Iesu Christi mensuram alteram personam respicere disco. Eius amicus meus est amicus. Praeter externam alterius speciem eius interiorem exspectationem amoris actus, observantiae, conspicio, quae non solum quaedam per instituta ad illud propositum destinata ei ostendo ac ministro, eundem accipiens, necessitate aliqua politica coactus. Christi oculis inspicio ac alteri plus quam extrinsecus necessaria tribuere possum: tribuere ei possum amoris contuitum, quo ille indiget. Hic reciproca ac necessaria actio inter Dei amorem ac amorem proximi manifestatur, cuius apud Primam Ioannis Epistulam instanter fit mentio. Si quidem cum Deo consuetudo mea in vita omnino deest, in altero semper alterum solummodo cerno, sed in eo divinam imaginem agnoscere nequeo. Sin autem mea in vita omnibus ex partibus alterum observandum non curo, cum « pius » tantum esse et « religiosa officia » complere velim, tum vero cum Deo etiam necessitudo arescit. Tum autem haec consuetudo tantummodo « recta » est, sed absque amore. Mea solum proximi conveniendi promptitudo, ut ei amor significetur, coram Deo quoque me sensibilem reddit. Tantum proximi famulatus id patefacit mihi quod Deus pro me efficit et significat quo pacto me ipse amet. Sancti — verbi gratia beatam Matrem Teresiam Calcuttensem cogitemus — ex Domino eucharistico convento suam proximi usque de integro amandi vim hauserunt, atque vicissim hic occursus suam realem virtutem altitudinemque ex eorum famulatu pro aliis obtinuit. Amor Dei proximique amor seiungi non possunt; unum est mandatum. At uterque amore fruitur, qui ex Deo manat, qui primus nos dilexit. De « mandato » sic non agitur externo, quod iubet quae fieri non possunt, sed de amoris experientia, intrinsecus data, atque amor hic, sua ex natura, cum aliis ultro est communicandus. Amor per amorem adolescit. Amor « divinus » est, quoniam ex Deo procedit isque nos cum Deo coniungit et hoc in unitatis processu in quiddam veluti « Nos » convertit, quod nostras partitiones praetergreditur et efficit ut unum fiamus, ita ut postremo Deus sit « omnia in omnibus » (1 Cor 15, 28).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar