Senin, 18 Oktober 2010

Tentang St Lukas, Pengarang Injil

Nama Lukas boleh jadi singkatan dari Lukanus, seperti Annas dari Ananus, Apollos dari Apollinius, Artemas dari Artemidorus, Demas dari Demetrius. Santo Lukas teman Santo Paulus (2 Tim 4:11; Flm 24). Ia seorang Kristen bukan Yahudi (Kol 4:11) yang dalam tradisi Kristen dihormati sebagai pengarang Injil yang ketiga dan lanjutannya, kitab Kisah Para Rasul. Ia mungkin dilahirkan di Antiokhia. Sejarawan Eusebius menyatakan: Loukas de to men genos on ton ap Antiocheias, ten episteuen iatros, ta pleista suggegonos to Paulo, kai rots laipois de ou parergos ton apostolon homilnkos--" Lucas vero domo Antiochenus, arte medicus, qui et cum Paulo diu conjunctissime vixit, et cum reliquis Apostolis studiose versatus est. Hist Eccl 3.4.6). Pernyataan Eusebius bahkan lebih tegas dalam "Quæstiones Evangelicæ", 4, 1, 270: ho de Loukas to men genos apo tes Boomenes Antiocheias en-- “Lukas berdasarkan kelahirannya asli berasal dari Antiokhia” Maka ia sangat mengenal Antiokhia (Kis 11:19-27; 13:1; 14:18-21, 14:25, 15:22, 23, 30, 35; 18:22). Paulus menyebut dia sebagai “tabib Lukas yang kekasih” (Kol 4:14). Pendidikannya sebagai tabib tercermin dalam kitab-kitab Perjanjian Baru yang dianggap karangannya, yang menggunakan kosa-kata ketabiban dan gaya bahasa Yunani yang mahir dan pilihan kata yang sangat bagus, buah dari pendidikan klasik yang biasanya diberikan di sekolah ketabiban.
Ada yang mengira Lukas salah seorang dari ketujuh puluh murid Yesus (lih Luk 10:1-12), tetapi kiranya dugaan itu keliru. Lukas juga bukan teman perjalanan Klopas ke Emaus setelah Kebangkitan (lih Luk 24:13-35). Lukas sangat mengenal Kitab Suci Septuaginta dan berbagai adat Yahudi, mungkin karena ia pernah menjadi calon pengikut agama Yahudi (menurut St Hieronimus), atau sesudah ia menjadi Kristen dan bergaul akrab dengan para rasul dan murid-murid lainnya. Selain bahasa Yunani, Lukas menguasai bahasa Aram di tanah kelahirannya Antiokhia, ibukota Siria. Ia seorang tabib (Kol 4:14).
Paulus mencatat kehadiran Lukas sebagai teman perjalanannya pada tiga kesempatan, dalam Kol 4:14, 2 Tim 4:11 dan Flm 24. Dalam 2 Tim, Paulus menulis bahwa “hanya Lukas saja yang menyertai aku”. Bahwa Lukas bersama dengan Paulus di Makedonia dan di Roma dikuatkan oleh ayat-ayat dalam Kisah Para Rasul di mana dia, sebagai pengarang, mengganti cara menulis dari menggunakan subyek orang ketiga dengan subyek orang pertama jamak, “kami” (Kis 16:10-17; 20:5-21:18; 27:1-18:16).
Berdasarkan perubahan gaya penceritaan kitab Kisah Para Rasul itu disimpulkan bahwa Lukas mula-mula muncul dalam Kisah Para Rasul (16:10 dst) setelah ia berjumpa dengan Paulus di Troas, dan sesudah penglihatan yang dialami Paulus (Kis 16:8-9). Ia ikut menyeberang ke Eropa (di bagian Makedonia) sebagai pewarta Injil, tiba di Neapolis dan melanjutkan perjalanan ke Filipi. "Kami menarik kesimpulan, bahwa Allah telah memanggil kami untuk memberitakan Injil kepada orang-orang di sana”. Maka ia berada di Filipi sudah sebagai pewarta Injil. Ia hadir dalam peristiwa pertobatan Lidia dan seisi rumahnya dan menumpang di rumah wanita itu (Kis 16:15). Ia menyaksikan Paulus dan Silas ditangkap, diajukan ke hadapan penguasa Romawi, dituduh mengacau kota, dipukuli dan dimasukkan penjara. Lukas dan Timoteus selamat karena tidak mirip orang Yahudi. Ketika Paulus meninggalkan Filipi, Lukas ditinggal dan melanjutkan karya pewartaan Injil. Di Tesalonika Paulus menerima bantuan uang yang sangat dihargai (Flp 4:15-16) yang tentunya berkat usaha Lukas. Kiranya ia terus berada di Filipi selama Paulus bekerja di Atena dan Korintus, pulang ke Yerusalem dan kembali lagi ke Efesus, dan selama tiga tahun Paulus sibuk di Efesus. Ketika Paulus berkunjung ke Makedonia lagi, ia bertemu dengan Lukas di Filipi dan di sana menulis surat kedua untuk jemaat Korintus.
Hieronimus menduga Lukaslah yang disebut dalam 2 Kor 8:18. Dia juga yang mengantar surat itu ke Korintus. Tak lama kemudian ketika Paulus kembali dari Yunani, Lukas menemani dia dari Flipi ke Troas, dan melakukan pelayaran panjang seperti yang diceritakan dalam Kis 20. Ia pergi ke Yerusalem, hadir ketika terjadi huru-hara, melihat Paulus diserang, mendengarkan Paulus bicara dalam bahasa Ibrani dari undakan di luar benteng Antonia untuk menenangkan massa. Lalu ia menyaksikan orang Yahudi semakin marah, melemparkan jubah mereka, berseru-seru, menebar debu di udara. Ia mungkin tamu tetap bagi Paulus selama di penjara Kaisarea (Kis 23:23-24:27). Pada waktu itu mungkin ia mengetahui situasi kematian Herodes Agrippa I yang tubuhnya dimakan cacing-cacing (skolekobrotos, bdk Kis 12:23), dan ia lebih tahu tentang itu daripada sejarawan Flavius Josephus. Diduga pada masa itulah ia mulai menyusun Injil, juga diperkirakan bahwa Surat Ibrani ditulis pada masa itu dan Lukas punya peranan dalam penulisannya. Ketika Paulus naik banding kepada kaisar, Lukas dan Aristarkhus ikut serta berangkat dari Kaisarea, berlayar menentang badai dari Kreta menuju Malta (Kis 27L1-28:1). Dari sana mereka menuju Roma (Kis 28:15), dan selama dua tahun Paulus dipenjarakan di kota itu (Kis 28:30), Lukas sering mendampinginya, walau tidak terus menerus karena tidak disebut dalam surat Filipi. Ia disebut ketika surat-surat Kolose, Efesus and Filemon ditulis (Kol 4:14; Flm. 24). Hieronimus menduga pada masa inilah Kis ditulis.
Bahwa Lukas menyertai Paulus pada waktu ia dipenjarakan terakhir kalinya di Roma dikatakan dalam 2 Tim 4:7-11. Di tiga tempat lain namanya disebut bersama Markus (Kol 4:14; Flm 24; 2 Tim 4:11), pengarang Injil (bdk. Kol 4:10), dan dari Injilnya jelas Lukas mengenal Injil Markus; dan dalam Kis ia tahu semua detil bebasnya Petrus – apa yang terjadi di rumah ibunda Markus, nama gadis yang membukakan pintu untuk Petrus (Kis 12:1-9). Ia pasti sering bertemu dengan Petrus dan membantunya menyusun Surat Petrus yang pertama dalam bahasa Yunani yang mengandung ciri-ciri Lukas. Sesudah Paulus mati sebagai martir apa yang selanjutnya diketahui tentang Lukas terekam dalam buku kuno Prefatio vel Argumentum Lucæ, dari Julius Africanus, yang lahir sekitar A.D. 165. Dikatakan bahwa Lukas tidak menikah, menulis Injil, berada di Akaya, mati pada usia 74 tahun di Boetia, penuh Roh Kudus.. Epifanius menyatakan bahwa Lukas mengajar di Dalmatia (ada tradisi tentang itu), Gallia (Galatia?), Italia, dan Makedonia. Tidak jelas apakah ia mati sebagai martir. Hieronimus menulis tentang dia (De Vir. 3, 7), "Sepultus est Constantinopoli, ad quam urbem vigesimo Constantii anno, ossa ejus cum reliquiis Andreæ Apostoli translata sunt [de Achaia?]." Sisa-sisa jenasahnya dipindahkan ke Konstantinopel oleh Kaisar Konstantius II pada tahun yang sama dengan pemindahan sisa jenasah Rasul Andreas ke kota itu (dari Akaya?).
Lukas dihormati sebagai orang kudus pelindung para dokter dan pelukis. Ia disebut pelukis dalam Menologion dari Basilius II (tahun 980) dan oleh Nikeforus Kalistus pada abad keempatbelas. Di abad pertengahan Lukas diyakini melukis gambar Santa Perawan Maria yang disimpan di gereja Santa Maria Maggiore, Roma. Para ahli sejarah kebanyakan menduga Lukisan Sang Perawan berasal dari masa yang lebih kemudian (th 847); mungkin suatu tiruan dari lukisan yang disebutkan Teodore Lector dalam abad keenam. Bahwa Lukas seorang pelukis disimpulkan dari gambaran kata-katanya mengenai Kabar Sukacita, Kunjungan Maria pada Elisabet, Kelahiran Yesus, Gembala dan domba yang hilang, yang banyak memberikan inspirasi kepada para pelukis kristen.
Lukas dalam tradisi dilambangkan sebagai seekor sapi jantan, lambang korban liturgis, yang dikaitkan dengan adegan awal Injilnya mengenai imam Zakharia di Bait Allah (Luk 1:5-25), dan dipestakan setiap 18 Oktober.
Tulisan-tulisan Lukas meliputi sekitar seperempat dari Perjanjian Baru. Injil Lukas dan Kisah Para Rasul panjangnya sama dengan ketiga belas surat Paulus, dan Kisah Para Rasul saja sudah lebih panjang daripada ketujuh Surat Katolik dan kitab Wahyu. Pelukis Renan menyatakan bahwa Injil Lukas juga yang paling indah dari segi sastra dari keempat Injil lainnya (Renan, Les Evangiles, 13), sehingga ia disebut seorang pelukis yang menggunakan medium kata-kata, dan gaya bahasa Yunaninya dianggap yang paling unggul dari tulisan-tulisan Perjanjian Baru selain Surat Ibrani. Kosa katanya sangat kaya dan tata-bahasanya tiada cela sama sekali.

Kitab Injil Lukas
Injil Lukas merupakan kitab ketiga dalam Perjanjian Baru dan termasuk salah satu dari ketiga Injil Sinoptik. Injil Lukas ditulis untuk umat Kristen dari bangsa bukan Yahudi dan terkenal karena temanya mengenai universalitas, yang menekankan bahwa Injil adalah untuk segala bangsa, terutama kaum miskin dan para pendosa. Lukas mempersembahkan Injil ini kepada Teofilus, seorang yang baru menjadi Kristen, yang kepadanya juga Lukas mempersembahkan Kisah Para Rasul (Kis 1:1). Lukas mengemukakan tujuannya: “aku mengambil keputusan untuk membukukannya dengan teratur bagimu, supaya engkau dapat mengetahui, bahwa segala sesuatu yang diajarkan kepadamu sungguh benar.” (Luk 1:1-4)
Injil ini unik dalam dua hal. Pertama injil ini adalah satu-satunya injil yang ditulis oleh seorang yang bukan Yahudi, sementara para penulis Injil yang lain (dan para penulis Perjanjian Baru lainnya) adalah orang Yahudi. Yang kedua, Injil Lukas adalah satu-satunya kitab Perjanjian Baru yang pertama yang terdiri dari dua bagian, di mana bagian yang kedua kemudian dipisahkan menjadi kitab Kisah Para Rasul. Dengan demikian Injil Lukas perlu dikaji dengan kelanjutannya yaitu Kisah Para Rasul, dan jika digabungkan, maka keduanya mendokumen-tasikan kemajuan Injil yang tetap dari Nazaret ke Yerusalem, di mana tugas penyelamatan Yesus mencapai puncaknya dan di mana Gereja didirikan; dan kemudian dari Yerusalem sampai ke Roma.

Lukas sebagai Pengarang Injil Ketiga
Status Lukas sebagai pengarang Injil ketiga dikuatkan oleh tradisi yang diungkapkan oleh Kanon Murata, Tertulianus, St Ireneus dan Origenes (dalam abad kedua M), dan St Hieronimus dan Eusebius dari Kaisarea (dalam abad keempat M). Lukas dianggap penulis Kisah Para rasul berdasarkan gaya penceritaannya (Kis 16:10) dan rujukannya pada Injil (Kis 1:1). Kisah Para Rasul menurut Prolog Anti-Golongan Marcion, ditulis di daerah Akaya, suatu Provinsi Roma di Yunani selatan.
St Ireneus dari Lyon menyatakan bahwa “Lukas, yang menyertai Paulus, menuliskan dalam suatu kitab Injil yang diwartakannya.” Demikian pulalah kesaksian yang disampaikan Origenes; Eusebius, Athanasius, Gregorius Nazianze, dan Hieronimus.
Ciri pribadi Lukas sebagai tabib mewarnai Injilnya di beberapa tempat. Pada tahun 1882 Dr. Hobart menerbitkan sebuah buku, The Medical Language of St. Luke (Dublin, 1882), yang menunjukkan pemakaian bahasa teknis ketabiban yang juga digunakan oleh penulis soal ketabiban Yunani, Hippocrates, Arctæus, Galen, dan Dioscorides, misalnya kata παραλελυμἐνος, atau orang lumpuh Luk 5:18, 24 (Injil-injil yang lain menggunakan kata παραλύτικος); συνεχομένη πυρετῷ μεγαλλῳ atau demam keras Luk 4 :38; ἔστη ἡ ῥύσις τοῦ ἅιματος atau pendarahan 8 :44 (bdk. Mat. 5 :29) ; ἀνεκάθισεν, rasa iba, atau belas kasihan Luk 7 :14. Lukas dengan cermat membedakan pembebasan kerasukan setan dari penyembuhan penyakit, Luk 4:18; 13: 32; ia menyatakan dengan tepat usia anak yang akan meninggal, Luk 8:42; dan lamanya penderitaan yang ditanggung dalam Luk 13:11. Hanya dia saja yang menyebutkan penyembuhan telinga Malkhus. Semua ini merujuk pada sebutan Paulus: “Lukas, tabib yang terkasih”.
Lukas juga menorehkan pemikiran Paulus, yang menunjukkan bahwa Injil ketiga ditulis oleh teman setia Paulus.
Selain itu ad keserupaan antara Injil ketiga dengan Kisah Para Rasul. Jika Lukas menulis Kisah maka tak pelak lagi dia jugalah yang menulis Injil ketiga. Pendapat umum ini dinyatakan oleh Knowling ketika memberi kata pengantar untuk Kisah dalam buku Expositor’s Greek Testament II p. 3: “Whoever wrote the Acts wrote also the Gospel which bears the name of Luke.” Memang benar ada lebih banyak warna Ibrani pada Injil ketiga daripada dalam Kisah, tetapi hal itu disebabkan karena ketika menyusun Injil Lukas bergantung kepada bahan-bahan tertulis Ibrani ketimbang ketika ia menulis Kisah.
Sejauh mana Paulus berperan pada penulisan Injil ketiga? Menurut Tertulianus: “Sari-sari ajaran Lukas mengikhtisarkan ajaran Paulus. Maka mudah sekali disimpulkan bahwa ajaran sang guru dipublikasikan oleh muridnya.” Menurut Eusebius: “Dalam Injilnya Lukas menyampaikan beberapa hal yang berasal dari Paulus karena hubungan mereka yang beitu akrab, dan hubungannya dengan rasul-rasul yang lain.” Hieronimus sepakat dengan gagasan ini. Tetapi Athanasius menyatakan bahwa Injil Lukas didiktekan oleh Paulus. Pendapat seperti ini mungkin untuk memberi bobot wewenng rasuli pada Injil ketiga. Namun kiranya peendapat seperti itu berlebihan. Hubungan Paulus dengan Injil ketiga justru lebh renggang jika dibndingkan dengan hubungan Petrus dengan Injil kedua (Markus). Lukas tidak begitu saja menuliskan apa yang diingatnya dari ajaran Paulus, karena ia sendiri “menyelidiki dengan seksama segala sesuatu dari awal mulanya” baik dari sumber lisan maupun tertulis. Di antara sumber lisan itu tentu saja khotbah-khotbah Paulus yang didengarnya. Bahwa rasul besar itu mempengaruhi Lukas sejak awal InjilNya sangat jelas. Ada 175 kata-kata ungkapan dalam Injil ketiga yang khas Paulus. Selain itu wawasan utama Paulus juga diketemukan dalam Injil ketiga, misalnya sifat universal Injil, pentingnya iman, dan penggunaan kata διακαιόω secara forensik, Luk 7:29; 10:29; 16:15; 18:14. Suatu kemiripan yang sangat menyolok terdapat dalam kisah penetapan Ekaristi, Luk 22:19-20. dan kenangan Paulus tentang hal itu dalam I Kor. 11: 23-25, namun mungkin saja ini berasal dari penggunaan sumber yang sama.
Kedudukan Lukas sebagai pengarang Injil ketiga diterima secara umum sampai pada abad kedelapan belas, ketika Rasionalisme menggugat kitab-kitab dalam Kitab Suci. Sekolah Tubingen, Jerman, terutama F.C. Baur menyatakan bahwa Injil Marcion, yang beredar di Roma dari tahun 140, adalah Injil yang asli. Pendapat Baur ini mendapat pengikut. Tetapi beberapa tahun kemudian, pendapat kritis berbalik sepenuhnya dan pada umumnya orang berpendapat bahwa Injil Marcion adalah hasil mutilasi Injil Lukas, sekalipun ada bagian-bagian yang sangat lain dan merupakan teks yang lebih tua. Maka orang kembali meyakini kepengarangan Lukas lagi, sekalipun masih ada beberapa sarjana Jerman yang meragukannya. Keberatan mereka lebih didasarkan pada kitab Kisah Para Rasul ketimbang pada Injil. Tetapi pendapat mereka berlaku pada Injil Lukas juga, karena bagaimanapun ada kesatuan antara Injil Lukas dan Kisah Para Rasul.

Waktu Penulisan
Waktu penulisan Injil Lukas tidak jelas. Menurut Eusebius, Klemen dari Aleksandria menerima tradisi dari para imam yang lebih kuno, bahwa “Injil-injil yang memuat Silsilah ditulis lebih dulu”. Menurut Teofilak Lukas menulis lima belas tahun sesudah Kristus naik ke surga. Eutimius sependapat dengan Teofilak, tetapi Eutikhius menduga Lukas menulis pada zaman Kaisar Nero. Berdasarkan kesaksian-kesaksian itu dugaan lama memperkirakan Injil Lukas disusun antara tahun 54 hingga sebelum Roma menaklukkan Yerusalem pada tahun 70 M. Secara lebih spesifik, waktu penulisan itu diperkirakan hingga awal tahun 60-an, terutama karena di dalam narasi sejarahnya, Kisah Para Rasul selesai sekitar tahun 62 M, pada waktu penahanan Paulus di Roma berakhir (Kis 28:14.30). Di dalam teks Injil Lukas maupun Kisah Para Rasul tidak ada petunjuk mengenai masa sesudah tahun ini. Namun para ahli yang kritis condong dengan dugaan bahwa kitab ini diselesaikan pada tahun 80-an, setidaknya karena kebanyakan ahli menyatakan bahwa Lukas menggunakan Injil Markus di dalam menyusun kisahnya. Karena Injil Markus diduga disusun tak lama sebelum atau sesudah tahun 70, dan dengan memperhitungkan waktu yang diperlukan Injil Markus untuk diperbanyak dan diedarkan, barulah Lukas menuliskan Injilnya.

Minggu, 17 Oktober 2010

Injil Lukas 12

A. Meninjau Seluruh Lukas 12
Konteks luas Lukas 12 masih perjalanan Yesus dari Galilea menuju Yerusalem dan kesempatan yang digunakan untuk membina para murid, atau melakukan pemuridan, baik dengan wacana maupun teladan. Pembinaan hati merupakan fokus sejak bab sebelumnya. Dalam Lukas 12 pembinaan hati masih berlanjut. Hati para murid dibina berangsur-angsur agar mempunyai kualitas tertentu. Misalnya, hati yang bebas dari rasa takut agar berani jujur (ay 1-7), hati yang terarah pada kebijaksanaan, kebenaran, yang berasal dari Allah berkat Roh Kudus (ay 8-12), hati yang cerdas yang condong pada kekayaan rohani yang tidak akan habis atau hilang (ay 13-21), hati yang tidak cemas karena percaya pada penyelenggaraan ilahi (ay 21-34), hati yang waspada berjaga-jaga dan konsisten untuk menyambut Tuhan yang datang sewaktu-waktu (ay 35-38), hati yang dengan cerdas berbuat kasih pada sesama yang lebih lemah kedudukannya, agar dapat mendapat pembelaan dalam pengadilan akhir dan bertahan setia (ay 39-48), hati yang tahu menentukan urgensi dalam hidup ini dan peka pada tanda-tanda zaman (ay 49-53), hati yang memahami berbagai konflik sebagai kesempatan untuk memilih dan setia pada pilihan itu demi hidup kekal (ay 54-59),

B. Bagian-bagian dari Lukas 12
1. Luk 12:1-7 [Renungan Harian, Jumat, Pekan Biasa 28]
2. Luk 12: 8-12 [Renungan Harian, Sabtu, Pekan Biasa 28]
3. Luk 12: 13-21 [Renungan Harian, Senin, Pekan Biasa 29. Untuk tahun 2010, berhubung bertepatan dengan 18 Okt, Pesta St Lukas, Pengarang Injil, diganti dengan Luk 10:1-9]
4. Luk 12: 21-34
5. Luk 12: 35-38 [Renungan Harian, Selasa, Pekan Biasa 29]
6. Luk 12: 39-48 [Renungan Harian, Rabu, Pekan Biasa 29]
7. Luk 12: 49-53 [Renungan Harian, Kamis, Pekan Biasa 29]
8. Luk 12: 54-59 [Renungan Harian, Jumat, Pekan Biasa 29]

Sabtu, 16 Oktober 2010

Anacleth Hitayezu : Un peu d'humour pour cloturer la semaine!!!

L'insertion couvre l'ensemble des rapports de la personne avec son environnement social. Être inséré signifie avoir une place, être assuré de positions sociales différenciées et reconnues (statut, rôles, etc.).

Le concept d'insertion est indissociable du concept de socialisation car pour être inséré, l’homme doit intérioriser un ensemble de valeurs, de normes, de règles communes. Il existe la socialisation primaire (au sein du cercle familial) et la socialisation secondaire (au sein de l’espace scolaire, professionnel et au fil des divers échanges avec autrui). Ces processus de socialisation permettent à l’individu de trouver sa place dans la société, d’être inséré socialement.

Selon l'IDRIS[1], l’insertion sociale est l'« action visant à faire évoluer un individu isolé ou marginal vers une situation caractérisée par des échanges satisfaisants avec son environnement. C’est aussi le résultat de cette action, qui s'évalue par la nature et la densité des échanges entre un individu et son environnement. »

Jean-Yves Barreyre[2] donne l’origine étymologique du mot « insérer » du latin in-sere, qui signifie « introduire dans ». Marc Loriol[3], pour sa part, cite Durkheim pour définir le concept d’insertion « un groupe ou une société sont intégrés quand leurs membres se sentent liés les uns aux autres par des croyances, des valeurs, des objectifs communs, le sentiment de participer à un même ensemble sans cesse renforcé par des interactions régulières ». L’insertion sociale revêt donc plusieurs dimensions, que ce soit au niveau professionnel, du logement, culturel ou encore de la santé.

Politiques d’intégration sociale en Europe.

Les sociétés modernes multiethniques et pluriculturelles sont le résultat de grandes migrations en cours encore aujourd’hui et qui, avec le temps, ont influencé la société dans de nombreux pays eur...opéens. L’Italie et la France ont été sûrement deux des nations d’Europe les plus soumises à la pression migratoire. Ces derniers ont interprété ce phénomène en partant de leurs racines les plus profondes, du concept même de l’Etat, en adoptant des politiques d’intégration adaptées aux institutions déjà existantes. La médiation culturelle adoptée durant ces années, a influencé ultérieurement le développement de la société multiethnique dans les deux pays, et s’est développée en réponse aux phénomènes migratoires.
Considérations générales

L’histoire de l’homme a toujours été caractérisé par les migrations de sa création jusqu’à aujourd’hui, en re-mélangeant complètement la géographie humaine de la planète, en nous faisant accéder au monde entier, ou m...ieux encore, en considérant notre planète comme un grand village où nous ne reconnaissons que les rues qui nous semblent principales.
Nous devons être préparés face à la société multiethnique et pluriculturelle, être capables d’en recueillir les beautés tout en étant vigilants de défendre notre «ethnie» et d’éviter de passer sur les valeurs fondamentales de notre société en utilisant des procédés d’intégration mal équilibrés et erronés.
C’est pour cette raison que le XXIème siècle s’ouvre avec la nécessité d’intégrer pacifiquement les «différents», n’importe où, à travers des politiques adaptées pour la tutelle des droits et des valeurs fondamentales de la personne humaine.
L’exigence de la médiation culturelle naît comme une propre exigence des sociétés contemporaines multiethniques et apparaît comme une possible modalité d’intégration des étrangers à l’intérieur des sociétés multiculturelles projetées dans la construction intentionnée d’une société interculturelle.
Si toutes les relations humaines se basent sur le dialogue, la communication assume un rôle fondamental, surtout lorsque les participants appartiennent à des langues et des cultures différentes et sont par conséquent plus facilement exposés à des incompréhensions et des malentendus.
Dans cette optique, la médiation culturelle s’affirme comme une forme particulière de communication étant donné la diversité des sujets intéressés.
Dans le milieu complexe des relations interethniques, la présence de personnes qui soutiennent le processus communicatif est souvent nécessaire, à travers des entretiens aussi bien de traduction linguistique que d’interprétation des sens présents dans les messages considérés culturellement divers.
Dans la mesure où l’intégration vise à un procédé de négociation réciproque entre les citoyens et les institutions, en ayant conscience de la nécessité d’intégrer les nouveaux citoyens, l’objectif de la médiation culturelle est de réorganiser les relations entre les partis pour qu’elle puisse résulter satisfaisante le plus possible à tous.
Avant d’approfondir la confrontation entre le modèle de médiation français et italien et en tirer quelques indications sur la situation actuelle des deux pays en terme de médiation culturelle, nous analyserons des données statistiques sur l’immigration et les modèles d’intégration respectifs adoptés dans les deux pays étudiés.
Le résultat qui s’est présenté après notre enquête démontre deux réalités complètement différentes. Les raisons sont multiples mais la raison fondamentale est à rechercher dans la diversité de la tradition migratoire présente dans les deux paysSee More

Il faut justement partir sur la conception même d’Etat pour comprendre l’intégration et la médiation culturelle en France.
C’est pour cette raison que dans le cas français, les pratiques de.médiation n’ont pas un caractère complètement offic...iel: l’Etat se propose comme un interlocuteur unique et direct des citoyens, sans passer à travers les autres intermédiaires reconnus officiellement. En somme, la médiation semble destinée à rester une pratique empirique à laquelle ont recours les pouvoirs publics, tout en ne lui reconnaissant pas un caractère de légitimité.
Dans ces conditions, l’intégration et l’assimilation ne peuvent qu’englober le même projet, et c’est pour cette raison que l’on a donné plus d’importance à la médiation culturelle que dans les années 80, lorsque le modèle d’intégration des étrangers basé sur l’assimilation et sur le refus de la différence et de n’importe quelle forme de particularisme ( au moins en ce qui concerne la sphère publique) commença à montrer les premiers signes d’incompatibilité.
L’utilisation de la ressource étrangère dans le domaine social remonte au début des années soixante-dix..
Durant ces années-là, entre les différentes associations, nous pouvons rappeler surtout ISM (Inter Service Migrant), née en 1969, qui est encore actuellement la plus vieille agence d’interprétariat social. Cette agence créa ces années-là, la figure professionnelle connue comme « interprète linguistique-culturel » ou « agent de communication ». Ces interprètes devaient être originaires d’un pays étranger et devaient avoir vécu un processus d’intégration dans la société française.
En effet, jusqu’à la fin des années 70, le concept de médiation culturelle fut assimilé à celui de l’interprétariat social et linguistique.
En 1974, le gouvernement Chirac proclama la suspension de l’immigration qui eut comme conséquence de transformer, avec la fermeture des frontières, une immigration de type temporaire à une immigration définitive.
Même si l’immigration en France n’a jamais été un phénomène accidentel et transitoire, il semblait que l’on prenait conscience de cela seulement alors.
Nous étions dans une période de forte dépression économique avec un taux de chômage toujours plus croissant et une immigration qui montrait depuis longtemps des signes de persistance et de stabilité.
Ceci aggrava la crise déjà existante et la France des années 80 , outre le fait de faire face à une forte dépression économique et à un chômage croissant, dut faire face aussi au climat dérivant de la déception générale des valeurs fondamentales de la société qui régnait aussi bien du point de vue politique que du point de vue intellectuel. Il faut ajouter à cela que le pays s’apprêtait à vivre justement dans ces années-là à un des événements les plus importants d’après-guerre: la victoire politique de la gauche.
Parmi les premières décisions de la gauche au gouvernement, nous trouvons la promulgation de la loi du 9 octobre 1981 qui élimine tous les obstacles juridiques à la formation des associations d’immigrés. Ces associations ne tarderont pas à formuler des demandes de reconnaissance sociale et symbolique, et certains immigrés inaugureront une nouvelle fonction de « porte-parole », c’est-à-dire de médiation entre leur communauté et les institutions. L’historicité sociale de ce processus est indispensable à la compréhension du phénomène de médiation, car les médiateurs ou intermédiaires culturels en France ont été avant tout le produit et le résultat du contexte social des années 80.
...
Il est désormais évident qu’une série de facteurs socio-économiques nous entraîne inéluctablement vers une société multiethnique et pluriculturelle, au moins jusqu’à ce que nous ne réussiront pas à distribuer les ressources entre les différentes zones géographiques d’une manière plus juste et plus équilibrées pour réussir à éviter les migrations de masse entre les territoires riches et les territoires pauvres.
Notre analyse aura démontré comment les modèles d’intégration dans les deux pays sont fortement influencés par l’évolution des axes politiques et institutionnels et des dynamiques du consensus.

En outre, cet aspect résulte aujourd’hui bien évident, si l’on tient compte de l’énorme changement de la législation sur l’immigration proposé par les gouvernements de droite actuels dans les deux pays.

Rabu, 13 Oktober 2010

Injil Lukas Bab 11

A. Tinjauan Seluruh Bab
Dalam konteks luas pekerjaan Yesus di dalam perjalanan menuju Yerusalem (Luk 9:51-19:10), yang berintikan “pemuridan” atau pembinaan murid-murid. Lukas 11 menekankan pengajaran Yesus mengenai doa (Luk 11:1-13), yang merupakan kelanjutan dari prinsip pokok jalan hidup yang diajarkan dalam Lukas 10: yaitu kasih dan doa, yang bersumber dari Roh Kudus, anugerah Bapa (ay 13).
Yesus ditampilkan sebagai teladan doa. Ia memberikan contoh formula doa, yang kita kenal sebagai Doa Bapa Kami versi Lukas (ay 1-4).
Selanjutnya ditampilkan “bagaimana” cara berdoa dengan bersungguh-sungguh dan tiada henti. Dinyatakan pula “doa permohonan pokok” yang terpenting (ay 5-13).
Situasi konfrontasi dengan para Farisi pun diubah Yesus menjadi pengajaran tentang sikap batin yang dimulai dari ay 14, mengenai hati.
Pertama-tama, disiapkan hati yang mengenal dan memihak pada Kerajaan Allah, yang telah datang bersama Yesus yang memerlihatkan kuasaNya (ay 20) dan menjawab undanganNya (ay 23). Yang kedua, hati yang telah dibersihkan dari kuasa setan, yang harus dijaga dengan kuat dengan mendengarkan firman Tuhan dan memeliharanya (ay 24-28). Yang ketiga, hati peka pada tanda-tanda kebaikan Tuhan dan yang oleh iman mau berserah kepada rencana Tuhan dengan tulus (ay 29-32). Yang keempat, hati yang terang oleh iman, dan jernih, sehingga dapat menangkap ajaran Yesus dan memancarkan cahaya ajaran itu untuk menerangi orang lain (ay 33-36). Semua ini (ay 14-36) terutama berhubungan dengan kualitas hati perorangan pribadi
Yang kelima hati yang telah dicuci bersih transparan dari dalam hingga keluar, sehingga amal saleh tetap tampak berseri tanpa perlu ditonjol-tonjolkan atau diberi tanda tertentu (ay 37-41). Yang kelima, hati yang merendah, yang tidak congkak dan merasa lebih tinggi karena amal saleh, dan yang memberi beban yang keterlaluan pada orang lain berdasarkan tafsiran hukum yang berlebihan (ay 42-46). Yang ketujuh adalah hati yang jujur pada sejarah, tidak menutupi keburukan masa lalu, supaya orang bisa belajar melihat keselamatan (ay 47-54). Semuanya ini (ay 37-54) berkaitan dengan dimensi sosial dari hati seseorang.
Kita diajak mengarahkan hati pada Tuhan Yesus. Ajakan yang berkaitan dengan kualitas atau fitur hati tertentu, yang masih akan disuarakan kelanjutannya dalam Lukas 12.

B. Bagian-bagian dari Bab 11Luk 11:1-4 [Renungan Harian: Rabu, Pekan Biasa 27]
Luk 11:5-13 [Renungan Harian: Kamis, Pekan Biasa 27]
Luk 11:14-26 [Renungan Harian: Jumat, Pekan Biasa 27]
Luk 11:27-28 [Renungan Harian: Sabtu, Pekan Biasa 27]
Luk 11:29-32 [Renungan Harian: Senin, Pekan Biasa 28]
Luk 11:33-36
Luk 11:37-41 [Renungan Harian: Selasa, Pekan Biasa 28]
Luk 11:42—46 [Renungan Harian: Rabu, Pekan Biasa 28]
Luk 11:47-54 [Renungan Harian: Kamis, Pekan Biasa 28]