Minggu, 08 Agustus 2010

Yohanes Baptista Maria Vianney

Pastor di suatu desa kecil, Ars, di Perancis, yang dalam hidupnya ia berkarya selama 40 tahun pada masa Revolusi Perancis. Pada 4 Agustus 1859 ia wafat, dan pada 5 Januari 1905 dimintakan beatifikasi. Pada Mei 1925 ia dinyatakan sebagai orang kudus, pelindung “para imam, gembala jiwa-jiwa di seluruh dunia”, oleh Paus Pius XI.
Pada 1 Agustus 1959, dalam rangka menyambut 100 tahun wafatnya YM Vianney, Paus Yohanes XXIII menerbitkan ensiklik Primarii Nostri Sacerdoti mengenai imam dan teladan St Yohanes Maria Vianney. Menurut beliau St Yohanes Maria Vianney adalah pribadi yang menarik dan praktis mendorong hidup imamat hingga setinggi-tingginya, sebagai sahabat-sahabat Kristus Tuhan (art 7). Maria Vianney merupakan teladan dalam hal semangat pastoral, devosi doa, dan ketekunannya dalam sakramen pengampunan, dan menjadi model asketisme dan kesalehan, khususnya dalam devosi kepada Ekaristi (art 9).
Ia mengikuti nasehat-nasehat Injil dalam hal kemiskinan, kemurnian dan ketaatan, dengan bersikap keras pada dirinya sendiri, tetapi lembut pada orang lain (art 11), mengingatkan para imam bahwa “diperlukan kesucian batin yang lebih besar daripada yang dituntut oleh status hidupnya sebagai rohaniwan”, juga sekalipun sebagai imam diosesan (Praja) yang untuk itu memerlukan kerjasama dengan Ordo religius yang direstui Gereja (art 12). Mengikuti sabda Guru Ilahi, “Jika seseorang hendak mengikut Aku, ia harus menyangkal diri, memikul salibnya dan mengikut Aku”, pastor dari Ars yang suci itu menerapkan sabda itu dalam tindakannya sehari-hari (art 13). Dalam hal kemiskinan, imam yang rendah hati dari Ars itu menjadi anggota Ordo Ketiga St Fransiskus Asisi dengan mengikuti peraturannya dengan setia. Ia merelakan apa saja untuk orang lain dan tidak menyimpan sesuatu bagi dirinya sendiri (art 14). Kebebasannya dari harta benda duniawi membuatnya bersungguh-sungguh di dalam menolong kaum miskin, terutama di dalam parokinya sendiri, dengan kasih yang besar, dengan kebaikan hati yang tulus, dan dengan menghormati mereka. Karena ia melakukan pantang dan puasa setiap hari, jika ada pengemis mengetuk pintunya, ia menerima mereka dengan senang dan dapat berkata ‘Aku juga hidup dalam kekurangan; aku sama dengan Anda’. Dan kepada orang yang akan mati ia berkata, ‘Aku akan bahagia jika boleh mati sekarang, sebab aku tidak punya apa-apa; maka jika Tuhan dalam kebaikanNya menganggap tepat untuk memanggilku, aku sudah siap dan akan berangkat.’ (art 15). Mengingat Maria Vianney itu, Pius XI menyatakan: “imam-imam yang hidupnya bersahaja dan mengikuti ajaran Injil dengan mengesampingkan kepentingannya sendiri niscaya mendatangkan berkat manfaat bagi lebih banyak umat (art 16). Sebaliknya, pastor dari Ars itu juga menyuarakan kecaman keras pada zamannya: “Ada banyak orang menyembunyikan uang mereka, sementara sesamanya banyak yang mati kelaparan.” Namun ini tidak berarti bahwa imam tidak boleh mempunyai uang untuk keperluan hidupnya, dan karena setiap pekerja harus mendapatkan upah yang adil, para imam juga harus mendapatkan santunan sepantasnya untuk pekerjaannya (art 19).
Dalam hal kemurnian Yohanes Maria Vianney juga menjadi teladan para imam di tengah zaman yang terinfeksi oleh moralitas yang longgar dan hawa nafsu yang tak pernah puas. Dengan latihan-latihan pantang dan puasa ia menempa tubuhnya sendiri bagaikan atlet Kristus, namun sekaligus menunjukkan kelembutan pada mereka yang datang kepadanya. Melalui sakramen tobat ia terus menerus mengendalikan hasrat-hasrat yang tidak murni. “Hanya langkah-langkah pertama saja yang sulit bagi siapapun yang akan menempuh jalan ini,” katanya (art 24). Dalam keyakinannya “Hanya jiwa yang murni saja yang dapat mengasihi orang lain, setelah ia sendiri menemukan sumber kasih...yaitu Tuhan” maka menurut Maria Vianney, kasih imamat seharusnya mengalir dari Hati Kudus Yesus (art 25).
Dalam hal ketaatan Maria Vianney menjadi teladan dalam ketekunannya melaksanakan imamat melayani umat di desa kecil Ars selama 40 tahun. Sebenarnya ia lebih suka hidup menyendiri sebagai pertapa. Tetapi Tuhan tidak mengizinkannya. Ia diajar untuk melaksanakan tugas yang diberikan uskup dengan setia sebagai pelayan umat hingga wafatnya (art 27-28). Sehubungan dengan itu Paus Pius XII menulis: “Kesucian hidup dan efektivitas kerasulan apapun mendapatkan dasar dan dukungan dari ketaatan yang tetap dan setia kepada pemimpin gereja.” (art 30). Melalui ketaatan itu imam tidak bekerja sendiri, melainkan di dalam persaudaraan dengan yang lain dalam ikatan mesra dengan Bunda Gereja, saling menguatkan (art 31-34).
Suatu hal yang juga mencolok pada Pastor dari Ars ini adalah kehidupan doanya. “Para imam terhambat mendapatkan kesucian karena tak memberikan kesempatan yang luas pada dirinya untuk memikirkan apa yang sesungguhnya harus dilakukan. Kita memerlukan renungan yang mendalam, dalam doa dan persekutuan yang mesra dengan Tuhan.” Betapapun sibuknya, Maria Vianney dikatakan “tidak pernah lupa berwawancara dengan Tuhan.” (art 37). Bagi dia “Kita adalah peminta-minta yang harus memohon apa saja dari Tuhan”. “Doa yang bersungguh-sungguh kepada Tuhan merupakan kebahagiaan manusia di dunia” (art 38).
Dalam rangka peringatan 150 tahun wafatnya Santo Yohanes Maria Vianney, Paus Benediktus XVI menyatakan tahun 2009 sebagai Tahun Imam, dan para imam diajak bercermin kembali kepada teladan-teladan Santo Yohanes Maria Vianney.

Pernyataan Kasih St Yohanes Maria Vianney

I love You, O my God and my sole desire is to love You until the last breath of my life.
I love You, O infinitely lovable God and I prefer to die loving You than live one instant without loving You.
I love You, O my God, and I do not desire anything but heaven so as to have the joy of loving You perfectly.
I love You, O my God, and I fear hell, because there will not be the sweet consolation of loving You.
O my God, if my tongue cannot say in every moment that I love You, I want my heart to say it in every beat. Allow me the grace to suffer loving You, to love you suffering and one day to die loving You and feeling that I love You. And as I approach my end, I beg you to increase and perfect my love of You.


Aku mencintai Dikau, ya Tuhanku, dan hasratku adalah hanya mengasihi Dikau sampai napas terakhirku.
Aku mencintai Dikau, O Tuhanku yang sangat terkasih, dan aku lebih suka mati dengan mengasihi Dikau, daripada hidup tanpa mengasihi Dikau.
Aku mencintai Dikau, Tuhan, dan hanya surga yang kuharapkan, supaya aku mempunyai kegembiraan untuk mengasihi Dikau dengan sempurna.
Aku mencintai Dikau, ya Tuhan, dan aku takut neraka, karena di sana tidak ada manisnya cinta dalam kasih padaMu.
Tuhanku, jika lidahku tak mampu mengucapkan setiap saat betapa aku cinta pada Dikau, semoga hatiku berulang-ulang menyatakan kasihku pada-Mu seiring tarikan napasku. Berilah aku rahmat penderitaan demi kasih kepadaMu, untuk mengasihi Engkau dengan menderita dan suatu hari mati dengan mengasihi Dikau dan menyadari bahwa Aku mencitai Dikau. Dan jika hari akhirku semakin dekat, kumohon tambahkanlah dan sempurnakanlah cintaku kepadaMu.

1 komentar: