Senin, 20 Juni 2011

Deus Caritas Est (Allah Adalah Kasih) Bagian II -- (Angsuran Kedua)

Ensiklik Paus Benediktus XVI
Tahun 2005
terjemahan FX Bambang Kussriyanto


(Kumpluan excerpts di bawah ini pernah diposkan dalam Akun Facebook Bambang Kuss; untuk menyesuaikan ketentuan posting maksimum 420 karakter, sebagian excerpts tidak mengikuti terjemahan harfiah, tapi tidak menyimpang dari maksud aslinya. Itu dapat dikaji dalam perbandingan dengan Teks Latin di bawahnya)



Negara menjamin kebebasan beragama dan keselarasan hidup antar umat agama yang berbeda. Gereja sendiri sebagai masyarakat merupakan kesaksian sosial iman Kristen, mempunyai hukum sendiri dan disusun menurut iman, diakui oleh Negara. (DCE 28a)

Civitas non debet religionem imponere, sed protegere eius libertatem nec non pacem inter variarum religionum asseclas; Ecclesia, sua ex parte, veluti sociale testimonium christianae fidei, sui iuris est et fide innixa vivit suam rationem communitariam, quam Civitas observare tenetur.

Keadilan merupakan tujuan sekaligus norma intrinsik untuk politik. Politik bukan hanya mekanisme untuk merumuskan aturan-aturan bagi hidup masyarakat: asal dan tujuannya terdapat dalam ranah keadilan, berkaitan dengan etika. (DCE 28a)

Iustitia est finis et ideo etiam intrinseca cuiusque politicae mensura. Politica est plus quam simplex ars technica qua publicae ordinationes definiuntur: fons eius et finis reperiuntur nempe in iustitia, quae est ethicae indolis.

Negara mengusahakan agar keadilan dilaksanakan di sini dan sekarang. Ini mengandaikan pertanyaan yang lebih radikal: keadilan itu apa? Perlu pemikiran praktis: pemikiran yang agar berjalan dengan benar memerlukan pemurnian terus, sebab pemikiran tidak bebas dari bahaya kebutaan etis yang disebabkan oleh dampak kesilauan atas kekuasaan dan kepentingan khusus. (DCE 28)

Ita Civitas reapse facere non potest quin se interroget: quomodo hic et nunc iustitia est exsequenda? Sed haec interrogatio aliam secumfert maioris ponderis: quid est iustitia? Quaestio haec rationem practicam respicit; sed ut recte operari possit, ratio magis in dies est purificanda, quoniam eius obcaecatio ethica, proficiscens ex dominio lucri et potentiae, quae eam offuscat, periculum est quod numquam omnino profligari potest.

Dalam paham Gereja, politik bergandengan dengan iman. Iman sendiri merupakan perjumpaan dengan Allah yang hidup – pertemuan yang memberi cakrawala baru yang melampaui daya jangkau nalar. Tetapi iman juga merupakan kekuatan yang memurnikan nalar (politik). Dari bimbingan Allah, iman membebaskan akalbudi dari kebutaan dan melihat obyeknya dengan lebih jelas dan memampukan akalbudi bekerja lebih efektif. (DCE 28a).

Hoc sub aspectu, res politica et fides conectuntur. Fides haud dubie propriam suam habet naturam, tamquam occursum cum Deo viventi — occursum qui aditum nobis dat ad novos prospectus extra proprium rationis ambitum. Sed simul ea est vis purificans eandem rationem. Procedens ex Dei consideratione, liberat eam ab eius obcaecationibus ideoque adiuvat eam ad meliorem sese reddendam. Fides rationi tribuit ut melius compleat munus suum meliusque hoc quod proprium est sibi intueatur.

Ajaran sosial Gereja tidak menempatkan Gereja di atas Negara. Bahkan tidak hendak memaksakan cara pikir dan perilaku yang khas menurut iman Gereja kepada umat agama lain. Tujuannya hanyalah membantu memurnikan pikiran dan jika perlu membantu untuk memahami dan mewujudkan apa yang adil di sini dan sekarang. (DCE 28a)

Hic reponitur catholica doctrina socialis: quae non vult Ecclesiae potestatem inferre in Civitatem. Neque iis qui fidem non participant imponere cupit prospectus et se gerendi modos huius proprios. Simpliciter prodesse cupit ad rationem purificandam suumque adiumentum afferre ita ut quod iustum habetur, hic et nunc agnosci ac postea ad rem perduci possit.

Deus Caritas Est (Allah Adalah Kasih) Bagian II -- (Angsuran Kedua)

Ensiklik Paus Benediktus XVI
Tahun 2005
terjemahan FX Bambang Kussriyanto

(Kumpluan excerpts di bawah ini pernah diposkan dalam Akun Facebook Bambang Kuss; untuk menyesuaikan ketentuan posting maksimum 420 karakter, sebagian excerpts tidak mengikuti terjemahan harfiah, tapi tidak menyimpang dari maksud aslinya. Itu dapat dikaji dalam perbandingan dengan Teks Latin di bawahnya)

Negara menjamin kebebasan beragama dan keselarasan hidup antar umat agama yang berbeda. Gereja sendiri sebagai masyarakat merupakan kesaksian sosial iman Kristen, mempunyai hukum sendiri dan disusun menurut iman, diakui oleh Negara. (DCE 28a)

Civitas non debet religionem imponere, sed protegere eius libertatem nec non pacem inter variarum religionum asseclas; Ecclesia, sua ex parte, veluti sociale testimonium christianae fidei, sui iuris est et fide innixa vivit suam rationem communitariam, quam Civitas observare tenetur.

Keadilan merupakan tujuan sekaligus norma intrinsik untuk politik. Politik bukan hanya mekanisme untuk merumuskan aturan-aturan bagi hidup masyarakat: asal dan tujuannya terdapat dalam ranah keadilan, berkaitan dengan etika. (DCE 28a)

Iustitia est finis et ideo etiam intrinseca cuiusque politicae mensura. Politica est plus quam simplex ars technica qua publicae ordinationes definiuntur: fons eius et finis reperiuntur nempe in iustitia, quae est ethicae indolis.

Negara mengusahakan agar keadilan dilaksanakan di sini dan sekarang. Ini mengandaikan pertanyaan yang lebih radikal: keadilan itu apa? Perlu pemikiran praktis: pemikiran yang agar berjalan dengan benar memerlukan pemurnian terus, sebab pemikiran tidak bebas dari bahaya kebutaan etis yang disebabkan oleh dampak kesilauan atas kekuasaan dan kepentingan khusus. (DCE 28)

Ita Civitas reapse facere non potest quin se interroget: quomodo hic et nunc iustitia est exsequenda? Sed haec interrogatio aliam secumfert maioris ponderis: quid est iustitia? Quaestio haec rationem practicam respicit; sed ut recte operari possit, ratio magis in dies est purificanda, quoniam eius obcaecatio ethica, proficiscens ex dominio lucri et potentiae, quae eam offuscat, periculum est quod numquam omnino profligari potest.

Dalam paham Gereja, politik bergandengan dengan iman. Iman sendiri merupakan perjumpaan dengan Allah yang hidup – pertemuan yang memberi cakrawala baru yang melampaui daya jangkau nalar. Tetapi iman juga merupakan kekuatan yang memurnikan nalar (politik). Dari bimbingan Allah, iman membebaskan akalbudi dari kebutaan dan melihat obyeknya dengan lebih jelas dan memampukan akalbudi bekerja lebih efektif. (DCE 28a).

Hoc sub aspectu, res politica et fides conectuntur. Fides haud dubie propriam suam habet naturam, tamquam occursum cum Deo viventi — occursum qui aditum nobis dat ad novos prospectus extra proprium rationis ambitum. Sed simul ea est vis purificans eandem rationem. Procedens ex Dei consideratione, liberat eam ab eius obcaecationibus ideoque adiuvat eam ad meliorem sese reddendam. Fides rationi tribuit ut melius compleat munus suum meliusque hoc quod proprium est sibi intueatur.

Ajaran sosial Gereja tidak menempatkan Gereja di atas Negara. Bahkan tidak hendak memaksakan cara pikir dan perilaku yang khas menurut iman Gereja kepada umat agama lain. Tujuannya hanyalah membantu memurnikan pikiran dan jika perlu membantu untuk memahami dan mewujudkan apa yang adil di sini dan sekarang. (DCE 28a)

Hic reponitur catholica doctrina socialis: quae non vult Ecclesiae potestatem inferre in Civitatem. Neque iis qui fidem non participant imponere cupit prospectus et se gerendi modos huius proprios. Simpliciter prodesse cupit ad rationem purificandam suumque adiumentum afferre ita ut quod iustum habetur, hic et nunc agnosci ac postea ad rem perduci possit.

Bukan tugas Gereja memberlakukan ajaran sosialnya dalam bidang politik. Namun Gereja sebagai kekuatan moral turut membina nurani dalam hidup politik, dan merangsang timbulnya pengertian yang lebih baik atas tuntutan keadilan, serta sikap agar bertindak sesuai tuntutan keadilan, juga ketika harus melawan kepentingan pribadi dan kelompok. (DCE 28a)

Novitque bene non esse munus Ecclesiae ut ipsamet huic doctrinae politico modo vigorem tribuat: consulere intendit formationi conscientiae in re politica et contendere ut augescant sive perceptio verorum iustitiae postulatorum, sive simul dispositio ad hoc modo agendum, etiam cum hoc contrarium est singulorum lucri.

Pembangunan tata sosial dan Negara yang adil, agar setiap orang menerima hak-haknya, adalah tugas pokok yang harus diperbarui setiap angkatan. Tugas politik ini bukan tugas langsung Gereja. Tapi karena merupakan tanggungjawab manusia (termasuk warga Gereja), maka Gereja memberi sumbangannya yang khas melalui pemurniaan nalar dan pembinaan etika, menuju pengertian atas tuntutan dan perwujudan keadilan secara politik.

Hoc quidem significat aedificationem iustae ordinationis socialis et civilis, qua unicuique dabitur id quod ad ipsum pertinet, maximum esse munus quod singulae generationes oppetere debent. Cum agatur de munere politico, hoc nequit esse immediatum Ecclesiae negotium. At cum simul primarium hominis sit munus, Ecclesia, per mentis purificationem et ethicam institutionem, officium habet suam conferendi specificam industriam, ut iustitiae postulata intellegi et in ambitu politico perfici possint.

Gereja tidak dapat dan tidak boleh melakukan politik praktis mewujudkan masyarakat yang adil. Gereja tak dapat dan tak boleh merebut tanggungjawab Negara. Namun Gereja juga tidak dapat dan tidak boleh minggir dari perjuangan keadilan. Ia berperan melalui wacana rasional dan membangkitkan daya rohani demi keadilan, sebab tanpa daya rohani itu, keadilan yang selalu menuntut pengorbanan tidak akan terwujud dan tumbuh sehat.

Ecclesia non potest nec debet sibi assumere politicam contentionem ut societatem quam iustissimam efficiat. Non potest nec debet locum Civitatis proprium occupare. Sed non potest nec debet quoque discedere a studio iustitiam reperiendi. Ingredi debet, per viam rationabilis argumentationis, atque spiritales suscitare vires, sine quibus iustitia, quae semper quoque renuntiationes expetit, nec sese extollere nec progredi valet.

Masyarakat yang adil haruslah buah karya politik, bukan buah Gereja. Tapi memajukan keadilan melalui pembinaan pikiran dan kemauan agar terbuka pada tuntutan keadilan adalah tugas Gereja.

Iusta societas non potest esse opus Ecclesiae, sed a politicis illud procurari oportet. Attamen illius magnopere interest pro iustitia operari ut et mens aperiatur et voluntas boni postulationibus.

Amal kasih – karitas – selalu terbukti diperlukan, juga dalam masyarakat yang paling adil sekalipun. Tidak ada tata-Negara yang begitu adil hingga tidak mengadakan layanan kasih. Barangsiapa meniadakan kasih niscaya meniadakan manusia juga. Selalu ada derita yang meminta perhatian dan pertolongan. Selalu ada rasa tersisihkan sendirian. Selalu ada kekurangan material yang memerlukan uluran konkret kasih pada sesama.

Amor — caritas — semper necessarius erit, in societate etiam admodum iusta. Nulla habetur iusta ordinatio civilis quae superfluum reddere possit ministerium amoris. Si quis de amore vult se subtrahere, prolabitur ad se ab homine velut homine eximendum. Semper dolor aderit in eo qui solacio indiget et auxilio. Semper aderit solitudo. Semper aderunt quoque condiciones materialis necessitatis, in quibus opus erit auxilium ferre intuitu veri erga proximum amoris (Cfr Congregatio pro Episcopis, Directorium ministerii pastoralis Episcoporum Apostolorum Successores (22 Februarii 2004),197, Città del Vaticano 2004, 2a, 209)

Negara yang menyediakan segala sesuatu tentulah juga menyerap segala sesuatu, dan akhirnya hanya menjadi birokrasi yang tidak sanggup menjamin kebutuhan orang yang menderita, siapa saja: yaitu, perhatian kasih yang bersifat pribadi.

Civitas quae omnibus providere vult, quae omnia in se amplectitur, efficitur denique burocratica instantia quae praestare nequit necessarium illud quo homo patiens — omnis homo — indiget: nempe benevola personali deditione.

Kita tidak memerlukan Negara yang mengatur dan mengendalikan segala sesuatu, melainkan Negara yang mengikuti prinsip subsidiaritas bersedia mengakui dan menunjang prakarsa mandiri dari lapisan-lapisan sosial yang berlainan dan mendekatkan bantuan itu pada pihak yang membutuhkan.

Non agitur de Civitate quae omnia constituat ac dominetur, sed potius de Civitate quae liberaliter agnoscat et foveat secundum subsidiarietatis principium incepta quae oriuntur ex variis socialibus viribus et in quibus coniunguntur libera voluntas et proximitas hominibus auxilio indigentibus.

Gereja hidup oleh kasih yang tidak hanya memberi bantuan material, tetapi juga santapan dan pemeliharaan jiwa, yang sering sungguh lebih diperlukan. Pernyataan bahwa struktur sosial yang adil akan membuat amal kasih tidak berguna hanyalah kedok konsepsi materialistis yang salah, bahwa manusia dapat hidup “hanya dengan roti saja” (Mat 4:4; bdk Ul 8:3) – keyakinan yang melalaikan martabat rohani manusia.

Ecclesia una est ex his viventibus virtutibus: in ipsa palpitat amoris vis a Christi Spiritu suscitata. Amor hic hominibus non solum materiale praebet adiumentum, sed etiam refectionem et curam animae, auxilium saepe magis necessarium quam fulcimen materiale. Affirmatio, secundum quam iustae structurae opera caritatis superflua reddunt, revera abscondit materiale hominis conceptum: praesumptam scilicet opinionem secundum quam homo vivere potest « in pane solo » (Mt 4, 4; cfr Dt 8, 3) — persuasionem quae hominem humiliat et reapse id ignorat quod est specifice humanum.

Kewajiban memperjuangkan tata masyarakat yang adil adalah kewajiban langsung kaum awam beriman. Sebagai warga negara, mereka terpanggil ambil bagian dalam hidup negara menurut kemampuan mereka. Mereka tidak boleh lepas tangan dari peran-serta dalam pelbagai bidang yang berbeda: ekonomi, sosial, legislatif, pemerintahan dan budaya, memajukan kesejahteraan umum secara organik dan institusional (DCE 29)

Proximum operandi officium pro iusto in societate ordine pertinet tamen laicos ad fideles. Tamquam Civitatis participes vocantur ut in primis vitam publicam communicent. Propterea renuntiare eis non licet « multiplici et diversae actuositati oeconomicae, sociali, legislativae, administrativae et culturali ad bonum commune organice et ex instituto promovendum » (Ioannes Paulus II, Adhort. ap. post-synodalis Christifideles laici (30 Decembris 1988), 42: AAS 81 (1989), 472).

Tugas perutusan kaum awam beriman adalah membina hidup sosial dengan benar, dengan menghormati kekuasaan yang sah dan bekerja sama dengan warga lain menurut kemampuan masing-masing, dan melaksanakan tugasnya masing-masing (Kongregasi Ajaran Iman, Catatan tentang Beberapa Pertanyaan Mengenai Peran Serta Umat Katolik dalam Politik, art 1, 24)

Laici fideles hanc ob rem opus est socialem rite ut conforment vitam, eius legitimam observantes autonomiam atque ceteris cum civibus communiter operantes propria secundum officia et sua ex conscientia (Cfr Congregatio pro Doctrina Fidei, Nota dottrinale circa alcune questioni riguardanti l'impegno e il comportamento dei cattolici nella vita politica (24 Novembris 2002), 1: L'Osservatore Romano, 17 Ianuarii 2003, p. 6).

Sekalipun karya amal kasih gerejawi tidak boleh dirancukan dengan kegiatan Negara, akan selalu benar bahwa amal kasih itu akan menjiwai seluruh hidup kaum awam beriman dan karenanya kegiatan politik mereka akan dihayati sebagai “amal kasih sosial” (Katekismus Gereja Katolik, no 1939).

Tametsi propria ecclesialis caritatis incepta numquam cum Civitatis industria misceri possunt, certum nihilominus manet debere caritatem totam fidelium laicorum pervadere vitam ac proinde politicam similiter eorum operam quae tamquam « socialis caritas » (Catechismus Catholicae Ecclesiae, 1939) impletur.

Karya amal kasih Gereja adalah tugas khusus, di mana Gereja tidak bekerja bagi pihak lain, tetapi subyek yang bertanggungjawab langsung melaksanakan hakikatnya sendiri. Gereja takkan pernah lepas dari amal kasih sebagai tugas kegiatan umat beriman yang berhimpun; takkan pernah ada situasi di mana tidak diperlukan amal kasih setiap orang Kristen, karena selain keadilan, juga selalu ada kebutuhan akan kasih. (DCE 30)

Caritas institutiones Ecclesiae suum tamen opus proprium constituunt, munus ei omnino consentaneum, quo ipsa non veluti in latere cooperatur, sed uti subiectum recta via responsale agit, id efficiens quod eius respondet naturae. Numquam Ecclesia a caritatis exercitatione liberari potest tamquam navitatis credentium communiter ordinatae et, altera ex parte, numquam condicio accidet in qua necessaria non sit caritas uniuscuiusque christiani, quandoquidem, praeter iustitiam ipsam, indiget et indigebit semper homo amore.

Komunikasi masa telah mempersempit jarak antar bangsa hingga nyaris serba seketika. “Keseketikaan” memampukan kita untuk mengetahui nyaris pada saat yang sama kebutuhan orang lain; menantang kita ikut menanggung situasi dan kesulitan mereka. Tiap hari kita menyaksikan pelbagai penderitaan di dunia; aneka ragam kemiskinan material maupun spiritual. Zaman kita memerlukan kesediaan baru untuk membantu sesama. (DCE 30)

Instrumenta communicationis universalis hodie nostram terram minorem reddiderunt, coniungendo velociter et sensibiliter homines et culturas prorsus diversas. Si istud « simul stamus » nonnumquam etiam gignit dissensiones atque contentiones, nihilominus quod nunc multo propius hominum necessitates cognoscimus, ante omnia secum incitationem adfert ut eorum condicionum participes simus atque difficultatum. Singulis diebus conscii sumus quantum in orbe homines patiantur, magnae quamvis factae sint in provincia scientiarum et technicae artis progressiones, ob multiformem tum materialem tum spiritualem miseriam. Hoc nostrum tempus novam igitur postulat dispositionem ad proximo indigenti occurrendum.

Salah satu sisi yang menantang namun positif dari proses globalisasi, kita sekarang mempunyai sarana-sarana untuk memberikan bantuan kemanusiaan kepada saudara kita yang kekurangan, termasuk sistem modern untuk distribusi bahan pangan dan pakaian, perawatan dan perumahan. Kepedulian pada sesama mengatasi batas-batas masyarakat nasional dan semakin meluas ke seluruh dunia. (DCE 30)

Altera ex parte — quod est elementum provocatorium eodemque tempore adhortationis plenum ipsius processus globalizationis — praesens tempus ad nostrum usum innumerabilia ministrat instrumenta ad adiumentum praestandum fratribus egentibus humanitarium, et inter ea nostrae aetatis rationes ad cibum et vestimenta distribuenda, veluti etiam ad offerendam habitationem et hospitalitatem. Superatis communitatum nationalium finibus, sollicitudo de proximo hoc modo ad suos prospectus amplificandos tendit usque in mundum universum.

Badan pemerintahan dan pelbagai lembaga kemanusiaan memajukan solidaritas internasional. Jika badan pemerintahan bekerja melalui aneka subsidi dan keringanan pajak, lembaga kemanusiaan menghimpun sumberdaya yang sangat besar. Maka solidaritas masyarakat tampak jauh melampaui apa yang dilakukan perorangan. (DCE 30)

Civitatis instituta et associationes humanitariae inceptis ad hoc propositum directis aliis favent per subsidia vel deminutiones tributorum, aliis reddendo disponibiles ingentes copias. Hoc modo solidarietas a societate civili expressa significanter actionem superat singulorum.

Berbagai bentuk kerjasama baru di antara badan Negara dan Gereja telah menghasilkan buah berlimpah. Badan-badan Gereja dengan proses kerja yang transparan dan kesetiaan mereka pada tugas menjadi saksi kasih, dapat memberikan suatu cita rasa pada badan-badan sipil juga, demi suatu koordinasi bersama yang tentunya akan menghasilkan efektivitas pelayanan amal kasih. (DCE 30)

Hac in condicione ortae sunt ac creverunt, inter instituta civilia et ecclesiastica, numerosae novae formae operae consociatae quae fructuosae comparuerunt. Ecclesiae actiones, manifestae quidem suo in opere atque fidelitate ipsi officio amoris testificandi, christiano modo etiam animare poterunt civiles actiones, dum communem mutuam ordinationem fovebunt quae non poterit ministerii caritatis non adiuvare efficaciam (Cfr Congregatio pro Episcopis, Directorium ministerii pastoralis Episcoporum Apostolorum Successores (22 Februarii 2004), 195: Città del Vaticano 2004, 2a, 207).

Banyak organisasi untuk maksud-maksud amal atau kemanusiaan juga telah didirikan dan mereka punya komitmen untuk menghasilkan pelbagai solusi kemanusiaan atas persoalan-persoalan sosial dan politik dewasa ini. Zaman kita juga menjadi saksi atas tumbuh dan meluasnya berbagai karya relawan, yang signifikan memberikan aneka macam pelayanan (DCE 30)

Pariter formatae sunt, hoc in rerum contextu, multiplices consociationes cum propositis caritatis et humanitatis, quae operam dant ut coram quaestionibus socialibus et politicis praesentibus solutiones congruas attingant sub humanitatis ratione. Magni momenti nostro tempore sunt ortus et diffusio variarum formarum voluntariatus, quae in se ministeriorum multiplicitatem suscipiunt (Cfr Ioannes Paulus II, Adhort. Ap. post-sinodalis Christifideles laici (30 Decembris 1988), 41: AAS 81 (1989), 470-472).

Bagi kaum muda keterlibatan dalam karya amal kasih adalah sekolah kehidupan yang membina rasa setia kawan dan kesediaan memberi sesama bukan saja materi tetapi juga diri sendiri. Sikap anti-budaya menuju kematian, misalnya penyalahgunaan narkoba, kini diganti oleh kasih yang tidak egois, yang tampil sebagai budaya membela kehidupan, bahkan dengan rela untuk “kehilangan nyawa” (Luk 17:33 dst) demi sesama (DCE 30)

Eiusmodi iam diffusum opus iuvenibus constituit scholam quandam vitae quae ad solidarietatem educat, ad promptitudinem non simpliciter aliquid offerendi, sed se ipsos. Adversae culturae mortis, quae exempli gratia in medicamentis stupefactivis exprimitur, amor sic opponitur qui se ipsum non quaerit, sed omnino in disponibilitate ad « se ipsum amittendum » (cfr Lc 17, 33 et par.) pro proximo tamquam cultura vitae se patefacit.

Bertambahnya aneka organisasi yang berusaha memenuhi pelbagai kebutuhan manusia pada akhirnya adalah karena perintah kasih pada sesama telah dituliskan oleh Sang Pencipta dalam kodrat manusia sendiri. Selain itu juga karena hadirnya Kekristenan di dunia, karena Kekristenan bertindak atas perintah ini dan tak henti-henti mengobarkannya, karena sering sungguh kabur dalam perjalanan waktu. (DCE 31)

Variarum consociationum augmentum, quae opus suscipiunt pro homine in variis ipsius necessitatibus, denique explanatur inde quod imperativus amor proximi a Creatore in ipsa hominis natura est inscriptus. Eiusmodi incrementum, tamen, consectarium est etiam praesentiae religionis christianae in mundo, quae semper hoc imperatum ex novo excitat et capax reddit, saepe alte in historiae cursu obscuratum.

Sangat penting bahwa kegiatan amal kasih Gereja memertahankan seluruh terang cahayanya dan dalam hubungan dengan badan lain tidak luntur menjadi sekedar bentuk lain dari lembaga bantuan sosial belaka. Lalu apakah yang merupakan unsur-unsur pokok dari amal kasih Kristiani dan gerejawi?(DCE 31)

Magni igitur momenti est ut navitas caritativa Ecclesiae totum suum conservet splendorem, et ne in communi consociatione adiumentorum dissolvatur uti aliqua eorum forma fiat. Sed quae sunt nunc elementa constitutiva quae essentiam caritatis christianae et ecclesialis efficiunt?

Mengikuti teladan dalam perumpamaan Orang Samaria yang Baik, amal kasih Kristen pertama-tama merupakan tanggapan sederhana pada kebutuhan mendesak dan situasi spesifik: memberi makan yang lapar, memberi pakaian yang telanjang, menyembuhkan yang sakit, mengunjungi yang dipenjarakan, dsb. (DCE 31a)

Secundum exemplar in parabola boni Samaritani exhibitum, caritas christiana praesertim simpliciter responsio est ad id quod, determinata in condicione, necessitatem constituit directam: esurientes satiandi sunt, nudi vestiendi, infirmi in sanationis spe curandi, in carcere custoditi sunt visitandi, etc.

Organisasi amal kasih Gereja, mulai dengan yang termasuk dalam Caritas (tingkat keuskupan, nasional dan internasional) niscaya bekerja sekuat tenaga untuk memberikan sumber daya dan terutama tenaga yang diperlukan karya ini. (DCE 31a)

Oportet associationes caritativae Ecclesiae, iam ab illis quae sunt Caritatis (dioecesanae, nationalis, internationalis) quod fieri potest faciant, ut prompta sint respondentia instrumenta et praesertim viri et mulieres qui eiusmodi munus suscipiant.

Pribadi-pribadi yang peduli pada sesama yang kekurangan dalam karya kasih Gereja pertama-tama haruslah mempunyai kompetensi profesional: mereka harus terlatih dalam tugas mereka dan terampil melakukannya, serta punya komitmen yang berkelanjutan. Tapi profesionalisme saja tidaklah cukup. Kita mengurus manusia yang lebih dari soal keahlian teknis membutuhkan sikap manusiawi. Mereka membutuhkan hati. (DCE 31a)

Quod ad ministerium erga dolentes exercitatum spectat, necessaria est ante omnia praeparatio professionalis: opus est ut auxiliatores formati sint ita ut rem iustam adimplendam modo iusto exsequantur, suscipientes deinde missionem curationis prosequendae. Facultas professionalis prima est fundamentalis necessitas, sed sola non sufficit. Agitur, revera, de personis humanis et illae personae humanae semper pluribus rebus egent quam cura simpliciter technice apta. Egent humanitate. Egent cordis attentione.

Maka selain profesionalisme, pelaksana karya amal kasih Gereja juga perlu “pembinaan hati”: mereka perlu diantar menjumpai Allah dalam Kristus yang membangun kasih mereka, membuka jiwa mereka pada orang lain, hingga bagi mereka kasih tidak lagi perintah yang diterima dari luar, melainkan konsekuensi yang berasal dari iman yang bekerja melalui kasih (bdk Gal 5:6). (DCE 31a)

Hanc ob rem eiusmodi operatoribus, praeter praeparationem professionalem, necessaria est, et ante omnia, « cordis formatio »: ii conducendi sunt ad illum cum Deo in Christo occursum qui suscitet in ipsis amorem et eorum aperiat cor erga alios, ita ut pro iis amor non praeceptum sit, ut dicitur, externum, sed consectarium profluens de fide quae in caritate operatur (cfr Gal 5, 6).

Kegiatan amal kasih Kristen juga harus bebas dari partai dan ideologi. Kegiatan amal kasih Kristen bukan sarana untuk mengubah dunia secara ideologis, juga bukan demi kepentingan yang bersifat duniawi, tetapi suatu cara menghadirkan kasih yang diperlukan manusia kapan saja dan di mana saja. (DCE 31b)

Christiana navitas caritativa a factionibus et doctrinis seiuncta esse debet. Non est instrumentum ad mundum mutandum secundum quandam doctrinam neque adstat in ministerio mundanorum consiliorum, sed est effectio hic et nunc amoris quo homo semper indiget.

Zaman modern dipengaruhi banyak filsafat kemajuan dan yang paling radikal adalah Marxisme. Dalam Marxisme ada teori pemiskinan: bahwa dalam situasi kekuasaan yang tidak adil, mereka yang terlibat karya amal kasih dianggap abdi sistem yang tidak adil itu, melemahkan potensi revolusi dan menghambat perjuangan menuju dunia yang lebih baik. Alat memelihara status-quo. Namun ini wawasan filsafat yang tidak manusiawi.

Tempus recens, praesertim a saeculo duodevicesimo, diversis modis philosophiae progressionis regitur, cuius forma maxime radicalis est marxismus. Pars actionis marxistarum est teoria de divitiarum deminutione: qui in condicione potestatis iniustae — ita asseverat — hominem adiuvat operibus caritatis, se ipsum de facto exponit servitio erga illam rationem iniustitiae, quam reddit primo aspectu, saltem ad certum gradum, tolerabilem. Hoc modo potentia revolutionalis cohibetur, ideoque cursus in meliorem mundum intermittitur. Quocirca caritati resistitur eaque immo impeditur veluti ratio servandi ipsius status quo res sunt. Revera, haec est philosophia quaedam hominibus adversa.

Kita memberi sumbangan kepada dunia yang lebih baik hanya dengan tindakan baik sekarang, dengan komitmen, kapan saja ada peluang, lepas dari strategi dan program partai apa pun. Program Kristen – program Orang Samaria yang Baik, program Yesus – adalah “hati yang melihat”. Yang tahu kapan kasih dibutuhkan dan bertindak. (DCE 31b)

Meliori mundo aliquid tribuitur tantummodo si facimus nos bonum nunc atque in prima persona, toto cum animi impetu et ubicumque possumus, rationibus propositisque factionum neglectis. Christiani propositum — id est propositum boni Samaritani, propositum Iesu — « cor est quod videt ». Hoc cor videt ubi opus sit amoris et congruo agit modo.

Terlebih lagi, amal kasih jangan dijadikan alat melakukan apa yang disebut proselitisme. Kasih itu cuma-cuma: jangan dijadikan cara untuk mencapai tujuan-tujuan lain (Kongregasi para Uskup, Pedoman Pelayanan Pastoral Uskup Apostolorum Successores, 22 Februari 2004, art 196)

Caritas, praeterea, non debet esse instrumentum quoddam in via alicuius rei quae hodie proselytismus nominatur. Gratuitus est amor; non exercetur ad proposita consequenda aliena (Cfr Congregatio pro Episcopis, Directorium ministerii pastoralis Episcoporum Apostolorum Successores (22 Februarii 2004), 196: Città del Vaticano 2004, 2a, 208).

Pelaksana amal kasih atas nama Gereja tidak boleh memaksakan iman Gereja pada orang lain. Mereka harus tahu bahwa kasih yang murni dan cuma-cuma sudah menjadi kesaksian akan Allah yang mendorong kita melakukan kasih. Orang Kristen tahu kapan harus berbicara tentang Allah dan kapan harus diam dan membiarkan kasih sendiri yang bicara. Allah adalah kasih. (DCE 31c)

Qui in nomine Ecclesiae caritatem exercitat, numquam conabitur aliis fidem Ecclesiae iniungere. Ille novit amorem sua in purititate gratuitateque optimam esse Dei testificationem in quem credimus et a quo ad amorem sucitamur. Christianus novit quando tempus sit de Deo loquendi et quando iustum sit de ipso tacere atque permittere ut amor ipse loquatur. Ille novit Deum esse caritatem (cfr 1 Io 4, 8)

Allah itu kasih (bdk 1Yoh 4:8) dan kehadiran Allah dirasakan ketika kasih diterimakan. Menolak kasih sama dengan menolak Allah dan menolak manusia juga; itu sama dengan berusaha hidup tanpa Allah. Namun cara membela Allah dan manusia yang terbaik hanyalah dengan melakukan kasih saja. (DCE 31c)

Ille novit Deum esse caritatem (cfr 1 Io 4, 8) et adesse quibusdam momentis quibus nulla alia res accidit praeter amorem. Ille novit — ut ad quaestiones revertamur praecedentes — contemptionem amoris contemptionem esse Dei hominisque atque conatum agendi sine Deo. Quapropter optima defensio Dei hominisque in amore omnino consistit.

Gereja sebagai keluarga Allah harus menjadi tempat di mana pertolongan diberikan dan diterima, dan sekaligus tempat di mana orang disiapkan untuk juga melayani sesama di luar Gereja yang membutuhkan pertolongan. (DCE 32)

Ecclesia, utpote familia Dei, hodie quoque perinde ac heri fieri debet locus mutui auxilii et, eodem tempore, locus promptitudinis serviendi erga eos etiam qui extra illam auxilio indigent.

Belakangan dokumen Pedoman Pelayanan Pastoral Para Uskup membahas dengan lebih rinci dan mendalam tugas amal kasih sebagai tanggungjawab yang dibebankan pada Gereja seluruhnya dan pada masing-masing Uskup di keuskupannya (Apostolorum Successores, art 193-198) dan menegaskan bahwa pelaksanaan amal kasih adalah kegiatan Gereja seperti pelayanan Sabda dan Sakramen (DCE 32)

Verumtamen Directorium pastoralis Episcoporum ministerii recens investigavit altius et subtilius officium caritatis tamquam intrinsecum totius Ecclesiae opus et Episcopi propria in dioecesi (Cfr nn. 193-198, 204-210) et inculcavit caritatis exercitationem actum esse Ecclesiae ut talis atque, prout ministerium Verbi Sacramentorumque, participem esse essentiae primitivorum eius operum (Cfr ibid., 194, 205-206).

Pelaksana kegiatan amal kasih Gereja tidak boleh dipengaruhi oleh ideologi untuk dunia yang lebih baik, namun harus dibimbing oleh iman yang bekerja melalui kasih (bdk Gal 5:6). Mereka terutama harus digerakkan oleh hati dan kasih Kristus, dan karenanya bangkit dalam diri mereka kasih pada sesama. Norma mereka haruslah perkataan St Paulus: “Sebab kasih Kristus telah menguasai kami” (2Kor 5:14). (DCE 33)

Quod attinet ad curatores qui in gradu exsecutionis operam caritatis in Ecclesia factitant, essentia iam dicta est: illi se movere non debent secundum doctrinas de meliore reddendo mundo, sed fide se dirigi sinunt quae per caritatem operatur (cfr Gal 5, 6). Oportet ante omnia personae sint caritate Christi permotae, personae quarum cor Christus sua caritate cepit, suscitans in ipsis erga proximum caritatem. Norma inspirans eorum agendi modum affirmatio debet esse vigens in Epistula Secunda ad Corinthios: « Caritas Christi urget nos » (5, 14).

Kesadaran bahwa Allah sendiri telah memberikan diri pada kita sampai wafat, haruslah mengilhami kita agar hidup bukan demi diri sendiri saja, tapi juga untuk sesama. Barangsiapa mengasihi Kristus mengasihi Gereja, dan tentu menginginkan Gereja makin menjadi wajah dan sarana kasih yang mengalir dari Kristus. (DCE 33)

Conscientia in ipso Deum se pro nobis usque ad mortem dedisse, nos ducere debet ne pro nobis ipsis vivamus, sed pro ipso et cum ipso pro aliis. Qui Christum diligit, Ecclesiam diligit et vult ut semper magis sit signum et instrumentum caritatis quae ab eo emanat.

St Paulus dalam madah kasih (1Kor 13) mengajar kita agar selalu memberi kasih, lebih dari kegiatan saja: “Sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikit pun tidak ada faedahnya bagiku” (1Kor 13:3). Madah ini niscaya merupakan Magna Carta bagi pelayanan kasih gerejawi. (DCE 34)

Sanctus Paulus suo in hymno ad caritatem (cfr 1 Cor 13) nos docet caritatem semper maiorem esse simplici navitate: « Et si distribuero in cibos omnes facultates meas et si tradidero corpus meum, ut glorier, caritatem autem non habuero, nihil mihi prodest » (v. 3). Hic hymnus esse debet Magna Carta totius ministerii ecclesialis

Dalam berbagi pada sesama yang kekurangan dan menderita, cara yang kulakukan haruslah cocok bagiku dan bagi mereka: jangan sampai pemberian itu menjadi penghinaan bagi sesama, maka yang kuberikan bukan milikku saja, tetapi juga diriku sendiri: aku secara pribadi harus hadir pada apa yang kuberikan. (DCE 34)

Intima personalis participatio necessitatum et dolorum proximi hoc modo fit ut ego me cum eo participem: ne donum proximum humiliet, ei dandum est non tantummodo aliquid mei, sed ipsemet ego, adstare debeo in dono veluti persona.

Cara pelayanan yang tepat pada sesama haruslah rendah hati. Yang melayani tidak merasa lebih hebat dari yang dilayani. Kristus memilih tempat yang hina di dunia – Salib – dan dengan kerendahan hati yang radikal Ia menebus kita dan datang untuk menolong kita. (DCE 35)

Haec recta serviendi ratio humilem efficit actorem. Prae ceteris ipse haud se effert, licet tunc misera sit eius condicio. Novissimum locum in mundo — scilicet crucem — occupavit Christus, atque extrema hac humilitate nos tum redemit tum continenter adiuvat

Orang yang bertugas menolong orang lain harus sadar bahwa untuk tugas itu mereka sendiri memeroleh pertolongan: karya memberi bantuan bukan terjadi oleh kemampuan sendiri. Tugas ini sendiri adalah karunia. Semakin kita bekerja bagi sesama, semakin kita pahami sabda Kristus: “Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna” (Luk 17:10). (DCE 35)

Qui iuvare valet, se quoque hoc ipso modo iuvari agnoscit; non ad eius meritum neque ad gloriationis causam adscribitur eo quod iuvare is potest. Munus hoc gratia est. Quo magis quispiam aliis operam dat, eo melius Christi verbum intellegit idque in se recipit: « Servi inutiles sumus » (Lc 17, 10).

Kita bekerja bukan karena keunggulan ataupun kemampuan pribadi, tapi karena Tuhan memampukan kita. Adakalanya besarnya kebutuhan dan keterbatasan kita membuat kita jadi loyo. Namun kita tertolong oleh kesadaran bahwa kita hanya alat di tangan Tuhan; ini membebaskan kita dari praanggapan bahwa hanya kita sendiri yang bertanggungjawab atas terwujudnya kemajuan dunia. (DCE 35)

Agnoscit enim is se non suam propter praestantiam vel maiorem suam efficacitatem, sed quia id tamquam donum ei concedit Dominus. Nonnumquam nimia necessitas et angustiae item operandi ad animi demissionis temptationem obicere eum possunt. At tum vero id eum iuvare potest, quod tandem nempe novit Domini manibus solummodo se esse instrumentum; immodicam sic sui amittet fiduciam per se unum efficiendi mundi necessariam progressionem.

Dengan rendah hati kita lakukan apa yang dapat kita lakukan, selebihnya kita percayakan pada Tuhan. Dialah penguasa dunia, bukan kita. Kita melayani Tuhan sejauh kemampuan kita, dan sejauh kekuatan yang Ia berikan kepada kita. Melakukan pekerjaan itu sebaik mungkin adalah kewajiban kita: itulah yang membuat hamba yang baik dari Yesus Kristus selalu bekerja (DCE 35)

Demisso animo quod facere potest facit atque reliqua humiliter Domino committit. Deus mundum regit, non nos. Ei nos, quod possumus, inservimus, usque dum vigorem nobis ministrat. Agere tamen quantum in nobis est situm ex viribus quae nobis praesto sunt: hoc est officium quod bonus Iesu Christi famulus servat, qui semper se actuosum exhibet: « Caritas enim Christi urget nos » (2 Cor 5, 14).

Besarnya kebutuhan bisa membuat kita condong pada ideologi yang mau menggantikan fungsi Allah: mengatasi sepenuhnya setiap masalah, yang tentu mustahil. Kita juga bisa tergoda menjadi pasif, sebab rasanya tak menuntaskan apapun. Di saat seperti itu, hubungan dengan Kristus mengajarkan sikap tepat, tidak congkak dan karenanya malah merusak, tapi juga tidak menyerah dan mau dibimbing kasih melayani sesama. (DCE 36)

Experti necessitatum magnitudinem, una ex parte, hinc ad ideologiam nos compelli possumus, quae nunc id efficere praesumit, quod orbis regimen ex parte Dei, ut videtur, non consequitur: ad omnes scilicet quaestiones expediendas. Illinc inertiae sollicitatio fieri potest, cum cogitetur nihil utique effici posse. His in rerum adiunctis, viva cum Christo coniunctio decretorium rectam semitam tenendi praebet adiumentum: non in superbiam incidere, quae hominem spernit ac nihil reapse aedificat, sed potius destruit, neque animi dimissioni concedere necesse est, quae impedit quominus dirigat nos amor et ita homini inserviamus.

Doa adalah cara menimba kekuatan baru dari Kristus. Maka merupakan kebutuhan konkret dan mendesak. Orang yang berdoa tidak boros waktu, juga ketika situasi sangat kritis dan tampak hanya butuh tindakan saja. Kesalehan tidak akan mengurangi perjuangan melawan kemiskinan sesama, betapapun gawatnya. Contohnya Beata Ibu Teresa dari Kalkuta. (DCE 36)

Precatio veluti instrumentum unde a Christo usque rursus vis hauritur, omnino certa hic fit necessitas. Qui orat suum tempus non amittit, etiamsi condicio quaedam in discrimine versatur atque ad agendum tantum compellere videtur. Adversus paupertatem vel etiam contra proximi indigentiam contentionem non extenuat pietas. Beata Teresia Calcuttentis clarissimum exhibet exemplum, quod tempus Deo in precatione dicatum non modo ipsi amoris in proximum actioni non officit neque eius efficientiae, sed contra inexhausta eius est scaturigo.

Orang Kristen pendoa tidak menganggap diri mampu mengubah rencana Allah dan memperbaiki ketetapkan-Nya. Sebaliknya, ia mau menjumpai Bapa Yesus Kristus, memohon agar Allah hadir dalam Roh membimbing dirinya dan pekerjaannya. Pertemuan dengan Allah dan sikap berserah-diri pada kehendak-Nya dalam doa mencegah rasa tak berdaya dan menjauhkan orang dari cengkaman fanatisme dan kecemasan. (DCE 37)

Ut patet, qui precatur christianus Dei consilia immutare vel quae Deus praevidit emendare non praesumit. Ipse potius studet, Iesu Christi Patrem convenire ab eoque petere ut per sui Spiritus solacium in illo eiusque opera adsit. Cum Deo personali conversatio eiusque voluntati deditio tantummodo impediunt quominus prolabatur homo et eum a fanatici furoris terrorumque opinationibus avertunt.

Sikap keagamaan yang benar niscaya jauh dari sikap mengadili Allah, menuduh Dia membiarkan kemiskinan dan tidak murah hati pada mahluk-Nya. Jika orang mau cari perkara pada Allah, lalu pada siapa ia akan bergantung ketika tindakan manusia juga terbukti tidak berdaya? Namun seperti Ayub kita memang berhak mengeluh pada Allah atas adanya penderitaan yang tampaknya tidak adil dan sulit dimengerti di dunia (Ayb 23:3.5-6.15-16). (DCE 37, 38)

Vere religiosa mens vitat ne Dei iudicem se praebeat homo, eundem insimulans egestatem permittere, suis creaturis haud parcentem. At quicumque audet adversus Deum contendere hominum extollendis commoditatibus, in quo ipse niti potest cum humana actio irrita evadit? Procul dubio de Deo propter dolores in mundo praesentes, conqueri potest Iob, qui intellegi probarique, ut videtur, nequeunt. ( Iob 23, 3.5-6.15-16).

Sering kita tidak mengerti mengapa Allah tidak turun tangan. “Allah-Ku, ya Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Mat 27:46). Kita tentu mengajukan banyak pertanyaan dalam dialog penuh doa di hadapan-Nya: “Berapa lamakah lagi, ya Penguasa yang kudus dan benar?” (Why 6:10). Santo Agustinus memberikan jawaban iman atas penderitaan kita: “Jika kamu memahami Dia, maka Dia bukan Allah” (St Agustinus, Sermo 52, 16). DCE 38

Non datur saepe nobis copia rationem cognoscendi, qua suum brachium inhibit Deus potius quam agat. Ceterum ne ipse quidem obstat quominus nos, sicut Iesus in cruce, clamemus: « Deus meus, Deus meus, ut quid dereliquisti me? » (Mt 27, 46). Consistere nos oporteat hac cum interrogatione eius ante vultum et orantes colloqui: « Usquequo, Domine, sanctus et verus » (Apc 6, 10) cunctaris? Sanctus Augustinus ipse nostro huic dolori responsionem fidei praebet: « Si comprehendis, non est Deus » (Cfr. St Augustine, Sermo 52, 16: PL 38, 360)

Kita tidak hendak menantang Allah, atau menuduh Dia keliru, lemah atau acuh-tak-acuh. Kaum beriman tidak akan membayangkan Allah kurang kuasa atau bahwa “barangkali ia tidur” (1Raj 18:27). Sebaliknya, seruan kita, seperti seruan Yesus di Salib, adalah justru cara yang terdalam dan paling radikal untuk mengukuhkan iman kita atas kemahakuasaan-Nya. (DCE 38)

Nos interpellantes, Deum lacessere nolumus, neque in eo errorem, debilitatem vel neglegentiam inesse innuere. Credens ipse eum esse impotentem vel dormire (cfr 1 Reg 18, 27) cogitare non potest. Immo verum est clamorem etiam nostrum, sicut in Iesu cruci affixi ore, esse extremum et modum perquam altum ut fidem nostram de eius absoluta potestate confirmemus.

Bahkan ketika bingung dan tidak mampu memahami dunia sekitar, umat Kristen tetap yakin pada “kemurahan dan kasih Allah” (Tit 3:4). Ditenggelamkan dalam kerumitan luarbiasa dan pusaran kejadian sejarah, umat Kristen tak tergoyahkan kepastian imannya, bahwa Allah adalah Bapa kita dan mengasihi kita, sekali pun Ia diam saja dan kita tak bisa memahami-Nya. (DCE 38)

Christiani namque, quamvis prorsus non comprehendant et confundantur in mundo circumiacente, de Dei bonitate eiusque in homines amore (cfr Tit 3, 4) credere pergunt. Ii, licet, quemadmodum ceteri homines, gravissimis et orbis circumiacentis vicissitudinibus implicatis teneantur, in illa certitudine firmi manent, Deum esse patrem eumque nos amare, etsi eius silentium nos intellegere nequeamus.

Iman, harapan dan kasih berjalan bersama. Harapan dilaksanakan dengan kesabaran, tetap berbuat baik kendati mungkin gagal, dan dengan kerendahan hati, yang menerima misteri Allah dan tetap percaya kepada-Nya sekalipun di masa kegelapan. Iman menyatakan bahwa Allah menyerahkan Putera-Nya untuk kita dan dengan itu ada kepastian bahwa sungguh: Allah adalah kasih! (DCE 39)

Fides, spes et caritas coniunguntur. Patientiae virtute re explicatur spes, quae in bono non deficit, ne ficte quidem exstante infelici rerum exitu, atque in humilitatis virtute, quae Dei mysterium suscipit et ei etiam in obscuritate confidit. Deum nobis ostendit fides, qui suum Filium tradidit pro nobis atque in nobis victricem certitudinem concitat illud omnino esse verum: Deus caritas est!

Iman mengubah ketidaksabaran dan keraguan kita menjadi harapan yang pasti bahwa Allah menguasai dunia di tangan-Nya, dan bahwa, seperti dilukiskan di akhir Kitab Wahyu, kendati segala kegelapan pada akhir-Nya Ia jaya dalam kemuliaan. (DCE 39)

Hac nimirum ratione ipsa nostram impatientiam nostraque dubia in certam spem convertit, Deum mundum suis manibus tenere et eum praeter cunctas obscuritates vincere, sicut per moventes imagines denique mirabilem in modum Apocalypsis demonstrat.

Iman, yang melihat kasih Allah melalui hati Yesus yang tertusuk di Salib, telah membangkitkan kasih pula. Kasih adalah terang –satu-satunya terang – yang selalu menyinari dunia yang semakin gelap dan memberi kita keberanian untuk tetap hidup dan bekerja. Kasih adalah niscaya, dan kita mampu melaksanakannya karena kita diciptakan dalam citra Allah yang adalah kasih. (DCE 39)

Fides, quae Dei amoris sibi fit conscia revelati usque ad Iesu cor in cruce perfossum, amorem vicissim concitat. Lux est — unica tandem — quae renovato usque modo obscurum orbem illuminat animumque ad vivendum et operandum addit. Amor esse potest nosque eum colere possumus, quandoquidem Dei sumus ad imaginem creati.

Di gerbang kota Amiens, Martinus memberikan separoh jubahnya pada seorang miskin. Pada malamnya Yesus sendiri menampakkan diri padanya mengenakan separoh jubahnya itu, menegaskan berlakunya Injil; “Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian… apa saja yang kamu lakukan untuk salah seorang dari yang paling hina ini, kamu lakukan juga untuk Aku” (Mat 25:36.40) (Sulpicius Severus, Vita Sancti Martini, 3, 1-3). (DCE 40)

Tendit cogitatio nominatim ad Martinum Turonensem († 397), prius militem, deinde monachum atque episcopum: tamquam simulacrum demonstrat ille necessarium momentum testificationis singularis caritatis. Ad urbis enim Ambianensis ianuas dimidiam pallii sui Martinus partem cum paupere homine dividit: noctu vero Iesus ipse in somnis eodem pallio vestitus ei comparet ut perpetuam efficacitatem verbi evangelici confirmet: « Eram... nudus et operuistis me... Quamdiu fecistis uni de his fratribus meis minimis, mihi fecistis » (Mt 25, 36.40). (Sulpicius Severus, Vita Sancti Martini, 3, 1-3: SCh 133, 256-258)

St Antonius, Abbas (wafat 356), mengungkapkan pelayanan amal kasih yang luar biasa pada sesama. Dalam “bertatap muka” dengan Allah yang adalah Kasih, rahib itu merasakan desakan keras untuk mengubah seluruh hidupnya menjadi pelayanan pada sesama, selain melayani Allah. Ini menjelaskan tekanan besar pada keramahtamahan, jadi tempat mengungsi dan merawat orang-orang yang sakit di sekitar biara. (DCE 40)

Praesertim vero totus motus monasticus, iam inde suis a primis initiis cum sancto Antonio abbate († 356) immensum declarat caritatis ministerium erga proximum. In ipso congressu « facie ad faciem » illo cum Deo qui Amor est, necessitatem animadvertit monachus instantem ut totam suam vitam in adiumentum proximi praeter Deum ipsum transformet. Sic enim magnae hospitalitatis structurae explicantur nec non refugii et curae quae iuxta coenobia sunt ortae.

Tokoh-tokoh kudus seperti Fransiskus Asisi, Ignatius Loyola, Yohanes dari Allah, Camillus dari Lellis, Vincentius a Paulo, Louis de Marillac, Giuseppe B. Cottolengo, Yohanes Bosko, Luigi Orione, Teresa dari Kalkuta, misalnya – tetap menjadi teladan amal kasih sosial untuk semua orang yang berkehendak baik. Para kudus adalah pembawa terang sejati dalam sejarah. (DCE 40)

Personae Sanctorum quales sunt: Franciscus Assisiensis, Ignatius de Loyola, Ioannes a Deo, Camillus de Lellis, Vincentius de Paul, Ludovica de Marillac, Iosephus B. Cottolengo, Ioannes Bosco, Aloisius Orione, Teresia Calcuttensis — ut quorundam dumtaxat memorentur nomina — exemplaria caritatis socialis permanent illustria omnibus bonae voluntatis hominibus.

Yang paling utama adalah Maria. Maria melakukan pelayanan kasih pada Elisabet, dan tinggal bersama dia “kira-kira tiga bulan” (Luk 1:56), menolong tahap akhir kehamilannya. “Hatiku bergembira karena Allah” (Luk 1:46). Di sini ia menyatakan program hidupnya: tidak ambil tempat di tengah, yang diperuntukkan hanya bagi Allah yang dijumpai dengan doa dan dengan pelayanan pada sesama. (DCE 41)

Inter sanctos eminet Maria, Domini Mater, omnisque sanctimoniae speculum. In Lucae Evangelio eam deprehendimus in ministerium caritatis incumbentem pro consobrina Elisabeth, apud quam « quasi mensibus tribus » (1, 56) morabatur ut extremo gravitatis tempore ei adsisteret. « Magnificat anima mea Dominum » (Lc 1, 46) dicit huius visitationis tempore, iisque vocibus totae vitae suae propositum explicat: ne videlicet sese in medio collocet, sed Deo locum cedat quem in precatione convenit sicut etiam in proximi ministerio — tunc solummodo mundus bonus fit.

Keutamaan Maria justru karena ia hendak memuliakan Allah, bukan dirinya sendiri. Ia mengakui kerendahannya: ia ingin menjadi hamba Allah (bdk Luk 1:38.48). Ia tahu, begitulah caranya ia akan bekerja bagi keselamatan dunia, dengan berserah diri pada prakarsa Allah. (DCE 41)

Maria prorsus antecellit eo quod se non vult magnam facere, sed Deum. Humilis est eaque nihil aliud esse vult quam ancilla Domini (cfr Lc 1, 38.48). Novit ipsa, solummodo non suam operam gerendo, at se agenti Deo prorsus dicando, mundi salutem se iuvare.

Santa Maria, Bunda Allah, engkau berikan terang sejati pada dunia Yesus, Puteramu – Putera Allah.
Engkau berserah diri pada panggilan Allah dan menjadi sumber kemurahan yang melimpah dari Dia. Tunjukkan pada kami Yesus. Bimbing kami pada-Nya. Ajari kami mengenal dan mengasihi Dia,
agar kami juga jadi mampu mengasihi dengan sungguh Dan menjadi sumber-sumber air hidup, di tengah-tengah dunia yang haus. (DCE 42)

« Sancta Maria, Mater Dei,
veram mundo dedisti lucem,
Iesum, Filium tuum – Dei Filium.
Penitus te Deo vocanti tradidisti
atque ita scaturigo facta es
bonitatis, quae ex eo manat.
Iesum nobis monstra. Ad eum nos dirige.
Doce nos eum cognoscere eumque amare,
ut nos pariter
evadere veri amoris possimus capaces
atque sitienti coram mundo
aquae vitae reperiamur fontes.

Jumat, 17 Juni 2011

Deus Caritas Est (Allah Adalah Kasih) Bagian II -- (Angsuran Pertama)

Ensiklik I Paus Benediktus XVI
Tahun 2005
Diterjemahkan FX Bambang Kussriyanto


(Kumpluan excerpts di bawah ini pernah diposkan dalam Akun Facebook Bambang Kuss; untuk menyesuaikan ketentuan posting maksimum 420 karakter, sebagian excerpts tidak mengikuti terjemahan harfiah, tapi tidak menyimpang dari maksud aslinya. Itu dapat dikaji dalam perbandingan dengan Teks Latin di bawahnya)



Kita telah memandang Dia yang tertusuk tombak di Salib (bdk Yoh 19:37; Za 12:10), mengenali rencana Bapa yang karena kasih (bdk Yoh 3:16) mengutus Anak-Nya yang tunggal ke dunia menebus manusia.(DCE 19)

Oculos nostros defigere potuimus in Crucifixo (cfr Io 19, 37; Zach 12, 10), agnoscentes Patris consilium qui, amore permotus (cfr Io 3, 16), in mundum misit unigenitum Filium hominem ut redimeret.

Dengan wafat di Salib – seperti dikatakan St Yohanes – Yesus “menyerahkan nyawa-Nya” (Yoh 19:30), mendahului pemberian Roh Kudus yang dilakukan-Nya setelah Kebangkitan (bdk Yoh 20:22). Ini adalah pemenuhan janji tentang “aliran-aliran air hidup” yang akan melimpah keluar dari hati kaum beriman, melalui pencurahan Roh Kudus (bdk Yoh 7:38-39). (DCE 19)

In cruce emoriens Iesus — quemadmodum evangelista refert — « emisit spiritum » (cfr Io 19, 30), praenuntium illius Spiritus Sancti doni quod post resurrectionem ipse erat tributurus (cfr Io 20, 22). Sic futurum erat ut promissio « aquae vivae fluminum » compleretur, quae propter effusum Spiritum fluctura erant ex credentium cordibus (cfr Io 7, 38-39).

Roh Kudus bekerja dalam batin menyelaraskan hati kaum beriman dengan hati Kristus dan menggerakkan mereka agar mengasihi para saudara mereka seperti Kristus mengasihi para murid, ketika Ia membungkuk mencuci kaki para murid (bdk Yoh 13:1-13) dan terutama ketika Ia menyerahkan nyawa-Nya demi kita (bdk Yoh 13:1; 15:13).

Est enim Spiritus interior illa potestas quae eorum corda cum Christi corde conciliat eosque permovet ut fratres et illi ament, sicut ipse eos amavit cum pedes discipulorum abluturus (cfr Io 13, 1-13) sese inclinavisset et in primis cum suam vitam pro omnibus donasset (cfr 13, 1; 15, 13).

Seluruh karya Gereja adalah ungkapan kasih yang mengusahakan kesejahteraan total manusia: menyebarkan kabar gembira melalui Sabda dan sakramen,…; upaya memajukan manusia di pelbagai bidang hidup dan kegiatannya. Kasih merupakan pelayanan yang dilaksanakan Gereja untuk senantiasa memerhatikan penderitaan dan kebutuhan manusia, termasuk kebutuhan material. (DCE 19)

Omnis Ecclesiae opera amoris est declaratio qui totum hominis bonum conquirit: eius nempe evangelizationem quaerit per Verbum ac Sacramenta, quod opus totiens suis in actibus historicis fuit revera heroicum; progressionem eius inquirit variis etiam in vitae industriaeque humanae condicionibus. Quapropter ministerium amor est quod Ecclesia exsequitur ut perpetuo doloribus ac necessitatibus, etiam corporeis, hominum occurrat.

Kamis, 16 Juni 2011

Deus Caritas Est (Allah Adalah Kasih) Bagian I

Ensiklik Paus Benediktus XVI
Tahun 2005
Terjemahan FX Bambang Kussriyanto


Bagian Pertama
Kesatuan Kasih
Dalam Penciptaan dan Sejarah Keselamatan

Persoalan Bahasa
2. Kasih Allah pada kita adalah dasar hidup kita. Darinya muncul pertanyaan-pertanyaan penting mengenai siapa Allah dan juga siapa kita. Dalam merenungkannya, kita segera menemui hambatan bahasa. Dewasa ini kata kasih atau cinta sudah menjadi salah satu di antara kata-kata yang paling sering digunakan dan disalah-gunakan, suatu kata yang ditafsirkan dengan beberapa makna yang berlain-lainan. Walaupun Ensiklik ini terutama berhubungan dengan pengertian dan praktek kasih dalam Kitab Suci dan dalam Tradisi Gereja, namun kita tidak dapat begitu saja menyerahkan makna kata kasih itu pada berbagai kebudayaan yang berbeda-beda dan dalam penggunaannya sekarang.

Pertama-tama marilah kita lihat berbagai makna yang luas dari kata “kasih” atau “cinta”. Kita bicara tentang cinta negara, cinta profesi tertentu, cinta persahabatan, cinta kerja, cinta antara orangtua dan anak-anak, cinta antar anggota keluarga, kasih pada sesama dan kasih pada Allah. Namun di antara aneka makna kasih atau cinta ini ada satu hal yang terus membayang: cinta di antara laki-laki dan perempuan, di mana tubuh dan jiwa disatukan tak terpisahkan dan manusia menengok pada suatu janji bahagia yang tampaknya tak dapat ditolak. Kiranya inilah inti yang sebenarnya dari kasih atau cinta; jika dibandingkan dengannya, semua jenis cinta yang lain menjadi lebih suram. Maka kita bertanya: apakah semua bentuk kasih pada dasarnya satu saja, sehingga kendati aneka wujud dan variasinya tetap merupakan kenyataan yang tunggal. Atau, apakah kita menggunakan satu kata saja untuk aneka kenyataan yang sungguh berbeda-beda?

“Eros” dan “Agape”: perbedaan dan kesatuan
3. Cinta di antara laki-laki dan perempuan yang tanpa direncana dan tidak terduga datang begitu saja pada manusia oleh orang Yunani kuno disebut eros. Segera kita perhatikan bahwa Kitab Suci Perjanjian Lama berbahasa Yunani menggunakan kata eros hanya dua kali, sedang Kitab Suci Perjanjian Baru sama sekali tidak menggunakan kata eros. Di antara tiga kata Yunani untuk cinta, yaitu eros, philia (cinta persahabatan) dan agape, para penulis Perjanjian Baru lebih memilih kata agape, yang malah jarang digunakan dalam bahasa Yunani. Sedangkan kata philia, cinta persahabatan, digunakan dengan tambahan arti yang dalam untuk mengungkapkan hubungan di antara Yesus dan para murid-Nya dalam Injil Yohanes. Kecenderungan menghindari kata eros dan pandangan baru atas kasih yang diungkapkan dengan kata agape jelas menunjukkan sesuatu yang baru dan lain sekali dalam pemahaman Kristen akan cinta atau kasih. Di dalam kajian kritis atas Kekristenan yang berawal dari zaman Pencerahan dan dengan cepat bertambah semakin radikal, unsur baru ini terlihat sebagai sesuatu yang negatif seluruhnya. Menurut Friedrich Nietzsche, Kekristenan telah meracuni eros, sebab kemudian untuk sebagian walau tidak seluruhnya, kata eros berangsur-angsur merosot nilainya menjadi sesuatu yang buruk (bdk. Friedrich Nietzsche, Jenseits von Gut und Böse, IV, 168). Di sini filsuf Jerman itu menyatakan pandangan khalayak luas: bukankah Gereja, dengan semua perintah dan larangannya memutarbalikkan hal yang paling berharga dalam hidup menjadi kepahitan? Bukankah Gereja menganggap sukacita yang dikaruniakan Sang Pencipta dan yang memberikan kebahagiaan pada kita, yang adalah cicipan keilahian, sebagai sesuatu yang berbahaya?

Deus Caritas Est (Allah Adalah Kasih)

Ensiklik (1) Paus Benediktus XVI
Tahun 2005
Terjemahan: FX Bambang Kussriyanto


Pendahuluan

1. “Allah adalah kasih, barangsiapa berada dalam kasih berada dalam Allah dan Allah berada dalam dia” (1Yoh 4:16). Kata-kata dari Surat Pertama St Yohanes ini menyatakan dengan sangat jelas inti dari iman Kristen: yaitu gambaran Kristen mengenai Allah, dan darinya, gambaran tentang manusia dan tujuan akhirnya. Dalam kalimat yang sama terlebih dahulu St Yohanes juga memberikan kepada kita ikhtisar singkat tentang hidup Kristen: “Kita telah mengenal dan percaya akan kasih Allah kepada kita”.

Kita percaya akan kasih Allah kepada kita, dengan kata-kata ini umat Kristen dapat menyatakan keputusan dasar untuk hidupnya. Pada awalnya, menjadi Kristen bukanlah hasil suatu keinginan etis atau pilihan gagasan yang tepat, melainkan perjumpaan dengan peristiwa, dengan pribadi, yang memberikan kepada hidup ini suatu cakrawala baru atau petunjuk arah yang menentukan. Injil St Yohanes melukiskan peristiwa itu begini: “Allah begitu kasih pada dunia sehingga Ia memberikan putera-Nya yang tunggal, agar barangsiapa percaya kepada-Nya mendapat…. hidup kekal” (Yoh 3:16). Dalam mengakui nilai sentral dari kasih, iman Kristen memertahankan inti iman Israel, sekaligus menambahkan dimensi baru yang dalam dan luas. Orang Yahudi yang saleh setiap hari mendoakan kata-kata Kitab Ulangan yang menyatakan inti hidupnya: “Dengarlah, hai Israel! Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu esa. Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dengan seluruh jiwamu dan dengan seluruh tenagamu” (Ul 6:4-5). Yesus menyatukan dalam perintah mengasihi Tuhan ini perintah untuk mengasihi sesama yang terdapat dalam Kitab Imamat “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Im 19:18; bdk Mrk 12:29-31). Karena Allah lebih dulu mengasihi kita (bdk 1Yoh 4:10), kasih bukan lagi semata-mata perintah, tetapi tanggapan kita pada karunia kasih yang mendekatkan Allah kepada kita.

Dalam suatu dunia di mana tidak jarang nama Allah dikaitkan dengan pembalasan dendam bahkan dengan kebencian dan kekerasan, pesan di atas sungguh tepat dan tentu amat signifikan di masa sekarang. Karena itu, dalam surat Ensiklik yang pertama ini kami ingin berbicara tentang kasih yang dicurahkan Allah kepada kita dan yang selanjutnya harus kita bagikan kepada sesama. Itulah inti bahasan Ensiklik ini yang terdiri dari dua bagian besar, yang saling berkaitan. Bagian yang pertama lebih bersifat permenungan tentang kasih, sebab pada permulaan masa kepausan kami, kami ingin menjelaskan beberapa fakta pokok mengenai kasih yang diberikan Allah kepada manusia dengan rahasia dan bebas, bersama dengan ikatan intrinsik yang terdapat pada Kasih ilahi ini dengan realitas kasih insani. Bagian yang kedua bersifat lebih konkret karena berkenaan dengan kewajiban Gereja melaksanakan kasih pada sesama. Bahasan ini mempunyai implikasi yang luas, sebab pada akhirnya lingkup pelaksanaan kasih akan melampaui lingkup Ensiklik ini sendiri. Kami hendak menekankan beberapa unsur dasar sedemikian agar dunia memperbarui daya dan komitmen di dalam tanggapan insani pada kasih Allah itu.