Rabu, 30 Juni 2010

Kasih Dalam Kebenaran 10-12

Kasih dalam Kebenaran (10)
(Caritas In Veritate)
Ensiklik Paus Benediktus XVI
Terjemahan oleh Bambang Kuss

Bab Pertama
Pesan Surat Ensiklik Populorum Progressio
10. Membaca kembali Populorum Progressio sekarang, selang lebih dari empat puluh tahun sesudah penerbitannya, mengajak kita agar tetap setia kepada pesannya mengenai kasih dan kebenaran, dipandang dalam konteks dari ajaran khusus Paulus VI, dan secara lebih umum dalam keseluruhan tradisi ajaran sosial Gereja. Selain itu juga diperlukan kerangka penilaian yang berbeda, di mana masalah perkembangan dewasa ini disajikan dibandingkan dengan empat puluh tahun yang lalu. Untuk itu cara pandang yang tepat adalah yang berasal dari Tradisi iman rasuli [Bdk Benedictus XVI, Amanat Pembukaan Sidang Umum V Konferensi Para Uskup Amerika Latin dan Karibia, 13 Mei 2007: Insegnamenti III, 1 (2007), 854-870], yang adalah “khasanah warisan” ajaran baik yang lama maupun yang baru, yang jika diletakkan di luar itu niscaya Populorum Progressio merupakan suatu dokumen tanpa akar – dan persoalan-persoalan yang berkenaan dengan perkembangan niscaya disusutkan menjadi data sosiologis semata-mata.

Teks Latin:
CAPUT PRIMUM
LITTERARUM ENCYCLICARUM POPULORUM PROGRESSIO NUNTIUS
10. Litterarum encyclicarum Populorum progressio iterata lectio, post plus ab earundem editione quam quadraginta anni transierunt, postulat ut ipsius caritatis veritatisque nuntio fideles maneamus, dum peculiaris ambitus Pauli VI magisterii consideratur atque, latiore ratione, intra Ecclesiae socialis doctrinae traditionem. Diversae quoque rationes sunt ponderandae, quibus hodie secus atque illo tempore progressionis quaestio agitatur. Recta quidem animadversio est fidei apostolicae Traditionis [Cfr Benedictus XVI, Sermo occasione habitus V Conferentiae generalis inaugurandae Episcoporum Americae Latinae et regionis Caribicae (13 Maii 2007): Insegnamenti III, 1 (2007), 854-870.], patrimonii antiqui novique, extra quod Litterae encyclicae Populorum progressio si versarentur, documentum essent sine radicibus progressionisque quaestiones in sociologica tantum elementa reciderent.

Kasih dalam Kebenaran (11)
(Caritas In Veritate)
Ensiklik Paus Benediktus XVI
Terjemahan oleh Bambang Kuss

11. Ensiklik Populorum Progressio diterbitkan langsung sesudah Konsili Ekumenis Vatikan II ditutup, dan alinea-alinea pembukaannya menunjukkan hubungannya yang erat dengan Konsili [Paulus VI, PP no 3-5]. Dua puluh tahun kemudian, dalam Ensiklik Sollicitudo Rei Socialis, Yohanes Paulus II pada gilirannya menekankan hubungan yang ranum antara PP dengan Konsili, khususnya dengan Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes [Yohanes Paulus II, SRS no. 6-7]. Di sini aku ingin mengingatkan pentingnya Konsili Vatikan II bagi Ensiklik Paulus VI itu dan bagi keseluruhan ajaran sosial para Paus selanjutnya. Konsili menggali dengan lebih mendalam apa yang senantiasa berasal dari kebenaran iman, maksudnya bahwa Gereja di dalam melayani Tuhan adalah melayani dunia dalam kasih dan kebenaran. Paulus VI bertolak dari visi ini di dalam menyampaikan dua kebenaran penting. Yang pertama adalah bahwa seluruh Gereja dalam seluruh hakekat dan tindakannya, -- ketika mewartakan, merayakan, melaksanakan karya amal kasih – melibatkan diri dalam upaya mendorong perkembangan manusia seutuhnya. Gereja mempunyai peran publik di atas dan melampaui kegiatan amal kasih dan pendidikan yang dilakukannya: semua daya tenaga yang dicurahkannya demi kemajuan kemanusiaan dan persaudaraan sedunia terlaksana jika Gereja dapat bekerja dalam suatu iklim kemerdekaan. Dalam banyak kasus, kemerdekaan itu terkendala oleh berbagai larangan dan penganiayaan, atau dibatasi, ketika kehadiran Gereja dalam masyarakat hanya disusutkan pada aktivitas karitatif saja. Kebenaran yang kedua adalah bahwa perkembangan manusia yang autentik menyangkut keseluruhan pribadi dalam masing-masing dimensinya [Paulus VI, PP no 14]. Tanpa perspektif hidup kekal, kemajuan manusia di dunia merupakan ruang napas yang disangkal. Termaktub dalam sejarah, kemajuan itu menanggung risiko disusutkan semata-mata sebagai akumulasi kekayaan; manusia dengan demikian kehilangan keberanian untuk melayani kepentingan yang lebih tinggi nilainya, untuk melaksanakan prakarsa-prakarsa yang luhur dan tanpa pamrih yang diperlukan bagi kasih universal. Manusia tidak berkembang melalui kekuatannya sendiri, dan karenanya perkembangan tidak bisa begitu saja diserahkan kepadanya. Dalam jalannya sejarah, sering dikatakan bahwa penciptaan lembaga-lembaga cukup memadai untuk menjamin pemenuhan hak manusia atas perkembangan. Sayangnya, kepercayaan yang ditaruh pada lembaga-lembaga seperti itu terlalu berlebihan, seolah-olah lembaga-lembaga itu dapat mencapai tujuan yang dikehendaki secara otomatis. Dalam kenyataannya, lembaga-lembaga itu sendiri tidak memadai, sebab perkembangan manusia yang seutuhnya pertama-tama merupakan suatu panggilan, dan karena itu menyangkut suatu pengandaian bebas akan tanggungjawab dalam solidaritas dengan siapa saja. Tambahan pula, perkembangan semacam itu memerlukan suatu visi mengenai pribadi yang transenden, memerlukan Tuhan: tanpa Dia, perkembangan entah disangkal atau dipercayakan hanya kepada manusia yang jatuh dalam perangkap pemikiran bahwa ia dapat mewujudkan keselamatannya sendiri dan berakhir dengan diajukannya sebentuk perkembangan yang tidak manusiawi. Hanya melalui perjumpaan dengan Tuhan kita dapat melihat pada sesama bukan sekedar sebagai mahluk yang lain [bdk Benediktus XVI, Surat Ensiklik Deus Caritas Est, no. 18], mengenali citra ilahi pada sesama, dan dengan demikian datang untuk berjumpa dengannya pria ataupun wanita, dan menjadi dewasa dalam kasih yang “memikirkan dan memperhatikan orang lain” [idem no. 6].

Teks Latin:
11. Continuo post Concilium Oecumenicum Vaticanum II finitum evulgatae sunt Litterae encyclicae Populorum progressio. Ipsae Litterae primis paragraphis intimam cum Concilio necessitudinem demonstrant [Cfr nn. 3-5: l.m., 258-260.]. Ioannes Paulus II, viginti post annis, Litteris encyclicis Sollicitudo rei socialis sua ex parte fructuosam illarum Litterarum cum Concilio necessitudinem, potissimumque cum Constitutione pastorali Gaudium et spes confirmavit [Cfr Ioannes Paulus II, Litt. enc. Sollicitudo rei socialis (30 Decembris 1987), 6-7: AAS 80 (1988), 517-519.]. Nos quoque Concilii Vaticani II pondus super Pauli VI Litteris encyclicis necnon universo subsequenti Summorum Pontificum sociali magisterio memorare volumus. Quidquid ad fidei veritatem semper spectat altius vestigavit Concilium, scilicet Ecclesiam, Deo inservientem, mundo, quod ad amorem veritatemque attinet, inservire. Ex hoc ipso rerum prospectu initium sumpsit Paulus VI, ut duas praestabiles veritates exhiberet. Alteram quod tota Ecclesia, tota sua natura actioneque, cum nuntiat, celebrat et in caritate operatur, integrum hominis progressum promovere contendit. Ad eam publicum officium pertinet, quod non in ope ferenda vel institutione circumscribitur, sed omnes suas vires adhibet serviens homini promovendo universalique fraternitati, cum libertatis regimine frui potest. Haud paucis in casibus libertas haec interdictis persecutionibusque impeditur aut imminuitur, cum publica Ecclesiae praesentia eiusdem solummodo caritatis operibus circumscribitur. Altera adest veritas verum hominis progressum ad totam personam eius in omnibus rationibus pertinere [Cfr Paulus VI, Litt. enc. Populorum progressio, 14: l.m., 264.]. Dempta vitae aeternae expectatione, hoc in mundo spiritu privatur humanus progressus. Intra historiam conclusus, periculum adire potest ne ad opes augendas tantummodo se tradat; humanitas sic despondet animum praestantiora bona atque magna liberaliaque incepta appetendi, ad quae universalis caritas impellit. Suis tantum viribus non progreditur homo, neque ei mere extrinsecus datur progressus. Annorum decursu saepenumero hoc putatum est conditas institutiones humanitati progressus ius suppeditare affatim posse. Proh dolor in his institutionibus immodica fiducia est collocata, quasi optatum propositum per se ipsae consequi possent. Institutiones revera solae non sufficiunt, quandoquidem humanus omnibus ex partibus integer progressus imprimis est vocatio quaedam ideoque liberam solidalemque responsalitatem secum fert, quam omnes suscipere debent. Talis progressio praeterea personae transcendentem prospectum requirit, Deo indiget: sine Eo progressus aut negatur aut hominis manibus solummodo demandatur, qui in iactantiam se ipsum salvandi incidit, inhumanum denique progressum provecturus. Ceterum cum Deo tantum occursus non sinit « in altero semper alterum solummodo » [Benedictus XVI, Litt. enc. Deus caritas est (25 Decembris 2005), 18: AAS 98 (2006), 232.] cernere, sed in eo divinam imaginem agnoscere, dum sic alter reapse detegitur atque amor maturescit qui « alterius hominis curatio » [Ibid., 6: l.m., 222.] fit.

Kasih dalam Kebenaran (12)
(Caritas In Veritate)
Ensiklik Paus Benediktus XVI
Terjemahan oleh Bambang Kuss

12. Kaitan antara Ensiklik Populorum Progressio dengan Konsili Vatikan II tidak berarti putusnya hubungan ajaran sosial Paulus VI dengan para Paus sebelumnya, karena Konsili justru merupakan suatu penjelajahan yang lebih dalam atas ajaran ini dalam kesinambungan hidup Gereja [bdk Benediktus XVI, Amanat Natal pada Kuria Roma, 22 Desember 2005]. Dalam pengertian ini, kejelasan tidak disajikan dengan pembagian-pembagian secara abstrak atas ajaran sosial Gereja, yang diterapkan dalam kategorisasi ajaran sosial para Paus yang tidak mengenal penggolongan-penggolongan semacam itu. Maka tidak ada dua tipologi ajaran sosial, yang satu pra-konsili dan yang lain pasca-konsili, yang dibedakan satu dari yang lain, sebaliknya, hanya ada satu ajaran yang konsisten dan serentak baru [bdk Yohanes Paulus II, SRS no 3]. Memperhatikan ciri khusus suatu Ensiklik dibanding Ensiklik yang lain, ajaran seorang Paus dibanding Paus yang lain adalah satu hal, namun adalah sungguh hal berbeda jika kehilangan pandangan atas keutuhan dari keseluruhan korpus ajaran [idem, no 1]. Keutuhan dari keseluruhan itu bukan suatu sistem tertutup: sebaliknya merupakan kesetiaan yang dinamis pada terang yang telah diterima. Ajaran sosial Gereja menerangi dengan cahaya yang sama berbagai masalah baru yang terus menerus timbul [idem no 3]. Tonggak pengaman ini bersifat permanen dan merupakan watak historis dari “khasanah warisan” ajaran [bdk Yohanes Paulus II, Ensiklik Laborem Exercens, LE, no 3], yang dengan ciri-ciri khususnya, merupakan bagian dan kemasan dari Tradisi yang hidup dari Gereja [bdk Yohanes Paulus II, Ensiklik Centessimus Annus, CA, no 3]. Ajaran sosial dibangun atas landasan yang diwariskan oleh Para Rasul kepada para Bapa Gereja, dan kemudian diterima dan dikembangkan lebih jauh oleh para Pujangga Gereja. Ajaran ini mengacu secara definitif kepada Manusia Baru, kepada “Adam yang akhir yang menjadi roh yang menghidupkan” (1 Kor 15:45), prinsip kasih yang “tidak berkesudahan” (1 Kor 13:8). Itu dikuatkan dengan kesaksian para orang kudus dan mereka yang telah menyerahkan hidupnya bagi Kristus Penyelamat kita di bidang keadilan dan perdamaian. Ajaran sosial Gereja merupakan ungkapan tugas kenabian dari Imam Agung dalam memberikan bimbingan apostolik kepada Gereja Kristus dan memikirkan tuntutan-tuntutan baru pewartaan Injil. Atas dasar alasan itu, Populorum Progressio, yang ditempatkan dalam arus besar Tradisi, masih tetap bicara kepada kita hingga sekarang.

Teks Latin:
12. Litterarum encyclicarum Populorum progressio cum Concilio Vaticano II vinculum non discidium quoddam importat inter Pauli VI sociale magisterium et doctrinam eiusdem Decessorum Pontificum, cum Concilium in constanti Ecclesiae vita hoc magisterium altius pervestigavit [Cfr Benedictus XVI, Sermo de nataliciis ominibus ad Curiam Romanam (22 Decembris 2005): Insegnamenti I (2005), 1023-1032.]. Hac ratione quaedam Ecclesiae recentis doctrinae socialis abstractae partitiones haud planum faciunt, quippe quae Pontificum doctrinae sociali alienas notiones adhibeant. Non doctrinae socialis dantur duae series, scilicet una ante Concilium, altera post Concilium expedita, quae inter se dissideant, sed una doctrina, sibi constans atque item usque nova [Cfr Ioannes Paulus II, Litt. enc. Sollicitudo rei socialis, 3: l.m., 515.]. Aequum est peculiaritates animadvertere quae unae alteraeve Litterae encyclicae, doctrinam quam unus alterve Pontifex, secum ferunt, at semper ob oculos totius doctrinalis corporis congruentia est habenda [Cfr ibid., 1: l.m., 513-514.]. Congruentia minime in ordine quodam conclusionem, at potius dynamicam recepto lumini fidelitatem designat. Ecclesiae socialis doctrina immutabili luce novas quaestiones usque collustrat, quae emergunt [Cfr ibid., 3: l.m., 515.]. Id huius doctrinae « patrimonii » tum constantem tum historicam servat naturam [Cfr Ioannes Paulus II, Litt. enc. Laborem exercens (14 Septembris 1981), 3: AAS 73 (1981), 583-584.], quod suis peculiaritatibus vitalem usque Ecclesiae Traditionem participat [Cfr Id., Litt. enc. Centesimus annus, 3: l.m., 794-796.]. In fundamento ipso, quod sive Apostoli sive Ecclesiae Patres tradiderunt, nititur doctrina socialis, quod deinceps susceperunt pervestigaruntque eximii christiani Doctores. Doctrina haec tandem ad Hominem novum revertitur, ad novissimum « Adam in Spiritum vivificantem » (1 Cor 15, 45) qui est principium caritatis quae « numquam excidit » (1 Cor 13, 8). Eandem testati sunt Sancti et quotquot propter Christum Salvatorem vitam in iustitiae pacisque provincia tradiderunt. In ea propheticum Summorum Pontificum officium Christi Ecclesiam apostolica ratione moderandi itemque novas evangelizationis necessitates percipiendi manifestatur. Has propter causas, Litterae encyclicae Populorum progressio, spectabilem Traditionis tenentes cursum, etiam nos hodie alloqui valent.

Senin, 21 Juni 2010

Ukuran Penilaian (Mat 7:1-5)

Andaikan saja tabung gas LPG untuk rakyat yang dalam pengakuan adalah 3 kg itu isinya hanya 2,5 kilo. Penjual menerima pembayaran senilai 3 kg dan mendapat keuntungan cuma-cuma dari 0,5 kg yang hanya diakukan, tetapi realitasnya tidak ada. Konsumen hanya menerima 2,5 kg LPG dengan harga yang dibayarnya untuk 3 kg LPG. Konsumen dirugikan. Ada ketidakadilan.

Atau bayangkan seandainya berbagai alat meteran petunjuk di kokpit suatu pesawat tidak menunjukkan keadaan yang seharusnya. Dapatkah keselamatan penerbangan dijamin?

Metrologi mengembangkan metode presisi dan alat timbangan/ ukuran yang sama dan berlaku universal di mana-mana. Ini menjadi dasar keadilan. Secara berkala Dinas Metrologi melakukan pemeriksaan, penalaan, dan pengujian serta sertifikasi kebenaran-kebenaran alat-alat ukur. Ini berlaku baik bagi alat-alat ukur karakteristik material kuantitatif maupun fitur-fitur kualitatif yang hanya dapat diduga.

Penerapan ukuran ganda (longgar untukku dan segala kepentinganku) dan ketat bagi yang lain, mencerminkan ketidakadilan, maka tidak dikehendaki. Penerapan ukuran ganda umumnya lebih didasarkan pada kekuasaan (sosial-politis-ekonomis), bukan pada keadilan kasih.

Keselarasan alat dan metode pengukuran dalam pergaulan antar-manusia diharapkan dapat memelihara keadilan dan kasih dalam perspektif eskatologis, sampai ketika Tuhan datang menjadi hakim terakhir.

Jangan Kuatir (Mat 6: 24-34)

Dalam kesebelas ayat renungan hari terakhir liturgi pekan biasa ke XI, empat kali Yesus menyerukan agar kita. “Jangan kuatir”. Ada dua pendekatan yang bisa kita gunakan untuk renungan ini. Yang pertama adalah pendekatan bottom up. Dari bawah ke atas. Yang kedua adalah topdown. Dari atas ke bawah.

Kekuatiran yang berlebihan memang perlu dibahas, sebab kekhawatiran semacam itu punya potensi merongrong nilai “kabar gembira” dan “pembebasan” yang berasal dari Allah. Kekuatiran pada diri manusia merugikan kegembiraan yang timbul dari imannya, dan jika kegembiraan merupakan pangkal sikap untuk memuji Allah (gaudere ut adore, aku ingat suatu motto yang tertera di pintu masuk Gereja Regina Pacis, Magetan), maka kekuatiran dapat mencuri kesempatan orang memuji Allah. Hatinya lebih dipenuhi oleh rasa cemas gelisah. Dengan demikian kekuatiran juga mengikat orang menjadi budak perasaannya lagi, berlawanan dengan kebebasan anak-anak Allah dalam iman yang berdasar kebenaran. Kekuatiran merongrong spontanitas hidup yang mewarnai kebebasan, dan karenanya orang menjadi kagok dalam tindakan, dibayangi oleh pelbagai hitungan “jangan-jangan”. Jangan-jangan nanti begini, jangan-jangan nanti begitu. Pada suatu titik hal ini bisa menambah kewaspadaan, tetapi di sebaliknya hal itu juga bisa membuat orang seperti lumpuh tidak bisa bertindak. Kecemasan sendiri tidak memberikan solusi atas persoalannya. Lalu bagaimana? Obat cemas kuatir itu apa? Obat yang menawarkan kekuatiran adalah kepercayaan bahwa ketika kita mengerjakan sesuatu dengan gembira dan sungguh-sungguh, rasa cemas itu akan berlalu dengan sendirinya. Ini haruslah didasari oleh iman, bahwa Tuhan yang menyelenggarakan segala sesuatu akan memperhatikan kebutuhan kita dan menyertai usaha-usaha kita.

Pendekatan renungan yang kedua adalah topdown. Dari atas ke bawah. Dari hermeneutik ontologi Tuhan kepada tanggapan manusia.
Tuhan adalah dasar yang murah hati dari dimensi waktu sekarang (nunc) dan dimensi ruang di sini (hic). Tanpa Dia, kedua dimensi itu kehilangan maknanya. Dan kekaburan mengenai kehadiranNya ini mencemaskan. Penghiburan “jangan kuatir” merupakan tindakan iman manusia yang menghadirkan Tuhan kembali pada dimensi saat ini dan kini dalam dirinya, dengan mengungkapkan bagian iman yang tidak terucapkan, yaitu : “Aku percaya akan Allah, Bapa yang Mahakuasa, Pencipta Langit dan Bumi, yang membuat semuanya baik, dan yang kasih dan kuasaNya pada akhirnya akan memastikan bahwa semuanya baik-baik saja...”

Rabu, 16 Juni 2010

Mengingatkan Kembali Beberapa Hal Tentang Alat Komunikasi Sosial...

Soalnya belakangan aku merasa gerah dengan kecenderungan “pengadilan oleh pers” bahkan “pembunuhan karakter” yang secara sadar atau tidak sadar dilakukan teman-teman media...

Tentang Media Komunikasi Sosial
Beberapa pokok ajaran Katekismus Gereja Katolik menyatakan:

2493 Dalam masyarakat modem media komunikasi memainkan peranan penting dalam penyampaian informasi, penggalakan kebudayaan, dan dalam pembinaan. Sebagai akibat dari kemajuan teknik, luasnya dan aneka ragam isi yang harus disampaikan, demikian pula berdasarkan pengaruh atas pendapat umum, maka peranan ini akan menjadi semakin penting.

2494 Informasi melalui media komunikasi adalah demi kesejahteraan umum Bdk. IM 11.. Masyarakat mempunyai hak atas informasi, yang berdasarkan kebenaran, kebebasan, dan solidaritas.
"Tetapi cermatnya pelaksanaan hak itu meminta, supaya mengenai obyeknya komunikasi itu selalu benar dan - dengan mengindahkan keadilan serta cinta kasih - bersifat lengkap. Selain itu mengenai caranya, hendaklah berlangsung dengan jujur dan memenuhi syarat; maksudnya: hendaknya komunikasi itu mengindahkan sepenuhnya hukum-hukum moral, hak-hak manusia yang semestinya serta martabat pribadinya, dalam mengumpulkan maupun menyiarkan berita-berita" (Dekrit Inter Mirifica [IM] 5:2).

2495 "Maka semua anggota masyarakat perlu memenuhi tugas kewajiban keadilan dan cinta kasih, juga di bidang komunikasi sosial. Oleh karena itu hendaklah mereka, juga melalui media komunikasi itu, berusaha membentuk dan menyebarluaskan pandangan-pandangan umum yang sesuai dengan kebenaran" (IM 8). Solidaritas dibentuk oleh komunikasi yang benar dan jujur dan oleh penyebarluasan ide-ide, yang memajukan pengetahuan dan perhatian untuk orang-orang lain.

2496 Sarana-sarana komunikasi, terutama media massa, dapat membangkitkan pada pemakai jasa semacam fasifitas, apabila mereka menjadikan orang-orang ini konsumen kata-kata dan gambar yang kurang teliti. Para pemakai jasa harus mempergunakan media komunikasi dengan tahu batas dan membentuk bagi dirinya hati nurani yang jelas dan tepat, supaya lebih mudah dapat menentang pengarah-pengaruh yang buruk.

2497 Atas dasar tugas pekerjaan dalam bidang pers, para wartawan mempunyai kewajiban, supaya melayani kebenaran dalam menyebarluaskan informasi dan supaya tidak melecehkan hukum cinta kasih. Mereka harus berusaha juga, untuk mendapatkan fakta-fakta secara benar dan untuk memperhatikan batas-batas penilaian kritis mengenai pribadi-pribadi. Mereka harus menjauhkan diri dari fitnah.

Diingatkan...
2489 Satu permohonan untuk pengetahuan atau informasi, harus selalu dijawab dengan cinta kepada sesama dan penghormatan akan kebenaran. Keselamatan dan keamanan orang lain, penghormatan akan kehidupan pribadi, atau perhatian akan kepentingan umum adalah alasan-alasan yang cukup, untuk mendiamkan sesuatu yang tidak harus diumumkan, atau untuk mempergunakan bahasa yang sangat hati-hati. Kewajiban untuk menjauhkan syak wasangka, sering menuntut kebijaksanaan yang sungguh. Tidak ada seorang pun berkewajiban untuk menyampaikan kebenaran kepada orang-orang, yang tidak mempunyai hak untuk mengetahuinya Bdk. Sir 27:16; Ams 25:9-10..

2491 Rahasia jabatan - yang harus diperhatikan oleh umpamanya politikus, anggota militer, dokter, dan hakim, - atau informasi pribadi, yang disampaikan di bawah sumpah untuk menyimpan rahasia, tidak boleh dibocorkan, kecuali apabila timbul satu keadaan khusus bahwa menjaga rahasia itu menyebabkan satu kerugian yang sangat besar bagi orang yang menyampaikannya, atau bagi orang ketiga, kerugian mana hanya dapat dicegah dengan menyebarluaskan kebenaran. Informasi pribadi, yang merugikan orang lain, tidak boleh disebarluaskan tanpa alasan yang memadai, juga apabila tidak disampaikan di bawah sumpah untuk menyimpan rahasia.

2492 Setiap orang harus dapat menahan diri secukupnya dalam hubungan dengan kehidupan pribadi orang lain. Mereka yang bertanggung jawab atas penyampaian informasi, harus memperhatikan perimbangan di antara kepentingan umum dan penghormatan akan hak-hak pribadi. Informasi mengenai kehidupan pribadi orang-orang yang melaksanakan kegiatan politik atau kegiatan umum, hanya dapat dicela, apabila mencemari hal-hal pribadi dan kebebasan

Kriteria Hukum atau Perkosaan

Tentang Hukum, Undang-undang, Peraturan....
"Sejauh peraturan hukum manusia sesuai dengan akal budi yang benar, peraturan itu mempunyai hakikat hukum; maka ia dengan jelas berasal dari hukum abadi. Tetapi jika peraturan menyimpang dari akal budi, ia dinamakan hukum yang tidak adil, dan dengan demikian peraturan itu tidak mempunyai hakikat suatu hukum, tetapi sebaliknya, hakikat satu perkosaan" (Tomas Aquinas., Summa Theologiae. 1-2,93, 3 ad 2).

Khasanah Lama. Doa Untuk Negara

Doa Gereja yang tertua untuk para pejabat negara disusun Paus Santo Klemens dari Roma :
"Ya Tuhan, berilah kepada mereka kesehatan, kedamaian, kerukunan, kemantapan, supaya mereka tanpa noda dapat menjalankan kekuasaan yang Engkau berikan kepada mereka! Karena Engkau, Tuhan surgawi. Raja segala masa, memberi kepada anak-anak manusia, kemuliaan dan kehormatan dan kekuasaan atas apa yang ada di atas bumi; semoga Engkau, ya Tuhan, mengatur kehendak mereka menurut apa yang baik dan berkenan kepada-Mu, sehingga dalam kedamaian dan kebaikan hati, mereka menjalankan kekuasaan yang Engkau berikan kepada mereka, dan dengan demikian menikmati kemurahan hati-Mu" (Espist. Ad Cor. 6:1-2).

Selasa, 15 Juni 2010

Jika kita sakit....

Yesus bersedia disentuh oleh mereka yang menderita, Ia malah menjadikan sengsara mereka itu sebagai sengsara-Nya sendiri: "Dialah yang memikul kelemahan kita dan menanggung penyakit kita" (Mat 8:17). Bdk Yes 53:4.

Tetapi Ia tidak menyembuhkan semua orang sakit. Kristus memberi arti baru kepada penderitaan kita: Ia dapat membuat kita menyerupai diriNya dan dapat menyatukan penderitaan kita dengan sengsara-Nya yang menyelamatkan. Ia mengajak para murid-Nya, supaya mengikuti Dia dan memikul salib masing-masing (Mat 10:38). Penderitaan yang harus kita tanggung dapat mempunyai arti yang lebih besar, seperti yang diyakini Santo Paulus: "untuk tubuh-Nya, yaitu jemaat, aku menggenapkan dalam dagingku apa yang kurang pada penderitaan Kristus" (Kol 1:24).

Oleh rahmat Kristus, orang sakit menerima kekuatan dan anugerah untuk mempersatukan diri lebih erat lagi dengan sengsara Tuhan. Orang sakit seakan-akan ditahbiskan untuk menghasilkan buah melalui keserupaan dengan sengsara Juru Selamat yang menebus dunia. Karena "secara bebas menggabungkan diri dengan sengsara dan wafat Kristus, maka orang-orang sakit memberi sumbangan bagi kesejahteraan umat Allah" (Lumen Gentium 11)

IMAN DAN AKAL BUDI... DUA SAYAP BAGI KITA

Pokoknya iman... kata orang. Tetapi manusia diciptakan sesuai citra Allah dan dilengkapi dengan akal budi. Katekismus Gereja Katolik (KGK) mengajarkan: Manusia ikut ambil bagian dalam terang dan kekuatan Roh ilahi. Dengan akal budinya, ia mampu mengerti susunan yang diletakkan oleh Pencipta dalam segaIa makhluk. Dengan kehendaknya, ia mampu berjalan menuju keselamatannya yang benar. Ia menemukan kesempumaannya "dalam mencari dan mencintai yang benar dan yang baik" (Gaudium et Spes 15,2). Berkat jiwanya dan berkat kekuatan rohani akal budi dan kehendaknya, manusia dilengkapi dengan kebebasan "yang adalah lambang yang unggul citra ilahi di dalam manusia" (Gaudium et Spes 17). Oleh akal budinya, manusia mendengarkan suara Allah yang mengajaknya "untuk mencintai serta melakukan yang baik dan mengelakkan yang jahat" (Gaudium et Spes 16). Setiap manusia diwajibkan untuk mematuhi hukum ini, yang menggema di dalam hati nurani dan dipenuhi dengan cinta kepada Allah dan kepada sesama. (KGK 1704-1706). Dalam diri umat beriman, akal budi dan iman ibarat dua sayap yang harus dipakai bersamaan untuk terbang; jika kita hanya memakai salah satu sayap saja, kita akan jatuh... demikian diumpamakan oleh Paus Yohanes Paulus II dalam ensiklik Fides et Ratio.

Hati Nurani

Di dalam lubuk hati seseorang bekerjalah hati nurani (Bdk. Rm 2:14-16). Pada waktu tertentu hati nurani memberi perintah untuk melakukan yang baik dan mengelakkan yang jahat. Hati nurani juga menilai keputusan konkret, apakah menyetujui yang baik ataukah menolak yang jahat (Bdk. Rm 1:32). Hati nurani memberi kesaksian tentang kebenaran dalam hubungan dengan kebaikan tertinggi, yaitu Allah. Dalam mendengarkan hati nuraninya, manusia yang bijaksana dapat mendengar suara Allah, yang berbicara di dalamnya.

"Di relung hati nuraninya manusia menemukan hukum, yang tidak diterimanya dari dirinya sendiri, tetapi harus ditaatinya.... Sebab dalam hatinya manusia menemukan hukum yang ditulis oleh Allah.... Hati nurani ialah inti manusia yang paling rahasia, sanggar sucinya; di situ ia seorang diri bersama Allah, yang sapaan-Nya menggema dalam batinnya" (Gaudium et Spes 16). [Lih KGK 1776-1777].

Sabtu, 12 Juni 2010

“Ke mana sirnanya semua waktu kita?”

Kita melakukan semua ini, kita berbuat itu; kita lari ke sini, berhenti di sana untuk ini atau itu, seluruhnya berjalan dengan sangat cepat dan pasti. Mendadak terasa seolah-olah seluruh waktu yang ada pada kita begitu saja menghilang merosot dari sela-sela jari jemari kita.

Bukan waktu yang pergi ke mana-mana. Bukan waktu yang hilang, dihabiskan, digunakan, atau diboroskan. Tetapi diri kita.
Waktu masih tetap mengalir begitu saja, lama sesudah kita sampai pada suatu titik di mana segala daya kita telah terkuras habis-habisan.

Memberi, Ada yang Kurang, Ada yang Tambah

Kadang-kadang ketika anda memberi, milik anda berkurang. Dalam kesempatan lain, justru ketika anda memberi, milik anda malah bertambah. Hal-hal yang konkret seperti uang, pakaian, makanan, termasuk kategori yang berkurang. Di pihak lain, kebaikan hati, pujian yang tulus, hubungan telepon yang anda lakukan pada seorang teman, atau kunjungan kejutan kepada mereka yang sungguh menghargai anda, termasuk kategori yang bertambah.

APA YANG ANDA LAKUKAN?

Ada suatu cerita tentang seorang murid yang diundang ke rumah seorang guru untuk minum teh. Ia menyayangi sang guru dan bergantung pada kebijaksanaannya dalam segala hal di dunia. Dalam kesempatan itu ia mengharapkan memeroleh suatu manfaat yang berharga.

“Pelajaran apa yang akan guru berikan kepada saya hari ini?” ia bertanya.

Sang guru diam saja. Sebaliknya, ia mulai menuang teh dari poci ke dalam cangkir muridnya. Mula-mula ia menuang hingga separoh. Walaupun sang murid menganggap itu sudah banyak, tetapi sang guru masih melanjutkan menuang lagi memenuhi cangkir. Teh itu naik terus sampai ke bibir cangkir, dan mulai melimpah keluar. Mengalir jatuh ke atas meja, dan meluncur terus mengenai pangkuan si murid, lalu mengenai permadani. Tetap saja sang guru menuang dan menuangkan teh sampai basah di mana-mana.

“Apa yang bapak lakukan?” murid itu akan bertanya kebingungan.

“Tidak. Apa yang kamu lakukan?” tanya sang guru itu kembali. “Mengapa kamu tidak berkata ‘tidak’ atau ‘jangan’ kepadaku? Mengapa kamu tidak memintaku berhenti menuang?”

“Inilah pelajaranmu hari ini,” sang guru melanjutkan. “Sebelum kamu mengembangkan kebijaksanaan atau empati kepada orang lain, kamu harus belajar suatu hal yang sangat penting – bagaimana berkata ‘tidak’ atau ‘jangan’ untuk sesuatu yang kelewat banyak. Kamu harus belajar bagaimana memantau kepenuhan dari cangkirmu sendiri. Jika tidak kamu akan terus menerus mendapatkan dirimu sendiri kebingungan dan berantakan. Kamu akan terpisah dari pekerjaanmu yang sesungguhnya dengan orang lain, hanya karena harus mengurusi jatuhnya limpahan dari hidupmu sendiri.”

Kamis, 10 Juni 2010

Kasih dalam Kebenaran (9)

(Caritas In Veritate)
Ensiklik Paus Benediktus XVI
Terjemahan oleh Bambang Kuss

9. Kasih dalam kebenaran – caritas in veritate – merupakan suatu tantangan besar bagi Gereja di dalam dunia yang secara progresif dan meluas makin mengglobal. Risiko yang dihadapi zaman kita adalah de facto saling bergantungnya manusia dan bangsa-bangsa tidak selaras dengan interaksi etis dari hati-nurani dan pikiran yang seharusnya dapat sungguh-sungguh mendorong pengembangan manusiawi. Hanya di dalam kasih, yang disinari oleh akal budi dan iman, dimungkinkan pengejaran sasaran-sasaran pengembangan yang mengandung nilai yang lebih manusiawi dan memanusiawikan. Upaya berbagi benda-benda dan sumber daya, sebagai pangkal proses pengembangan yang autentik, tidak dijamin hanya semata-mata dengan kemajuan teknis dan hubungan-hubungan utiliter, melainkan dengan potensi kasih yang mengatasi kejahatan dengan kebaikan (bdk Rm 12:21), yang membuka jalan menuju hubungan timbal balik hati nurani dan kebebasan.

Gereja tidak mempunyai solusi teknis untuk ditawarkan (Gaudium et Spes 36; Paulus VI, Surat Apostolik, Octogesima Adveniens, 4; Yoh. Paulus II, Ensiklik Centessimus Annus, 43) dan tidak ingin “mencampuri politik Negara-negara dengan cara apa pun.” (Paulus VI, Populorum Progressio 13). Tetapi Gereja mengemban suatu misi yang harus dilakukan mengenai kebenaran, kapan saja dan di mana saja, demi suatu masyarakat yang selayaknya bagi manusia, sesuai dengan martabatnya, dan dengan panggilannya. Tanpa kebenaran, adalah mudah untuk tergelincir pada pandangan hidup yang empiris dan skeptis, yang tidak mampu meningkat hingga pada taraf praksis karena kurang perhatian pada pemahaman nilai-nilai – kadang-kadang bahkan pada makna-makna – bagi pertimbangan dan pengarahan. Kesetiaan pada harkat manusia menuntut kesetiaan pada kebenaran, dan kesetiaan pada kebenaran itu sendiri merupakan jaminan bagi kebebasan (bdk Yoh 8:32) dan bagi kemungkinan pengembangan manusia secara integral. Untuk itu Gereja mencari kebenaran, mewartakannya tanpa kenal lelah dan mengakui hasil pelaksanaannya di mana saja. Misi kebenaran ini tak akan pernah lepas dari Gereja. Ajaran sosialnya merupakan suatu dimensi khusus dari pewartaan ini: suatu pelayanan kepada kebenaran yang membebaskan kita. Terbuka kepada kebenaran, dari manapun datangnya, ajaran sosial Gereja menyerap, memadukan berbagai fragmen asali menjadi suatu kesatuan dan mengkomunikasikannya di dalam pola hidup masyarakat manusia dan bangsa-bangsa yang terus-menerus berubah (Bdk. Dewan Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian, Kompendium Ajaran Sosial Gereja, 76)

Teks Latin:
9. Amor in veritate – caritas in veritate – magna est Ecclesiae provocatio in ipso terrarum orbe qui ad globalizationem progreditur eaque perfunditur. Nostra quidem aetate periculum est ne ad mutuam hominum re complexionem non respondeat reciproca conscientiarum intellectuumque ethica actio, ex qua oriri possit ut effectus vere humanus progressus. Solummodo per caritatem, rationis fideique luce illuminatam, obtineri possunt proposita profectus humaniorem habentia vim atque humanius operantia. Eo quod bona copiaeque partiuntur, ex quibus germana progressio oritur, id non secum ferunt technicus provectus tantum atque opportunitatis necessitudines, verum etiam amoris vires, quae malum bono vincunt (cfr Rom 12, 21) atque conscientiarum libertatumque patefaciunt permutationes.

Ecclesia technica consilia haud praebet [Cfr Conc. Oecum. Vat. II, Const. past. de Ecclesia in mundo huius temporis Gaudium et spes, 36; Paulus VI, Litt. ap. Octogesima adveniens (14 Maii 1971), 4: AAS 63 (1971), 403-404; Ioannes Paulus II, Litt. enc. Centesimus annus (1 Maii 1991), 43: AAS 83 (1991), 847], cum sit « ab omni Civitatum administrandarum parte longissime aliena » [Paulus VI, Litt. enc. Populorum progressio, 13: l.m., 263-264]. Complendam missionem tamen habet ipsa veritatis, omni tempore et in omnibus rerum adiunctis, ut societas ad hominis eiusque dignitatis et vocationis mensuram obtineatur. Absque veritate in vitae empiristicas scepticasque opinationes deciditur, quae ex praxi exsistere non valet, cuius non interest bona percipere – interdum nec significationes – quibus ea est iudicanda dirigendaque. Hominis fidelitas secum fert fidelitatem veritati, quae una est sponsio libertatis (cfr Io 8, 32) atque humanum omnibus ex partibus progressum praestare potest. Idcirco Ecclesia eandem requirit, indefesse nuntiat ipsamque ubicumque manifestatur agnoscit. Ab hac veritatis missione Ecclesia cessare non potest. Eius socialis doctrina peculiaris est huius nuntii pars: liberantiveritati ipsa inservit. Ad veritatem expedita, undecumque manantem, socialis Ecclesiae doctrina eam suscipit, in unitatem fragmenta redigit, in quibus eam ipsa saepe reperit, eandemque in vitae experientia usque nova societatis hominum populorumque temperat [Cfr Pontificium Consilium de Iustitia et Pace, Compendio della dottrina sociale della Chiesa, n. 76].

Melepaskan Cengkeraman Masa Lalu

Jika Anda sulit melepaskan masa lalu itu, cobalah latihan berikut, yang mungkin dapat membantu:

Duduklah dengan tenang dan pejamkan mata Anda. Tempatkan tangan Anda di pangkuan Anda dengan telapak menghadap ke bawah.

Lalu persilakan semua kecemasan dan keprihatinan tentang masa lalu datang memenuhi pikiran Anda. Ketika setiap kekhawatiran menguasai Anda, lepaskanlah dia. Bayangkan Anda sedang menjatuhkannya dari ujung jari Anda ke dalam angkasa yang luas atau ke dalam tangan Tuhan. Jatuhkan setiap sumber kekhawatiran dan keprihatinan Anda. Biarkan mereka semua pergi; relakanlah!

Jika Anda telah merasa membuang semuanya hingga habis, baliklah telapak tangan Anda. Lalu undanglah saat kini datang. Mintalah karunia saat ini dalam hidup Anda. Sadari saja saat sekarang ini. Jika Anda merasa tenang dan santai, ucapkanlah syukur atas karunia saat ini.

Sing Wis Yo Wis

Kita suka hidup di dalam dimensi masa lalu dan melamun, “Seandainya saja dulu aku berkata begini.... Seandainya saja dulu kulakukan itu....” Yah. Kita tidak mungkin lagi mengubah masa lalu. Kita tidak berkuasa untuk mengendalikannya lagi. Kita tak dapat menjilat lagi kata yang telah kita ucapkan dan tidak dapat membatalkan apa yang telah kita lakukan di waktu dulu. Yang lalu sudah lewat. Orang Jawa bilang, Sing Wis Yo Wis!

Rabu, 09 Juni 2010

Surga Itu Bagaimana?

Seorang perempuan sangat ingin tahu surga itu seperti apa. Ia terus menerus berdoa mohon diberi penglihatan yang mencerahkan. Pada suatu malam ia bermimpi kedatangan malaikat dan malaikat itu membawanya pergi. Mereka sampai di suatu jalan dan di sana ada bangunan rumah yang tampaknya biasa-biasa saja. Malaikat itu berkata, “Pergi dan lihatlah dalamnya.”
Maka pergilah perempuan itu ke dalam rumah yang ditunjukkan. Di sana ia melihat seorang wanita lain sedang mempersiapkan makan malam sambil bersenandung. Ada seorang lelaki dengan wajah segar sedang membaca surat kabar, dan sesekali tersenyum mendengar nyanyian isterinya dan suara anak-anak. Di dekatnya, anak-anak sedang asyik bermain-main.
Perempuan itu kembali menjumpai malaikat yang membawanya dan bertanya, “Apakah surga hanya seperti itu?”
Malaikat itu menjawab, “Orang-orang yang kamu lihat di rumah itu memang bukan di dalam surga. Tetapi surga ada di dalam diri mereka.”

Hukum Taurat & Hukum Baru

Tradisi Yahudi membagi kitab-kitab di dalam Kitab Suci Ibrani ke dalam kelompok kitab : Hukum, Nabi-nabi, dan Tulisan-tulisan. Hukum, atau Torah (Taurat) adalah kelompok kitab yang paling penting dari antara ketiga penggolongan itu. Kelompok Hukum ini terdiri dari kelima kitab pertama atau Pentateukh: Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan dan Ulangan.

Kata Ibrani tora(h) [Taurat] adalah istilah yang paling umum diterjemahkan sebagai “hukum” di dalam Perjanjian Baru. Pada dasarnya kata itu berarti “ajaran” atau “didikan” (Am 1:8). Pada saatnya [dalam perkembangannya] kata itu juga berarti kumpulan preseden hukum yang mapan – putusan-putusan pengadilan di masa lampau yang dihormati oleh imam-imam dari masa berikutnya dan digunakan sebagai preseden hukum yang sah. Ketika mereka diterima sebagai ketetapan ilahi, maka putusan hukum itu mendapat daya pengikat yang lengkap.

Istilah hukum lainnya yang digunakan dalam Perjanjian Lama termasuk miswa, “perintah”, suatu prinsip atau norma yang disampaikan dari otoritas yang lebih tinggi ke bawah; mispat, atau ”ketetapan” yang digunakan untuk putusan hukum dan terutama terdapat dalam hukum pidana sebagai tipe rumusan yang kasuistik; edot, “perjanjian” yang mengungkapkan ketentuan-ketentuan dari Allah yang diungkapkan melalui perjanjian; hoq, “undang-undang” sesuatu yang dituliskan dan kemudian ditetapkan sebagai hukum tertulis; dabar, “firman/sabda” yang merujuk pada perkataan ilahi dan digunakan terutama untuk hukum yang dijabarkan ke dalam Sepuluh Perintah Allah (bdk Kel 20:1; 24:3).

Berbagai Kode Hukum Israel
Bagi bangsa Israel, semua hukum, baik hukum sipil maupun hukum agama, berasal dari Tuhan. Mematuhi hukum merupakan bagian dari kesetiaan pada perjanjian, karena perintah-perintah Torah merupakan penjabaran dari perjanjian yang menetapkan tanggungjawab Israel dalam hubungannya dengan Tuhan dan dengan sesama.

Kepatuhan Israel pada hukum mengandaikan sifatnya yang mendesak, karena pelanggaran hukum Tuhan berarti pelanggaran perjanjian, dan merusak hubungan umat dengan Tuhan.

Hukum Pentateukh (Taurat) biasanya dibagi menjadi enam himpunan utama atau kode hukum.
1. Sepuluh Perintah Allah (Kel 20:2-17). Prinsip-prinsip atau norma yang membimbing perilaku semua orang, dinyatakan dalam rupa hukum kodrat yang dituliskan di dalam hati (bdk Kej 26:5; Rm 2:14-15) (Katekismus Gereja Katolik atau KGK 2056-63; 2070-2072).

2. Kode Hukum Perjanjian (Kel 20:23-23:19). Suatu himpunan peraturan hukum yang mengatur hubungan sosial, baik sipil umum maupun rumahtangga di dalam kehidupan Israel. Secara khusus peraturan hukum ini membayangkan kehidupan bangsa Israel di negeri Kanaan. Tata peraturan diteguhkan dalam praktek dengan sistem tata peradilan yang ditetapkan Musa dalam Kel 18:13-27.

3. Pembaruan Perjanjian (Kel 34:10-26). Pembaruan perjanjian Sinai menjadi mendesak karena terjadinya pelanggaran sehubungan dengan anak lembu emas (Kel 32:1-6). Ketentuan-ketentuan menegaskan kembali berbagai hukum peraturan yang sudah dinyatakan dalam Sepuluh Perintah Allah dan Kode Hukum Perjanjian. Revisi yang paling penting adalah bahwa anak sulung Israel harus dipersembahkan kepada Tuhan dalam ibadat (Kel 22:29) dan karena itu ditebus kembali dari Tuhan dengan harga tebusan tertentu (Kel 34:20). Suku-suku Israel ditahan di Sinai selama setahun sementara proses pembaruan perjanjian itu dilangsungkan. Pembaruan itu itu juga menegaskan lagi larangan penyembahan berhala.

4. Kode Hukum Imamat (Im 1-16). Hukum ini berhubungan dengan persembahan korban dalam Kemah Allah (Im 1-10) dan hukum yang menyangkut ritus pentahiran (Im 11-16), di antaranya yang paling penting adalah ibadat tahunan untuk Hari Raya Pendamaian (Im 16)

5. Kode Hukum Kekudusan (Im 17-27). Seperangkat peraturan yang menekankan kekudusan, yang sangat penting bagi semua umat Tuhan: “Kuduslah kamu, sebab Aku, Tuhan, Allahmu, kudus!” (Im 19:2). Kode hukum kekudusan dimaksudkan untuk menunjukkan kepada bangsa Israel bagaimana hidup sesuai dengan rahmat Tuhan. Ada begitu bnyak peraturan hukum baru karena kekejian (penyembahan berhala) yang dilakukan Israel membuktikan perlunya rincian aturan. Terutama, tata peraturan membantu bangsa Israel untuk sungguh-sungguh menjauhi praktek penyembahan berhala dan berusaha hidup kudus karena Tuhan itu kudus (bdk Im 11:44-45; 19:2; 20:7; 21:8). Kode hukum ini meliputi hukum moral (bab 18-20) yang membedakan bangsa Israel dari praktek-praktek kafir dari bangsa-bangsa lain tetangga mereka dan membentuk umat Allah dalam keadilan dan kasih; serta hukum ibadat (bab 17, 21-25) yang mengatur tempat kudus (Kemah Allah), para imam pelaksana dan pembantu ibadat, serta penyelenggaraan ibadat hari-hari raya dan tahun-tahun yang dipersembahkan kepada Tuhan. Bab terakhir (Im 27) mengatur soal nazar, janji, dan persembahan perpuluhan.

6. Kode Hukum Ulangan atau Deuteronomis (Ul 12-16). Syarat ketentuan perjanjian Ulangan atau Deuteronomis dibuat di Moab, dengan Musa selaku pengantara perjanjian. Kode hukum ini berfungsi sebagai Undang-undang Dasar yang mengatur kehidupan Israel sebagai negara-bangsa yang didirikan di Kanaan. Salah satu tujuan kode hukum ini adalah mengendalikan Israel yang tidak setia dengan menggunakan disiplin peraturan yang keras dan permanen. Kode hukum dengan demikian meliputi hakum ibadat dan kesalehan (Ul 12:1-16:17); pemimpin sipil dan ibadat (Ul 16:18-18:22); hukum pidana dan tata peradilan (Ul 19:1-21:9); hukum sosial dan rumah tangga (Ul 21:10-25:19); persembahan korban, perpuluhan dan dosa-doa (Ul 26:1-19). Ketentuan moral dan hukum juga dibuat Musa untuk memberi kelonggaran pada kesalahan kecil-kecil dengan mengaturnya, dengan harapan dapat mencegah mereka melakukan kejahatan yang lebih besar (Kel 24:1-4). Misalnya, bangsa Israel diizinkan bercerai dan menikah lagi (Kel 24:1), menikah dengan isteri-isteri budak asing (Ul 21:10-14), menumpas musuh hingga habis dalam perang (Ul 20:16-17) dan mendirikan kerajaan di Israel (Ul 17:14-20). Seperti yang diajarkan Yesus: “Karena ketegaran hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan isterimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian” (Mat 19:8).

Hukum Sesudah Zaman Pembuangan
A. Pembaruan Rohani
Ketika Koresy Agung mengizinkan pembangunan kembali Yerusalem dan Bait Allah pada tahun 538 SM, bukan hanya bangunan fisik Bait Allah saja yang dipugar. Pembaruan difokuskan pada Torah dan Bait Allah. Seluruh hidup keagamaan bangsa dibangun kembali. Pengalaman Pembuangan telah mengajar sisa-sisa Israel tentang konsekuensi kegagalan dalam hal ini. Di bawah Ezra, suatu pembaruan iman dan ibadat dilaksanakan seluruh bangsa. Hukum dihormati lebih dari sebelumnya.

B. Merosot Menjadi Legalisme Belaka
Namun penghormatan baru pada Hukum dengan mudah tergelincir pada legalisme belaka. Dengan begitu mudahnya Hukum menjadi serangkaian tampilan jasmaniah tanpa didukung oleh komitmen batiniah-rohaniah. Para nabi mengingatkan bahayanya menyikapi substansi Hukum yang hanya dilaksanakan secara ritual saja : “Sekiranya ada di antara kamu yang mau menutup pintu, supaya jangan kamu menyalakan api di mezbah-Ku dengan percuma. Aku tidak suka kepada kamu, firman Tuhan semesta alam, dan Aku tidak berkenan menerima persembahan dari tanganmu” (Mal 1:10).

Orang Farisi menjadi contoh kedua sisi pergumulan Hukum itu. Mereka mengajarkan untuk menghormati Hukum dan mendapat popularitas karena upaya mereka yang gigih untuk mengikuti setiap huruf Hukum. Di pihak lain mereka juga dikenal sangat berlebihan menyikapi detil kecil dari Hukum. Mereka membentuk suatu korpus tafsir yang makin rinci lagi dan mendapatkan lubang-lubang pelarian dari kata-kata Hukum untuk menghindari pelaksanaannya (Mat 15:1-6; Mrk 7:1-13; Luk 11:37-42).

Legalisme yang berlebihan inilah yang menimbulkan kecaman tajam dari Yesus. ''Sungguh pandai kamu mengesampingkan perintah Allah, supaya kamu dapat memelihara adat istiadatmu sendiri,” kataNya. “Karena Musa telah berkata: Hormatilah ayahmu dan ibumu! dan: Siapa yang mengutuki ayahnya atau ibunya harus mati. Tetapi kamu berkata: Kalau seorang berkata kepada bapanya atau ibunya: Apa yang ada padaku, yang dapat digunakan untuk pemeliharaanmu, sudah digunakan untuk korban -- yaitu persembahan kepada Allah --, maka kamu tidak membiarkannya lagi berbuat sesuatu pun untuk bapanya atau ibunya. Dengan demikian firman Allah kamu nyatakan tidak berlaku demi adat istiadat yang kamu ikuti itu. Dan banyak hal lain seperti itu yang kamu lakukan.'' (Mrk 7:9-13). Namun Yesus masih menghormati peranan para Farisi sebagai guru. ''Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi telah menduduki kursi Musa. Sebab itu turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya” (Mat 23:2-3)

Hukum Lama
A. Hukum Lama dan Hukum Kodrat
Umat Kristen menyebut Hukum Musa sebagai “Hukum Lama”. Hukum Lama merupakan tahapan pertama dari hukum yang diwahyukan. Ketika Tuhan memilih Israel sebagai umatNya dan menyiapkan dunia bagi kedatangan Kristus melalui mereka, Ia memberikan Hukum kepada mereka untuk menjadikan mereka kudus dan baik. Hukum Musa mengungkapkan banyak kebenaran dari hukum kodrat. Sepuluh Perintah Allah melarang apa yang bertentangan dengan kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama dan mengajar kita agar menjauhi yang jahat. Perintah-perintah itu membina hati nurani kita untuk mengenali pokok-pokok dasar hukum kodrat. Kristus menegaskan kesahihan Sepuluh Perintah Allah dan menyatakan bahwa kesemuanya itu diringkas menjadi perintah kasih dua arah (Mat 22:34-40). Ia juga mengajarkan supaya kita melaksanakan perintah-perintah itu supaya dapat memeroleh hidup kekal (Luk 18:18-23).

B. Hukum Lama Bersifat Sementara
Namun Hukum Lama berisi begitu banyak peraturan yang sifatnya mudah berubah dan sementara, peraturan yang berkaitan dengan soal makanan dan perayaan yang dimaksudkan untuk menjinakkan seorang anak yang suka memberontak (Ul 9:7) yang harus dikendalikan dengan aturan disiplin yang keras dan permanen dan dituangkan dalam ketentuan-ketentuan perjanjian. Berbagai aturan sementara ini dipenuhi dengan kedatangan Yesus Kristus, yang mendatangkan segala sesuatu yang tidak bisa dihasilkan Hukum Lama: Roh Kudus, pengampunan dosa, kebebasan yang sejati untuk hidup dalam kasih, kerahiman dan kesetiaan kepada Tuhan,

C. Hukum Lama Menunjuk Pada Hukum Baru
Hukum Lama adalah kudus, rohani dan baik dan berfungsi memberikan arahan dan menyatakan dosa, namun tetap tidak sempurna (Rm 7:12.14.16; Gal 3:24). Hukum itu mengungkapkan dosa dan bahkan menahan dosa hingga titik tertentu. Hukum Lama juga mengajarkan kerendahan hati: memperlihatkan ketidakmampuan kita untuk hidup menurut standar Allah yang tinggi dengan mengandalkan kekuatan kita sendiri. Namun Hukum Lama tidak bisa menebus Israel dari dosa melalui pengampunan dan pertolongan rohani dari Roh Kudus. Sebaliknya, “hukum Taurat adalah penuntun bagi kita sampai Kristus datang” (Gal3:24). Hukum itu memelihara umat Allah, menyelamatkan mereka dari kecenderungan mereka yang paling buruk, sampai tiba saat yang tepat bagi Injil. Taurat mempersiapkan umat menghargai perintah yang tertinggi. Seperti yang diajarkan Yesus: ''Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.'' (Mat 22:37-40)

Hukum Lama tetap merupakan langkah pertama menuju Hukum Baru, persiapan bagi Injil yang akan menuliskan Hukum di hati manusia. Hukum Lama mengantisipasi Hukum Baru yang membawa kebebasan dari dosa dan akan dipenuhi di dalam Kristus (KGK 1961-1964, 2059).

Hukum Baru
A. Yang Lama Bukan Dihapuskan, Tapi Digenapi
Yesus membahas Hukum Lama di dalam Khotbah di Bukit: ''Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya. Karena Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titik pun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi” (Mat 5:17-18). Yesus sendiri mematuhi hukum dengan sempurna (1 Ptr 3:22-23). Mereka yang hidup di bawah Hukum Lama tidak mampu mematuhi Hukum sepenuhnya tanpa melanggar sebagian dari prinsip-prinsipnya. “Sebab barangsiapa menuruti seluruh hukum itu, tetapi mengabaikan satu bagian dari padanya, ia bersalah terhadap seluruhnya” (Yak 2:10; bdk Yoh 7:19; Kis 13:38-41; 15:10; Rm 10;2; Gal 3:10; 5:3) (KGK 577-578).

B. Hukum Lama Disempurnakan Hukum Baru
Kristus mengungkapkan bahwa dalam diriNya Hukum Lama mencapai kepenuhannya, kesempurnaannya, dan tujuan utamanya. Yesus sebagai guru Hukum, sesungguhnya meninggikan standar kepatuhan pada Hukum dengan memenuhi tuntutan-tuntutannya, bukan hanya sebagai tindakan lahiriah saja, tetapi juga dengan segenap pikiran dan maksud hati. Ia menuntut sikap yang “lebih benar” daripada yang dilakukan orang Farisi (Mat 5:20).

Jika Hukum Musa dimaksudkan untuk membina dan membimbing Israel kepada ibadat yang benar kepada Tuhan dan dengan demikian menyiapkan kedatangan Mesias, Hukum Baru – Hukum dari Perjanjian Baru dan Kerajaan Allah – tertuju kepada segala bangsa di dunia. Karenanya, banyak dari Hukum Lama Israel, misalnya yang menyangkut soal makanan (Mrk 7:18-21; Gal 3:24) dan perceraian dan kawin lagi (bdk Ul 24:1-4; Yes 50:1; Yer 3:8; Mat 19:6.8; 1 Kor 7:10-11) tidak diperlukan lagi karena fungsinya sudah selesai. Hukum ibadat Musa sudah terlaksana peranannya sebagai tipologi dan gambaran korban yang ideal dan sempurna dan bagi sakramen-sakramen Hukum Baru. Melalui wafatNya di kayu salib, Yesus menanggung semua kutuk-laknat dari Hukum dan memeteraikan Perjanjian Baru (bdk Yer 31:33; Yes 42:3; Gal 3:13; Ibr 9:15).

C. “Hukum Kristus”.
“Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus” (Gal 6:2). Kita adalah anak-anak Allah dan ahli waris bersama dengan Kristus, dan iman kita mendorong kita untuk meneladan Kristus (Mat 11:29; 1 Yoh 2:6), bukan karena wajib, tetapi melimpah dari rasa sukacita kita. Kita harus mengikuti ajaranNya untuk saling mengasihi (Mat 22:35-40; Yoh 13:34) dan melaksanakan perintah-perintahNya (Mat 19:17-18).

Di dalam katekese Kristen awal, standar kehidupan moral masih dipandu dengan prinsip-prinsip Dekalog, Sepuluh Perintah Allah (Rm 13:8-10; 1 Kor 7:19; Gal 5:13-14; Ef 6:2; Yak 2:8-12). Realitas baru dalam Roh Kudus memampukan kita memenuhi tuntutan Hukum untuk hidup benar (Rm 8:2-4).

Hidup moral Kristen juga berakar dalam kasih Kristus: “Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi.” (Yoh 13:34). Setiap orang Kristen dipanggil untuk berbagi dalam rahmat dan kasih Yesus yang datang “bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang'' (Mat 20:28). Paus Yohanes Paulus II mengaitkan rahmat dan kasih itu bersama-sama ketika ia menulis:
Mengikut Yesus bukanlah meniru secara lahiriah, sebab tindakan itu menyentuh manusia pada inti keberadaannya yang paling dalam. Menjadi pengikut Kristus berarti menjadi seperti Dia yang menjadi hamba, bahkan menyerahkan diri di kayu Salib (bdk Flp 2:5-8). Berkat iman, Kristus tinggal di hati orang beriman (bdk Ef 3:17), dan dengan demikian murid diselaraskan dengan Tuhan. Ini merupakan buah rahmat, dari kehadiran yang aktif Roh Kudus dalam kita (Veritatis Splendor art 21).

Mengikut Kristus merupakan dasar yang sebenarnya dari moralitas Kristen. Mengikut Kristus bukanlah semata-mata mengikuti suatu perintah. Moralitas Kristen menuntut suatu tanggapan yang lebih radikal: “berpeganglah terus pada pribadi Kristus, turut serta dalam hidupNya dan apa yang dialamiNya, ikut berbagi dalam ketaatanNya yang bebas dan penuh kasih kepada kehendak Bapa” (Veritatis Splendor art 19). Dengan melakukan itu murid Yesus menjadi murid Tuhan (KGK 1691-1696; 1716-1724; 1730-1742; 1914-1974; 1987-2005; 1052-1074).

Bahaya Aktivisme

Ada sebentuk kekerasan zaman ini yang begitu luas tersebar pada mereka yang kerasukan aktivisme dan kerja berlebihan. Ketegangan dan tekanan hidup modern merupakan suatu wajah, mungkin wajah yang paling umum, dari kekerasan yang terdapat dalam diri seseorang. Membiarkan diri hanyut terbawa oleh begitu banyak urusan mendesak yang saling bertabrakan, menyerahkan diri pada berbagai macam tuntutan, mengikatkan diri pada begitu banyak proyek, berhasrat membantu setiap orang dalam segala hal, adalah sama saja dengan menyerah ditelan kekerasan hidup. Dalam semua itu orang bahkan bekerja sama dengan kekerasan. .... Kesibukan yang luar biasalah yang menghancurkan, karena kesibukan itu membunuh akar kebijaksanaan batin yang mestinya dapat membuat aktivitas orang berbuah lebih baik (Thomas Merton).

Jangan mengira harus melakukan segalanya atau seluruh pekerjaan

Kita perlu belajar memanfaatkan berapapun waktu yang tersedia bagi kita untuk hal-hal yang mungkin dilakukan dan sehat. Jika melihat kebun kita dan mengira harus bekerja mengambil semua gulma dan ilalang, mengapa tidak kita cabut saja yang besar-besar lebih dulu? Jika kita akan kedatangan tamu dan menjamunya makan malam, mungkin kita berpikir harus membersihkan dan menggosok semua perabot perak supaya mengkilat, mengapa kita tidak menyiapkan perabot yang akan kita gunakan pada kesempatan itu saja?

Batu, Uang dan Katedral

Ada tiga orang tukang bangunan rumah yang sedang bekerja menyusun batu. Seseorang datang menjumpai mereka dan mengajukan pertanyaan yang sama kepada masing-masing tukang: “Apa yang sedang Anda lakukan?”
Tukang yang pertama meludah ke tanah, lalu mendongak memandang orang itu. “Aku sedang menyusun batu. Emangnya aku kelihatan sedang apaan, sih?”
Tukang yang kedua melenguh sambil mengangkat alisnya, “Aku sedang mencari uang untuk hidup.”
Tukang yang ketiga mengangkat mukanya dan matanya berkilat-kilat, katanya, “Aku sedang membangun sebuah katedral!”
Menurut Anda, tukang yang mana yang di akhir hari itu akan merasa paling segar? Pandangan siapakah yang paling positif dan menguntungkan?
Kita tidak bisa melihat “katedral” jika kita hanya memusatkan perhatian pada “bata” dan “upah uang” saja.

“Apa sih yang benar-benar penting?”

Hidup niscaya kita jalani dengan cara yang berbeda jika kita sering-sering mengolah pertanyaan ini.
Mungkin kita akan memilih untuk bermain layang-layang dengan anak lelaki kita daripada kerja lembur; berjalan-jalan di taman kota dan menikmati bunga warna-warni dengan anak perempuan kita; memilih pergi ke bioskop dengan seorang teman, atau duduk di teras belakang dan menikmati cuaca yang indah, atau menengok wajah Tuhan pada bayi yang baru dilahirkan; mungkin kita memilih untuk merasakan berkat dari orang yang lebih tua ketika kita menyediakan diri untuk duduk menemaninya, dan mau mendengarkan cerita kebanggaannya yang dikisahkannya berulang kali.

Siapa Yang Baik dan Siapa Yang Jahat?

Salah satu risiko terbaru di dalam perang melawan yang jahat adalah kekeliruan menerapkan sesuatu garis demarkasi yang memperlawankan sifat-sifat pada tatanan fisik manusia, dengan menciptakan kubu yang bertentangan antara “orang baik” dan “orang jahat”. Kita sering bicara tentang Tuhan dan gerakan yang melawan setan dan dunia, namun kenyataannya, garis pemisah antara baik dan jahat itu ada pada setiap hati manusia. Lalu, siapa yang akan kita adili selain diri kita sendiri?
Mahatma Gandhi suatu ketika mengajar, “jika Anda membenci ketidakadilan, tirani, korupsi, keserakahan dan kerakusan, bencilah semua itu pada diri Anda sendiri lebih dulu.”
Ketika diminta mengadili seorang pelacur, Yesus Kristus berkata: “Barang siapa merasa dirinya tidak punya dosa, silakan melemparkan batu pertama kepadanya.” Nyatanya tidak ada seorang pun yang dengan sadar merasa tak punya dosa.

Selasa, 08 Juni 2010

Kasih Dalam Kebenaran (8)

(Caritas In Veritate)
Ensiklik Paus Benediktus XVI
Terjemahan oleh Bambang Kuss

8. Pada tahun 1967, ketika menerbitkan Ensiklik Populorum Progressio (disingkat PP, Perkembangan Bangsa-bangsa. Pentjh), pendahuluku yang suci Paus Paulus VI menguraikan tema besar tentang perkembangan bangsa-bangsa dengan terang kebenaran dan cahaya yang lembut dari kasih Kristus. Ia mengajarkan bahwa hidup dalam Kristus merupakan faktor yang terutama dan utama bagi perkembangan [PP 16] dan ia mempercayakan kepada kita tugas untuk menyusuri lorong perkembangan itu dengan sepenuh hati dan akal-budi kita [PP 82], yaitu dengan semangat kasih dan hikmat kebenaran. Adalah kebenaran asali mengenai kasih Allah, rahmat yang dicurahkan bagi kita, yang membuat hidup kita terbuka pada anugerah dan memampukannya mengharapkan “pengembangan manusia seluruhnya dan pengembangan semua orang” (PP 42), mengharapkan kemajuan “dari situasi yang kurang manusiawi kepada situasi yang lebih manusiawi” (PP 20), yang dicapai dengan mengatasi kesulitan-kesulitan yang tak dapat tidak pasti dijumpai sepanjang jalan.

Selang empat puluh tahun sesudah terbitnya Ensiklik itu, aku ingin mengenang dan memberi penghormatan kepada Paus Paulus VI, dengan memperhatikan kembali ajarannya tentang perkembangan manusia yang integral dan menempatkan diriku di jalan yang ditunjukkannya, seraya menerapkannya di masa sekarang. Penerapan berkelanjutan pada keadaan dewasa ini sudah diawali dari Ensiklik Sollicitudo Rei Socialis (Tentang Keprihatinan Sosial), yang oleh Hamba Allah Paus Yohanes Paulus II dipilih untuk menandai peringatan duapuluh tahun terbitnya Populorum Progressio. Hingga waktu itu, hanya Ensiklik Rerum Novarum (dari Leo XIII, 1891. Ptjmh) yang dikenangkan dengan cara yang sama. Sekarang setelah dua puluh tahun lagi berlalu, aku nyatakan keyakinanku bahwa Populorum Progressio pantas dianggap sebagai “Rerum Novarum zaman sekarang”, dengan menghamparkan terang atas ziarah manusia menuju kepada kesatuan.

Teks Latin:
8. Anno MCMLXVII Litteras encyclicas Populorum progressio evulgans veneratus Decessor Noster Paulus VI, magnum populorum progressionis argumentum sub veritatis splendore atque suavi lumine Christi caritatis collustravit. Affirmavit ille Christi nuntium primum esse et praecipuum progressionis elementum [Cfr PP n. 16] atque ipse monita nobis reliquit in progressionis semita toto corde intellectuque procedendi [Cfr ibid., 82], id est cum caritatis ardore ac sapientia veritatis. Primigeniae est Dei amoris veritas, gratia quae nobis donatur, quae nostram vitam dono recludit atque efficit ut spe « profectui totius hominis et cunctorum hominum consulere » [Ibid., 42] possimus, per transitum « a minus humanis vitae condicionibus in humaniores » [Ibid., 20], qui per superatas difficultates obtinetur, quae in itinere necessario reperiuntur.

Plus quam XL exactis annis a Litteris encyclicis editis, laudes honoremque praeclaro quidem Pontifici Paulo VI tribuere volumus, eiusdem de integra humanaque progressione doctrinam repetentes atque eodem in cursu Nos ponentes, quem ipsa demonstravit, ut hodiernis temporibus accommodetur. Processus hic accommodationis a Litteris encyclicis Sollicitudo rei socialis sumpsit initium, quibus Dei Servus Ioannes Paulus II publicatas Litteras encyclicas Populorum progressio commemorare voluit, quattuor transactis lustris. Ad id tempus, talis commemoratio solummodo Litteris encyclicis Rerum novarum destinata est. Viginti post alios annos, persuasum Nobis habemus Litteras encyclicas Populorum progressio habendas esse ut « Litteras encyclicas Rerum novarum nostrae aetatis », humanitatis iter collustrantes, unitatem adepturae.

Christ’s Light Bearer

Just as natural light illumines the darkness and enables one to see visually, so the light of Christ shines in the hearts of believers and enables us to see the heavenly reality of God’s kingdom. In fact, our mission is to be light-bearers of Christ so that others may see the truth of the gospel and be freed from the blindness of sin and deception. Jesus remarks that nothing can remain hidden or secret. We can try to hide things from others, from ourselves, and from God. How tempting to shut our eyes from the consequences of our sinful ways and bad habits, even when we know what those consequences are. And how tempting to hide them form others and even from God. But, nonetheless, everything is known to God who sees all. There is great freedom and joy for those who live in God’s light and who seek this truth. Those who listen to God and heed his voice will receive more from him.

Senin, 07 Juni 2010

Kasih Dalam Kebenaran (7)

(Caritas In Veritate)
Surat Ensiklik Benediktus XVI
Terjemahan oleh: Bambang Kuss

7. Salah satu pertimbangan besar adalah kesejahteraan umum. Mengasihi seseorang berarti menginginkan kesejahteraan orang itu dan mengambil langkah efektif untuk mewujudkannya. Selain kesejahteraan bagi perorangan, ada juga kesejahteraan yang terkait dengan kehidupan dalam masyarakat: yakni, kesejahteraan umum. Ini adalah kesejahteraan “kita semua”, yang terdiri dari pribadi-pribadi, keluarga-keluarga dan kelompok-kelompok terdekat yang bersama-sama membentuk suatu masyarakat [bdk. Gaudium et spes, 26]. Suatu kesejahteraan yang diusahakan bukan demi kesejahteraan itu sendiri, melainkan demi orang-orang yang menjadi anggota masyarakat dan yang hanya dapat sungguh-sungguh dan secara efektif mengusahakan kesejahteraan mereka sendiri di dalam kesejahteraan umum itu. Menginginkan kesejahteraan umum dan berusaha mewujudkannya adalah merupakan syarat bagi keadilan dan kasih. Berpihak pada kesejahteraan umum di satu sisi mengusahakan, dan di sisi lain menyediakan diri, agar kompleks berbagai pranata yang memberi struktur kepada hidupnya masyarakat, secara yuridis, sipil, politik, budaya, menjadi suatu polis, atau kota. Semakin kita berusaha mewujudkan kesejahteraan umum yang berkaitan dengan kebutuhan yang sebenarnya dari sesama kita, semakin efektif kasih kita kepada mereka. Setiap orang Kristiani dipanggil untuk mengamalkan kasih ini, dalam suatu cara yang terkait dengan tugas pekerjaan mereka dan menurut derajat pengaruh yang dipancarkannya dalam polis. Ini merupakan lorong institusional – yang juga bisa kita sebut lorong politik – dari kasih, yang tidak kalah hebatnya dan efektifnya dengan jenis amal kasih yang secara langsung berhadapan dengan sesama, di luar pengantaraan polis. Jika dijiwai oleh kasih, komitmen kepada kesejahteraan umum niscaya lebih besar gunanya daripada sekedar kegiatan politis dan sekuler belaka. Sebagaimana semua komitmen pada keadilan, komitmen pada kesejahteraan umum mempunyai tempat dalam kesaksian kasih ilahi yang merintis jalan kepada hidup kekal melalui tindakan fana. Kegiatan manusia di dunia, bila disemangati dan ditopang oleh kasih, memberikan sumbangan kepada pengembangan kota ilahi yang universal, yang adalah tujuan dari sejarah umat manusia. Di dalam suatu masyarakat yang semakin mengglobal, kesejahteraan umum dan upaya mewujudkannya jangan sampai gagal memerhitungkan dimensi-dimensi dari keseluruhan keluarga manusia, artinya, masyarakat manusia dan bangsa-bangsa [bdk Yohanes XXIII, Ens. Pacem in Terris: AAS 55 (1963), 268-270] sedemikian sehingga membangun kota duniawi dalam kesatuan dan perdamaian, dan dalam derajat tertentu merupakan suatu antisipasi dan suatu gambaran pendahuluan dari kota ilahi yang bersatu pula.

Teks Latin:
7. Magni proinde bonum commune est ducendum. Quemquam diligere idem est ac eius bonum velle atque efficaciter eius causa agere. Iuxta singulorum bona, adest bonum, quod cum sociali personarum convictu nectitur: bonum commune. Bonum est « omnium nostrorum », quod singuli, familiae atque coetus medii constituunt, qui in communitatem socialem confluunt [cfr. Gaudium et spes, 26.]. Non est sane bonum per se ipsum conquisitum, sed personarum gratia, quae communitatem socialem participant atque in ea tantum reapse et efficaciter bonum suum consequi possunt. Iustitiae est et caritatis bonum commune velle et pro eo operari. Bono communi studere idem est atque hinc curare illinc adhibere instituta illa universa quae ad iuridicam, civilem, politicam, culturalem rationem socialem convictum efficiunt, qui hoc modo póleos, urbis, speciem obtinet. Eo efficacius proximus amatur, quo magis bonum commune colitur, quod veris necessitatibus occurrat. Quisque christianus ad hanc caritatem vocatur pro sua vocatione ac pro suis facultatibus pólin attingentibus. Ratio est haec institutionalis – dici potest etiam politica – caritatis, quae non minus est praestabilis efficaxque quam caritas quae ipsum proximum convenit, haud intervenientibus póleos institutionibus. Cum id movet caritas, communis boni munus plus valet quam saeculare politicumque officium. Quidquid pro iustitia agitur, id in illa divinae caritatis testificatione inscribitur, quae temporaliter operando, aeternitatem parat. Agens in terra homo, cum caritas eum inspirat atque sustinet, operam dat ut universalis illa civitas Dei aedificetur, ad quam humanae familiae historia procedit. In societate illa quae ad globalizationem vertitur, bonum commune eiusque cura non possunt universam hominum familiam non complecti, videlicet populorum Nationumque communitatem [cfr. Ioannes XXIII, Litt. enc. Pacem in terris (11 Aprilis 1963): AAS 55 (1963), 268-270], ita ut unitatis pacisque imago hominis civitati praebeatur, atque in antecessum quodammodo Dei civitas sine saepimentis effingatur.

Kasih Dalam Kebenaran (6)

(Caritas In Veritate)
Surat Ensiklik Benediktus XVI
Terjemahan oleh: Bambang Kuss

6. “Caritas in veritate”, kasih dalam kebenaran, merupakan prinsip poros untuk kiprah ajaran sosial Gereja, suatu prinsip yang mengambil bentuk praktis dalam kriteria yang mengatur tindakan moral. Khususnya di sini hendak kupaparkan dua di antaranya, yang mempunyai relevansi khusus pada komitmen atas kemajuan masyarakat yang bertambah mengglobal, yaitu keadilan dan kesejahteraan umum.
Pertama-tama untuk keadilan, kita berkata: Ubi societas, ibi ius: Di mana ada masyarakat, di situ ada hukum. Setiap masyarakat mempunyai sistem keadilannya sendiri. Kasih terlaksana melampaui keadilan, karena mengasihi berarti memberi, menawarkan apa yang menjadi “milikku” kepada pihak lain; namun kasih tidak pernah kurang adil, karena mendesak kita memberikan kepada pihak lain apa yang memang “miliknya”, entah karena keberadaannya, maupun karena apa yang telah dilakukannya. Aku tidak dapat “memberikan” milikku kepada orang lain tanpa lebih dulu memberikan kepadanya apa yang menjadi miliknya di dalam keadilan. Jika kita mencintai orang lain dengan kasih, maka pertama-tama kita harus adil pada mereka. Keadilan bukanlah sesuatu yang berada di luar kasih, juga bukan suatu jalan alternatif ataupun lorong yang sejajar bagi kasih: keadilan itu tidak terpisahkan dari kasih (Bdk Paus Paulus VI, Ensiklik Populorum Progressio, 1967, art 22; Konsili Vatikan II, Konstitusi Pastoral Gereja Di Dunia Modern, Gaudium et Spes, art 69), dan terkandung di dalamnya. Keadilan adalah jalan utama dari kasih atau dalam kata-kata pendahulu kami Paulus VI, “norma minimum” darinya (Paulus VI, Pidato Hari Pembangunan 23 Agustus 1968), suatu bagian yang tak terpisahkan dari kasih “dengan perbuatan dan dalam kebenaran” (1 Yoh 3:18) yang diserukan Santo Yohanes kepada kita. Di satu sisi, kasih mensyaratkan keadilan: pengakuan dan hormat pada hak-hak yang sah dari perorangan dan bangsa-bangsa. Kasih berjuang membangun masyarakat manusia (kota manusia) sesuai dengan hukum dan keadilan. Di sisi yang lain, kasih melampaui keadilan dan melengkapinya dengan logika memberi dan mengampuni (bdk Yohanes Paulus II, Pesan Hari Perdamaian Dunia 2002). “Masyarakat manusia” (kota manusia) dimajukan bukan saja berdasarkan hubungan antara hak dan kewajiban, tetapi dalam jangkauan yang lebih besar dan lebih mendasar dibangun dengan hubungan-hubungan kemurahan hati, pengampunan dan persekutuan. Kasih selalu mewujudkan kasih Allah dalam hubungan-hubungan manusiawi juga; kasih itu memberikan nilai teologis dan keselamatan kepada segala komitmen atas keadilan di dunia.

Teks Latin
6. « Caritas in veritate » principium est in quo tota socialis Ecclesiae doctrina sistit, principium scilicet quod formam induit, quae in normis moralem actionem moderantibus operatur. Harum duas nominatim memorare volumus, quae peculiarem in modum officio suggeruntur societatem amplificandi, quae ad globalizationem vertitur, videlicet iustitiam et bonum commune.
Primum iustitiam dicimus. Ubi societas, ibi ius: quaeque societas suum ipsius iustitiae ordinem constituit. Caritas iustitiam praetergreditur, quia amare est donare, « meum » alii ministrare; sed istud non sine iustitia fit, quae alii tribuendum curat quod « ad eum » spectat, quod, ratione habita ipsius essendi et operandi, ad eum pertinet. Alii meum « tribuere » non possum, quin primum quod ad eum secundum iustitiam spectat non dederim. Qui ceteros caritate amat, ante omnia erga eos aequus est. Non modo iustitia caritati non est aversa, non modo via non est quaedam succedanea vel caritati confinis: iustitia « a caritate seiungi non potest » (Paulus VI, Litt. enc. Populorum Progressio (26 Martii 1967), 22: AAS 59 (1967), 268; cfr Conc. Oecum. Vat. II, Const. past. de Ecclesia in mundo huius temporis Gaudium et Spes, 69), intra eam est. Iustitia prima est via caritatis vel, ad Decessoris Nostri Pauli VI effatum, « minima ipsius mensura » (Allocutio die progressioni provehendae dicato (23 Augusti 1968): AAS 60 (1968), 626-627) , pars quidem necessaria illius amoris « in opere et veritate » (1 Io 3, 18), de qua re monet apostolus Ioannes. Ex una parte caritas iustitiam secum fert: agnitionem scilicet et legitimorum iurium singulorum populorumque tuitionem. Dat ipsa operam ut « hominis civitas » ad ius iustitiamque constituatur. Ex altera, caritas iustitiam praetergreditur eamque donationis veniaeque ratione complet (Cfr Ioannes Paulus II, Nuntius ob diem ad pacem fovendam 2002: AAS 94 (2002), 132-140). « Hominis civitas » non solum iurium officiorumque vinculis provehitur, sed magis atque prae omnibus rebus gratuitatis, misericordiae communionisque vinculis. Usque etiam in humanis necessitudinibus Dei amorem ostendit caritas, vim theologicam salutaremque cunctis iustitiae officiis in terrarum orbe ipsa praebet.

Selalu Ada Keseimbangan Kodrati

Sir Isaac Newton memperlihatkan bahwa setiap tindakan atau aksi mempunyai balasannya atau reaksi yang setara; daya-daya datang berpasangan, katanya. Anda dapat memperhatikan gejala yang sama dalam reaksi kimia. Dalam kehidupan ini Anda mungkin memerhatikan apa yang datang berputar-putar, berulang. Semuanya mempunyai keseimbangan yang inheren.

Walaupun sesuatu tampak berat sebelah di satu sisi dalam suatu ketika, pada ketika itu juga tentu saja serentak hadir sisi yang lain yang setara dan merupakan reaksi lawannya. Jika seseorang mengritik Anda dan berusaha menjatuhkan Anda, misalnya, Anda dapat melihat dan mengalami bahwa di suatu tempat lain secara serentak ada orang lain yang memuji Anda dan berusaha membangun citra Anda.

Jika Anda merenungkan waktu sejenak, atau suatu rentangan masa yang panjang, Anda melihat tatanan besar. Alam semesta memelihara keseimbangan dan keselarasan sinkronis.

Sabda Bahagia

Perikop Mat 5:3-10 lebih dikenal sebagai Delapan Sabda Bahagia dari Yesus dalam Khotbah di Bukit (bdk juga Luk 6:20-26). Dari segi sastra, Sabda Bahagia ini mengandung konotasi yang berkaitan dengan bentuk sastra dalam kesusastraan Mesir, Yunani dan Roma yang mengungkapkan pujian dan ucapan selamat.

Nama Sabda Bahagia (Beatitudes) berasal dari kata Latin beati (bentuk jamak dari “beatus”, atau “yang diberkati”), yaitu kata yang mengawali ucapan-ucapan dalam terjemahan Latin dari Khotbah di Bukit [Beati pauperes spiritu, .... Beati, qui lugent, ... Beati mites,..... Beati, qui esuriunt et sitiunt iustitiam,.... Beati misericordes,....Beati mundo corde, .....Beati pacifici, ..... Beati, qui persecutionem patiuntur propter iustitiam,..... Beati estis cum maledixerint vobis et persecuti vos fuerint et dixerint omne malum adversum vos, mentientes, propter me..]. Jadi sama dengan nama “Sabda Bahagia” yang diambil dari kata pertama dari ucapan-ucapan Yesus yang sama yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Berbahagialah....

Bentuk sastra “Berbahagialah” itu terdapat baik di dalam Perjanjian lama maupun Perjanjian Baru. Bentuk sastra “Berbahagialah” dalam Perjanjian Lama terutama terdapat dalam sastra kebijaksanaan. Dalam Mazmur, misalnya, kita temukan ucapan berbahagia itu bagi: orang yang berjalan di jalan Tuhan (Mzm 1), yang percaya kepada Tuhan (Mzm 2:12), yang dosanya diampuni (Mzm 32:1), dan yang takut pada Tuhan (Mzm 112:2).

Dalam Perjanjian Baru terdapat sekitar tigapuluh-tujuh bentuk sastra ucapan “Berbahagialah” (Mat 5:3-11; 11:6; 13:16; 16:17, 24:46; Luk 1:45; 6:20-22; 7:23; 10:23; 11:27-28; 12:37.43; 14:15; 23:29; Yoh 20;29; Rm 4:7.8; 14;22; Yak 1:12; Why 1:3; 14:13; 16:15; 19:9; 20:6; 22:7). Dari semuanya itu tujuh belas ucapan bahagia di dalam Injil berasal dari Yesus. Ucapan-ucapan itu mengungkapkan perubahan hidup yang dituntut oleh iman kepada Yesus (Mat 11:6; 24:46; Luk 7:23; 12:37; Yoh 13:17; 20:29). Ada tujuh ucapan bahagia dalam Kitab Wahyu (1:3; 14:13; 16:15; 19:9; 20:6; 22:7.14), yang menyatakan situasi bahagia dari kaum beriman yang telah diselamatkan.

Sabda Bahagia dalam Khotbah di Bukit merupakan ikhtisar singkat Jalan Kristus (Katekismus Gereja Katolik, selanjutnya disingkat KGK, 1697). Ucapan itu merupakan inti sari dari ajaranNya dan merupakan pemenuhan dari “semua janji yang telah diberikan kepada umat terpilih sejak Abraham. Sabda Bahagia menyempurnakan janji-janji itu, karena tidak hanya diarahkan kepada pemilikan suatu negeri saja, melainkan kepada Kerajaan Surga” (KGK 1716).. Memang ucapan-ucapan itu menyatakan “bahagia” berbagai keadaan yang menurut ukuran duniawi direndahkan : miskin, berduka, dianiaya, dan sebagainya. Namun itulah situasi dari hidup Kristus sendiri di dunia; dan ucapan-ucapan itu “mengungkapkan panggilan umat beriman berkaitan dengan Sengsara dan KebangkitanNya yang mulia” (KGK 1717).

Sabda Bahagia dalam Injil Matius berbeda dari Sabda Bahagia dalam Injil Lukas dalam beberapa hal. Di dalam Injil Matius Yesus mengarahkan ucapan bahagia itu menggunakan kata ganti orang ketiga (“Berbahagialah orang yang...”) sedangkan dalam Injil Lukas menggunakan kata ganti orang kedua (“Berbahagialah hai kamu...”). Selain itu lain dari Matius, berkat dalam Lukas diikuti dengan kutuk, pernyataan-pernyataan yang dimulai dengan “Celakalah kamu...” Perbedaan ini tidak harus dipertentangkan atau kontradiktif. Sebagai pengkhotbah keliling, Yesus pastilah mengajarkan tema yang sama dalam beberapa kesempatan, dan sering bervariasi penyampaianNya.

Walaupun Yesus dalam penyampaikan Sabda Bahagia itu menggunakan situasi indikatif (gambaran petunjuk keadaaan), tradisi Kristen menafsirkan Sabda bahagia itu sebagai imperatif, perintah moral, yaitu sebagai petunjuk ilahi bagi perilaku manusia. Sabda Bahagia sering disajikan sebagai suplemen (tambahan) atau pelengkap (komplemen) bagi Sepuluh Perintah Allah. Bagian “Moral” dari Katekismus Gereja Katolik diawali dengan pembahasan mengenai Sabda Bahagia. “Sabda bahagia mengungkapkan maksud keberadaan manusia, tujuan akhir perbuatan manusia: Allah memanggil kita ke dalam kebahagiaanNya sendiri. Allah menyampaikan panggilan ini kepada setiap manusia secara pribadi, tetapi juga kepada Gereja sebagai keseluruhan, kepada umat baru, yakni mereka yang telah menerima janji dan hidup dari-Nya dalam iman” (KGK 1719).

Sabda Bahagia dari Kristus bersifat “eskatologis”. Mereka menyatakan berkat yang akan diterima sepenuhnya pada akhir zaman, tetapi mereka menyatakannya sebagai “berkat dan ganjaran, yang sudah murid-murid miliki secara tersamar” (KGK 1717). “Sabda Bahagia mengarahkan harapan kita ke surga sebagai tanah terjanji yang baru; mereka menunjukkan jalan yang melalui berbagai pencobaan yang menantikan murid-murid Yesus. Tetapi berkat jasa Yesus Kristus dan berkat SengsaraNya, Allah memelihara kita di dalam ‘pengharapan yang tidak pernah gagal’.” (KGK 1820).

Para ahli kadang-kadang membedakan dua macam sabda bahagia, eulogi dan makarios. Eulogi (dari kata Yunani eulogia, artinya “berkat, bahagia”) biasanya terkait dengan berkat dari perjanjian. Sedangkan makarios adalah situasi ”senang” atau “beruntung”, yang menggambarkan kebahagiaan kodrati yang dinikmati seseorang yang mempunyai kualitas atau kebiasaan yang baik. Pembedaan ini tidak membantu untuk menafsirkan Sabda Bahagia dari Khotbah di Bukit, sebab dimulai dengan makarios dalam menggambarkan situasi seperti berdukacita yang tidak selaras dengan kesenangan kodrati. Sebaliknya situasi-situasi yang digambarkan itu mengarahkan kita kepada kebahagiaan adikodrati; “mereka membersihkan hati kita dan mengajarkan kita mencintai Allah di atas segaIa sesuatu” (KGK 1728). Dalam pandangan dunia alkitabiah, tidak ada tempat bagi “keberuntungan”, atau “nasib baik”; sebab bahkan situasi yang tidak menguntungkan pun dapat dipandang sebagai berkat bahagia jika dilihat dengan terang Penyelenggaraan Ilahi dan perjanjianNya. “Sabda bahagia sesuai dengan kerinduan kodrati akan kebahagiaan. Kerinduan ini berasal dari Allah. Ia telah meletakkannya di dalam hati manusia, supaya menarik mereka kepada diri-Nya, karena hanya Allah dapat memenuhinya” (KGK 1718).

Cinta dan Hukum Polaritas

Jika kita berpindah pada pelajaran Fisika, lalu kita bisa mengingat kembali sesuatu yang disebut dualitas partikel gelombang, yang pada dasarnya suatu sebutan ilmiah dari Hukum Polaritas.

Anda tahu, cahaya berperilaku dengan cara yang menarik, bergantung pada ragam pengalaman Anda. Kadang cahaya itu menunjukkan partikel-partikel seperti perilaku, dan kadang-kadang bertindak seperti gelombang. Sebenarnya dia itu yang mana? Dia adalah keduanya. Para fisikawan menyebut “sifat gelombang partikel-partikel” dan “sifat gelombang dari partikel-partikel” waktu menjelaskan dualitas sifat cahaya.

Hukum polaritas menyatakan bahwa segala sesuatu (bukan hanya cahaya) dapat dipisahkan menjadi dua bagian yang seluruhnya berlawanan, dan di mana masing-masing dari keduanya masih saling mengandung potensial dari yang lain. Partikel-partikel memiliki potensialitas gelombang, atas dengan bawah, putih dengan hitam, lambat dengan cepat..... dan begitu juga gembira dan susah, pemujaan dengan penghinaan, murah hati dan pelit, keramahan dan kekejaman, dan sebagainya.

Tidak ada sesuatu yang hanya indah atau hanya tragis, begitu juga tidak ada orang yang semata-mata hanya baik atau hanya buruk. Tindakan memberi label dengan cara ini membantu kita membicarakannya, tetapi tidak menyebabkan kita mendekati inti dari hati yang mencinta. Maka setiap kali Anda membiarkan diri Anda mengalami suatu keadaan ekstrim tertentu, ingatlah bahwa Anda juga sama-sama mengalami pengalaman yang sama atas sisi ekstrim lawannya. Jika Anda mengakui bahwa sikap berat sebelah itu hanyalah suatu fungsi persepsi saja, bukan kebenaran yang lengkap, maka sikap Anda masih terbuka juga untuk melihat sisi yang sebaliknya. Dan jika Anda membiarkan diri Anda memandang keseluruhan dari segala sesuatu, Anda terbuka pada kesempurnaan ilahi dari alam semesta ini.

Tidak ada sesuatu yang mutlak satu sisi, berat sebelah; segala sesuatu mengandung hal-hal yang berlawanan. Semuanya adalah cinta.

Khotbah di Bukit

Umat Katolik diajak merenungkan Khotbah di Bukit melalui bacaan Injil dalam liturgi harian, mulai dari Pekan Biasa X (7 Juni 2010) hingga pertengahan Pekan Biasa XII (23 Juni 2010). Khotbah di Bukit adalah sebutan untuk wacana Yesus dalam Mat 5-7 menurut tradisi. Suatu wacana paralelnya terdapat dalam Luk 6:20-49, yang sering disebut Khotbah di Tanah Lapang, karena diberikan di suatu “tanah datar” (Luk 6:17).

Nama “Khotbah di Bukit” pertama-tama digunakan oleh St Agustinus, yang mengkaji wacana itu sebagai suatu bagian tulisan yang khas (De Sermone Domini in Monte, sekitar tahun 395). Para ahli di abad keduapuluh menduga Matius menyusun khotbah itu dari perkataan-perkataan Yesus yang tersimpan dalam dokumen sumber hipotetis yang disebut Q (huruf depan kata Jerman Quelle, yang berarti sumber). Teks dalam Injil Matius menggunakan bahan yang sama dengan Khotbah di Tanah Lapang yang ada dalam Injil Lukas. Keduanya sama-sama diawali dengan Sabda Bahagia (Mat 5:3-12; Luk 6:20-26) dan diakhiri dengan Perumpamaan Dua Rumah (Mat 7:24-27; Luk 6:46-49). Apa pun sumbernya – tertulis ataupun lisan – para ahli yang paling kritis pun sepakat bahwa Khotbah Di Bukit menyimpan ajaran Yesus yang autentik.


GARIS BESAR

i. Pengantar (Mat 5:1-2)
ii. Sabda Bahagia (Mat 5:3-12)
iii. Garam Dunia (Mat 5:13-16)
iv. Yesus Memenuhi Hukum (Mat 5:17-20)
v. Enam Antitesis (Mat 5:21-48)
vi. Kesalehan yang benar (Mat 6:1-18)
vii. Kekayaan, kecemasan dan Tuhan (Mat 6:19-34)
viii. Penghakiman dan Hukum Emas (Mat 7:1-12)
ix. Pintu yang Sempit (Mat 7:13-14)
x. Pohon dan Buahnya (Mat 7:15-20)
xi. Murid yang Sejati dan yang Palsu (Mat 7:21-23)
xii. Perumpamaan Dua Rumah (Mat 7: 24-27)
xiii. Kesimpulan (Mat 7:28-29)


ISI

Khotbah Di Bukit adalah suatu proklamasi sekaligus Undang-undang Kerajaan Surga. Ia merupakan himpunan kode moral Kristen. Di dalamnya terkandung beberapa bahan yang sangat terkenal dalam Perjanjian Baru (misalnya Sabda Bahagia dan Doa Tuhan “Bapa Kami”). Yesus menyatakan permulaan Khotbah di Bukit dengan: “Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya” (Mat 5:17). Ia menjelaskan bagaimana Hukum Baru memenuhi dan memperdalam pengarahan yang telah ditunjukkan Hukum Lama. Ia mengajar tentang amarah, zinah, perkawinan dan perceraian, sumpah, perdamaian, kasih pada musuh, dan derma. Ia memberikan kepada kita doa Bapa Kami sebagai cara bagi kita untuk mendekati Bapa (Mat 6:9-13). Ia meletakkan Hukum Emas sebagai ringkasan etika Kristen.

Tuntutan dari Khotbah di Bukit adalah tuntutan yang menantang, namun merupakan kunci yang autentik bagi hidup Kristen. Tuntutan itu disampaikan dengan wewenang ilahi dan Mesianis yang melampaui wewenang Musa, yang dulu menyampaikan Hukum kepada Israel di Gunung Sinai. Seperti yang dinyatakan Matius di akhir Khotbah itu, “setelah Yesus mengakhiri perkataan ini, takjublah orang banyak itu mendengar pengajaran-Nya, sebab Ia mengajar mereka sebagai orang yang berkuasa, tidak seperti ahli-ahli Taurat” (Mat 7:28-29).

Santo Agustinus menyatakan bahwa Khotbah di Bukit menyampaikan “cara hidup Kristen yang sempurna... Khotbah ini memuat... semua prinsip yang diperlukan untuk membangun hidup” (De Serm. Dom 1.1). Paus Yohanes Paulus II almarhum menulis, Khotbah di Bukit merupakan Magna Carta (Undang-undang) moralitas Injil (Veritatis Splendor art 15), khususnya karena Khotbah itu “menunjukkan keterbukaan perintah dan orientasi mereka pada cakrawala kesempurnaan yang khas pada Sabda Bahagia. Melebihi semua janji, Sabda Bahagia ini secara tidak langsung mengalirkan indikasi normatif bagi hidup moral” (Veritatis Splendor art 17) (Lihat juga Katekismus Gereja Katolik [KGK] 1965-1966; 1968; 1454; 1724; 2153; 2262; 2336; 2608; 2830).

Hukum Kekekalan Energi

Jika Anda mengingat pelajaran kimia dari masa Sekolah Menengah dulu, Anda tentu sudah akrab dengan hukum kekekalan energi, yang menyatakan bahwa energi tidak dapat dibuat atau dihancurkan tetapi dapat berubah bentuknya. Dengan kata lain energi itu konstan, tidak datang, tidak pergi. Energi ada, titik.

Ketika hukum ini Anda bawa keluar dari kelas atau laboratorium dan Anda bawa dalam hidup Anda, Anda akan menyadari bahwa semua kehidupan selalu ada, titik. Keberadaan diwujudkan dengan energi dan materi, dan sementara bentuk-bentuk materinya boleh bergantian datang dan pergi, energinya tetap tinggal, beralih rupa/bentuk dan memberi daya hidup pada bentuk baru materi. Selanjutnya, sifat/tabiat karakter manusia sebagai semacam arus, juga disimpan dalam waktu. Mungkin mereka berubah perwujudannya dan menunjukkan diri dalam orang atau situasi baru, tetapi selalu ada. Sifat/tabiat itu juga tidak ke mana-mana, melainkan berubah rupa/bentuk.

Anggapan bahwa sesuatu sifat/tabiat itu hilang – dalam diri Anda maupun dalam diri orang lain – atau bahwa seseorang mendatangkan atau membawa pergi sesuatu sifat/tabiat, hanyalah ilusi belaka. Jika Anda memahami betapa hukum ini meliputi semua energi, Anda terbebas dari keterbatasan pengertian Anda dan melihat begitu luar biasa banyaknya bentuk/rupa dari semua ini.

Tidak ada yang hilang, dan tidak ada yang didapatkan atau lenyap. Segala sesuatu selalu ada. Begitulah energi; begitu juga cinta.

Santo Matius, Rasul, Pengarang Injil

Dalam rangka merenungkan Injil Matius sampai dengan akhir Pekan Biasa XXI, 28 Agustus nanti, ada baiknya kita juga mengenal Santo Matius yang menulis Injil Matius itu.

Nama Matius merupakan terjemahan bahasa Latin atas bentuk Yunani Matthaios dari nama Ibrani Mattanyah, artinya “karunia Tuhan”. Dia adalah seorang rasul Yesus dan di dalam tradisi dikenal sebagai pengarang Injil yang pertama. Namanya tercantum dalam daftar rasul-rasul (Mat 10:3; Mrk 3:18; Luk 6:15; Kis 1:13), tetapi ia disebut pemungut cukai hanya dalam Mat 9:9 dan 10:3. Dalam Mrk 2:14 dan Luk 5:27-28 ia disebut Lewi; dalam Injil Markus ia disebut anak Alfeus.

Matius atau Lewi menjamu Yesus di rumahnya, dan di sana terjadi percakapan yang terkenal di antara Yesus dengan orang Farisi tentang alasan mengapa Ia (Yesus) makan bersama dengan seorang pemungut cukai dan para pendosa lainnya (Luk 5:29-32), bahwa Ia datang bukan untuk orang benar, melainkan justru untuk orang berdosa.

Sedikit sekali yang diketahui tentang kehidupan Santo Matius sebagai seorang rasul di luar Injil Matius dan suatu karya himpunan perkataan (logia) Yesus dalam bahasa Ibrani yang dianggap berasal dari Matius. Sejarawan Kristen Eusebius dari Kaisarea di dalam karyanya Historia Ecclesiastica 3.24 menyatakan bahwa Santo Matius mengajar sesama orang-orang Yahudi. Namun ada tradisi lain menyatakan bahwa ia malahan mati sebagai martir jauh di Etiopia, Persia atau Pontus. Santo Matius diperingati setiap tanggal 21 September. Lihat juga Bambang Kuss Notes tentang Injil Matius. (Bahan : CBD)

Injil Matius

Sejak Pekan Biasa X dalam tahun Liturgi C/II 2010 di bulan Juni ini, setiap hari kita akan mendengarkan dan merenungkan Injil Matius sampai dengan akhir Pekan Biasa XXI, 28 Agustus nanti. Maka ada baiknya jika kita juga mengenal Injil Matius itu.

Injil Matius adalah kitab pertama dari kanon Perjanjian Baru dan pada umumnya diyakini jemaat Kristen kuno sebagai Injil pertama yang dituliskan. Tradisi ini tidak mendapat tentangan sampai zaman modern (abad kesembilanbelas), dan kini, pendapat yang berlaku di antara kebanyakan ahli abad keduapuluh adalah bahwa Injil Markus-lah yang dianggap sebagai Injil pertama.

Para ahli menyatakan bahwa Injil Matius ini ditulis bagi orang Kristen Yahudi karena sejumlah alasan: (1). Injil ini menekankan bahwa Kristus adalah pemenuhan Kitab Suci Perjanjian Lama. (2). Berbagai adat Yahudi disebutkan begitu saja, tidak diberi penjelasan. (3). Tradisi menyatakan bahwa Injil ini ditulis untuk orang Kristen Palestina. (4). Kristologi Matius didasarkan pada suatu pandangan akan Yesus sebagai seorang Musa baru, dan sebagai seorang Salomo baru yang membangun Bait Allah yang baru pula. Yesus lebih dimuliakan daripada para tokoh dan pranata Perjanjian Lama.

Injil Matius tidak menyebutkan nama pengarangnya, tetapi kesaksian Gereja purba pada umumnya menyatakan bahwa pengarang kitab ini adalah rasul Matius. Judul kitab Injil Yesus Kristus “Menurut Matius”, dianggap ditambahkan menjelang awal abad kedua atau tak jauh sebelumnya.

Injil ini sangat dikenal di kalangan Gereja purba. Kutipan dari dan rujukan-rujukan pada teks Injil Matius terdapat dalam Didakhe dan dalam tulisan-tulisan Santo Ignatius dari Antiokhia pada awal abad kedua M. Dari masa uskup Papias dari Hierapolis (sekitar tahun 120) pengarang kitab ini diyakini rasul Matius. Keraguan tentang hal ini baru muncul di abad kesembilanbelas.

Kapan Injil Matius ditulis sulit dipastikan. Hal itu untuk sebagian bergantung pada soal, apakah Matius mengandalkan Injil Markus atau tidak, apakah tradisi benar dalam pernyataannya bahwa Matius (atau sebagian darinya) pada mulanya dituliskan dalam suatu bahasa Semit dan baru kemudian diterjemahkan dalam teks Yunani yang kita miliki sekarang. Waktu penulisan yang diperkirakan untuk kitab ini terentang antara tahun 50 hingga 100 M, namun kebanyakan ahli lebih condong pada masa antara 80-90 M. Sementara itu. tidak ada bukti yang mendukung waktu penulisan sesudah hancurnya Yerusalem oleh bangsa Roma pada tahun 70M. Yesus dalam Injil Matius meramalkan bencana historis itu (Mat 22:7; 24:1-51), namun tidak ada petunjuk bahwa si pengarang Injil mengetahui peristiwa itu sudah terjadi. Komisi Kitab Suci Kepausan (Pontifical Biblical Commission) mengandalkan kuatnya bukti ini ketika di awal abad keduapuluh membahas penulisan Injil Matius :

Dukungan atas pendirian ini ditemukan di dalam Injil sendiri. Matius tidak merujuk sesuatu yang menegaskan kehancuran Yerusalem walaupun ia merekam ramalan Yesus mengenai hal itu dalam Wacana tentang Akhir Zaman (Mat 24:2). Ini menandakan titik penyimpangan dari gaya penulisan Matius yang biasa ketika menceritaan detil yang penting dan menarik yang tetap relevan pada masa ia menulis (bdk Mat 27:8; 28:15). Jika diambil bersama-sama, bukti itu menunjukkan suatu waktu penulisan yang lebih awal dari peristiwa yang mengerikan di tahun 70 itu, walaupun mayoritas ahli Kitab Suci tetap mempertahankan pendapat mengenai Markus sebagai Injil pertama.

ISI

i. Silsilah Kristus (Mat 1:1-17)
ii. Masa Kanak-kanak Yesus (Mat 1:18-2:23)
iii. Karya Awal Yesus (Mat 3:1-7:29)
A. Perutusan Yohanes Pembaptis (Mat 3:1-12)
B. Pembaptisan dan Pencobaan Yesus (Mat 3:13-4:11)
C. Misi Yesus di galilea (Mat 4:12-25)
D. Khotbah di Bukit (Mat 5:1-7:29)
iv. Yesus Membuat Mujizat dan Perutusan Keduabelas Rasul (mat 8:1-10:42)
v. Yesus Mengajar dan Menggunakan Perumpamaan (Mat 11:1-18:35)
vi. Perjalanan ke Yerusalem (Mat 19:1-20:34)
vii. Sengsara, Wafat dan Kebangkitan Yesus (Mat 21:1-28:20).

Tak bisa disangkal bahwa Matius adalah Injil yang paling dikenal, dan Injil Matius juga dikenal sebagai Injil yang paling cocok untuk pengajaran agama. Matius mengelompokkan beberapa bagian kisah dan wacana berselang-seling. Di dalam [enam rangkaian] khotbah, Matius menangkap suara Yesus yang mengajar dan bicara (bdk Mat 5:3-7:27; 10:5-42; 13:3-52; 18:2-35; 23:2-39; 4:4-25:46). Kitab ini disusun di sekitar rangkaian wacana Yesus itu, dan penyampaian ajaran serta tindakan Yesus bersama-sama menyingkapkan jati diri dan perutusanNya yang sebenarnya.


Beberapa tema dari Injil Matius:

A. Yesus Bersama Kita Dalam Gereja
Matius menyampaikan Kabar Gembira tentang karya penebusan Yesus. Ia menulis tentang Yesus sebagai “Emanuel” (Tuhan beserta kita), dengan menggunakan sebutan itu dalam bab pertama (Mat 1:23) dan kata-kata yang paling akhir diucapkan Yesus (Mat 28:20). Kita juga bisa menyebut Injil ini sebagai Injil yang paling “gerejawi”: Hanya Matius saja di antara Injil-injil yang menggunakan kata “Jemaat” atau Gereja (ekklesia, Mat 16:18; 18:17). Matius menunjukkan kepada kita bahwa Kerajaan Allah sudah didirikan di dunia di dalam Gereja, dan bahwa Kristus yang bangkit selalu menyertai umatNya di dalam Gereja.
Selanjutnya Matius berusaha mendokumentasikan pengelolaan Gereja dan kepemimpinan yang ditunjuk secara ilahi. Pentingnya para rasul dikatakan oleh Yesus ketika Ia menyatakan “apabila Anak Manusia bersemayam di takhta kemuliaan-Nya, kamu, yang telah mengikut Aku, akan duduk juga di atas dua belas takhta untuk menghakimi kedua belas suku Israel” (Mat 19:28). Pucuk pimpinan atas Gereja diberikan kepada Petrus selaku Karang (Mat 16:18) dan kepadanya Yesus mempercayakan “kunci-kunci Kerajaan Surga” (Mat 16:19), dan atas dia Yesus membangun Gereja-Nya, Bait Allah yang baru. Yesus juga memberikan kuasa untuk mengikat dan melepas kepada para rasul (Mat 18:18).

B. Simbolisme Silsilah Kristus
Injil diawali dengan suatu silsilah Yesus yang dengan cara yang lembut menyatakan Dia sebagai Mesias keturunan Daud. Ini sering tidak diperhatikan oleh para pembaca di masa modern, yang tidak mengetahui tujuan yang hendak dicapai oleh Matius. Ia menyusun para leluhur Yesus dalam tiga kelompok, yang masing-masing terdiri dari empat belas generasi, dan dengan sikap teliti menyunting nama-nama supaya cocok dengan rencananya.
Angka mempunyai nilai simbolik yang penting bagi orang Yahudi pada zaman Yesus. Dalam bahasa Ibrani, huruf-huruf tidak hanya mewakili suara, tetapi juga nilai angkawi. Maka setiap nama mengandung nilai angka yang penting. Nama Daud misalnya (dalam aksara Ibrani dwd) nilainya empat belas. Nama Daud juga ditempatkan dalam urutan keempat belas di dalam silsilah itu. Angka tiga melambangkan kesempurnaan. Maka tiga kelompok yang masing-masing terdiri dari empat belas nama mau menyatakan kesempurnaan bagi Daud. Yesus adalah Anak Daud yang sempurna, Mesias yang ditunggu-tunggu, dan silsilahNya saja sudah menyatakan hal itu.

C. Kerajaan Surga
”Kerajaan Surga” mencuat tinggi sebagai tema utama dalam wacana-wacana Yesus. Ia datang untuk memulihkan kerajaan Daud, membawa pemenuhan janji Allah untuk mendirikan kerajaan yang kekal melalui garis keturunan Daud. Maka Injil Matius penuh dengan ayat-ayat yang membandingkan Yesus dan KerajaanNya dengan kerajaan Daud. Yesus menyandang gelar Mesias ”Anak Daud” (Mat 1:1), dilahirkan dari garis keturunan raja Daud (Mat 1:2-17); Ia “lebih agung daripada Salomo” (Mat 12:42) dan lebih besar daripada Bait Allah Salomo (Mat 12:6); Ia membangun Bait Allah yang baru yang lebih besar lagi (Mat 16:18); kerajaanNya meliputi kedua belas suku (Mat 19:28) dan segala bangsa (Mat 28:19); dan Ia membangun GerejaNya atas dasar seorang perdana menteri yang memegang kunci-kunci Kerajaan (Mat 16:19) sebagaimana raja-raja keturunan Daud menjalankan pemerintahan melalui menteri-menteri utama mereka.
Maka Kerajaan Surga adalah lebih dari kerajaan Daud yang dipulihkan; sesungguhnya kerajaan Daud yang ditampakkan dalam pemerintahan Daud dan Salomo, hanyalah suatu tampilan ekstra sebagai pendahuluan bagi Kerajaan Mesias, di mana janji yang diberikan kepada Daud seluruhnya dipenuhi. Hidup Kristen dengan demikian melampaui Hukum dan Perjanjian Lama.
Dalam Khotbah di Bukit, Yesus menggambarkan hidup Kristen yang ideal (Mat 5-7); dalam wacana perutusan Ia memberi pengarahan kepada para rasul agar mewartakan Injil di Galilea (Mat 10:5-15) dan menubuatkan pekerjaan misi Gereja di seluruh dunia (Mat 10:16-42); dalam kisah perumpamaanNya (Mat 13) Yesus mengungkapkan misteri Gereja dan memberikan jaminan bagi pertumbuhan dan kejayaan KerajaanNya di dunia; dalam Khotbah mengenai kehidupan Gereja (Mat 18) Yesus menggariskan suatu prosedur disiplin Gereja, dengan menekankan perlunya pengampunan dosa dan memberikan kuasa kepada para rasul untuk mengikat dan melepaskan dalam namaNya (Mat 18:15-20); dalam wacana tentang Akhir Zaman (Mat 24-25) Ia meramalkan hancurnya Yerusalem dan Bait Allah dan berakhirnya Perjanjian Lama.
Matius selalu hati-hati ketika menunjukkan bagaimana janji-janji dari Perjanjian Lama dipenuhi dengan penetapan Perjanjian Baru. Yesus membawa berkat melalui Abraham untuk segala bangsa (bdk Mat 8:10-12; 28:18-20) bahkan ketika Ia menyatakan sifat Hukum Musa yang hanya sementara dan transisional. Berlalunya Perjanjian Lama benar-benar ditegaskan ketika Yesus meramalkan hancurnya Bait Allah dan ketika Ia membatalkan izin yang diberikan Musa untuk perceraian dan menikah lagi (Mat 19:1-9). Namun Yesus juga menetapkan Hukum Baru, suatu norma baru untuk hidup yang melampaui tuntutan Hukum Musa dan meminta kesucian rohani yang mendalam dan kasih persaudaraan. (Bahan: CBD)

Sabtu, 05 Juni 2010

Catatan Tertinggal Dari Sacramentum Caritatis

SAKRAMEN KASIH
Seruan Apostolik Pasca Sinode Para Uskup
Dari Paus Benediktus XVI
2007


[Mungkin bisa digunakan untuk refleksi teman-teman, daripada kusimpan sendiri, berikut kusajikan catatan-catatanku, yang sebagian merupakan cuplikan dari nomor-nomor artikel Seruan Apostolik Sacramentum Caritatis, dengan terjemahan bebas olehku. Bagian teologi dasarnya (art 1-14) tak kutemukan lagi, entah kupakai untuk apa dulunya. Sori ya! – BAMBANG KUSS]



Ekaristi Dan Gereja

Ekaristi adalah konstitutif sifatnya bagi eksistensi dan kegiatan Gereja sebagai Tubuh Kristus, dan dalam Ekaristi itulah bersumber misteri kesatuan Gereja, yang dalam kata-kata almarhum Paus Yohanes Paulus II dinyatakan sebagai “manifestasi tertinggi komunio Gerejawi”. Kesatuan komunio Gerejawi diungkapkan secara konkret dan diperbarui dalam Ekaristi, dan perbedaan-perbedaan diatasi dalam sakramen persatuan itu, ”in quibus et ex quibus una et unica Ecclesia catholica exsistit.” [art 15].


Ekaristi, Roh Kudus dan Perayaan Misteri

Diingatkan menurut Dokumen Konsili Vatikan II PO 5, bahwa seluruh tugas pelayanan dan karya kerasulan terikat dan terarah pada Ekaristi. Sebab di dalam Ekaristi tersimpan seluruh kekayaan rohani Gereja yaitu Kristus sendiri, Paskah Kebangkitan dan roti hidup kita, yang memberikan hidup kepada manusia oleh Roh Kudus.[art 16]. Gereja melakukan perayaan Ekaristi dengan norma liturgis yang terpelihara selama dua ribu tahun dan dengannya memupuk iman umat yang ikut serta secara aktif dalam rangka Umat Allah, imamat rajawi, bangsa yang kudus (1 Ptr 2:4-5) [art 38].


Ekaristi, Misteri yang Dihayati

Namun Ekaristi bukan hanya dirayakan, melainkan juga harus dihayati, menurut Santo Paulus sebagai persembahan hidup, ibadat rohani yang berkenan pada Tuhan (logike latreia, Rm 12:1) dalam prinsip inkarnasi. Bersumber dari Ekaristi, seluruh realitas manusiawi setiap umat yang dalam persekutuan Gerejawi dipersembahkan pada Kristus diubah menjadi kudus (Flp 3:12) [art 70]. Maka agar pantas dan layak ibadat ini menuntut agar “jika engkau melakukan sesuatu... lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah” (1 Kor 10:31). Maka segala sesuatu yang konkret dalam hidup umat Kristiani secara tersirat hendaklah mencerminkan hakekat Ekaristi, sebagai perubahan progresif dari semua yang dipanggil oleh rahmat untuk memantulkan gambar Putera Allah (bdk Rm 8:29ff), baik pikiran, perasaan, perkataan maupun perbuatan [art 71]. Santo Ignatius dari Antiokia dalam hal ini menyerukan agar kita hidup selar= as dengan Hari Tuhan (iuxta dominicam viventes), yaitu dengan kesadaran bahwa penebusan oleh Kristus membentuk hidup kita sehari-hari sebagai ciptaan baru yang mewartakan rahmat Tuhan kepada semua orang. [art 72].


Spiritualitas dan Budaya Ekaristi

Para Uskup dalam Sinode tentang Ekaristi (Oktober 2005) menyatakan bahwa kaum beriman perlu lebih memahami hubungan antara Ekaristi dan hidup sehari-hari. Spiritualitas Ekaristi bukan hanya berupa keikutsertaan dalam Misa dan devosi pada Sakramen Mahakudus, tetapi meliputi seluruh hidup. Ini dimaksudkan agar kita dalam hidup dan kebudayaan “berubahlah oleh pembaruan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah, apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna” (Rm 12:2). Dan dengan demikian dalam kondisi dunia sekarang ini “kita bukan lagi anak-anak, yang diombang-ambingkan oleh rupa-rupa angin pengajaran, oleh permainan palsu...kelicikan...yang menyesatkan” (Ef 4:14). [art 77].

Spiritualitas Ekaristi, yaitu misteri Ekaristi yang dihayati sehari-hari, adalah panggilan radikal yang mendesak bagi kaum awam yang sehari-hari mengeluti soal-soal duniawi. Mereka adalah anak-anak Allah yang ditanamkan di dunia, “ladang” (Mat 13:38) tempat Allah menaburkan benih kebaikan, “supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar” dari Allah (1 Ptr 2:9). Sebagai saksi yang meyakinkan di tempat kerja dan dalam masyarakat. Juga di dalam keluarga, di mana Ekaristi dapat mengungkapkan daya khasiatnya yang mengubah hidup dan memberikan makna yang sepenuhnya. [art 79].

Ekaristi juga harus makin merasuk dalam spiritualitas para imam. Jika semakin sering Ekaristi dirayakan dengan penuh iman dan perhatian, Ekaristi akan membina mereka sedalam-dalamnya dan mengantar konfigurasi para imam dengan Kristus dan menguatkan mereka di dalam panggilan imamat mereka [art 80].

Demikian pula hubungan antara Ekaristi dengan hidup bakti sangat jelas di dalam kesaksian profetis pria dan wanita yang membaktikan diri kepada Tuhan. Perayaan dan adorasi Ekaristi menjadi sumber kekuatan yang dipelukan bagi upaya mengikuti Kristus secara radikal, melalui ikrar ketaatan, kemiskinan dan kemurnian agar semakin kuat menunjukkan dimensi eskatologis dari hidup kita. [art 81]

Suatu pembicaraan yang hangat di dalam Sinode Para Uskup berkenaan dengan hubungan antara bentuk hidup yang ekaristis dan transformasi moral. Puji syukur atas karunia Allah haruslah mengubah sikap hidup umat sedemikian, sehingga kesadaran bahwa dikasihi Allah pada gilirannya mendorong umat untuk mengasihi sesama secara konkret di dalam komunio, dengan contoh pengalaman Zakheus (Luk 19: 1-10). [art 82].

Ini merujuk kepada konsistensi Ekaristis sebagai suatu kualitas hidup di dalam komunio. Ibadat harus berlanjut dengan kesaksian iman dalam kehidupan publik. Jelas, ini sungguh benar bagi mereka yang telah dibaptis, namun terutama ditujukan kepada mereka yang, berdasarkan kedudukan mereka secara sosial (dalam kemasyarakatan) dan politik (dalam pemerintahan) harus membuat keputusan yang berkaitan dengan nilai-nilai dasar, seperti penghargaan pada hidup manusia, perlindungannya sejak masa kehamilan hingga mati secara wajar, keluarga yang dibangun atas perkawinan seorang pria dan seorang wanita, kebebasan dalam pendidikan anak-anak dan memajukan kesejahteraan umum dalam segala bentuknya. Semua nilai dasar ini tidak bisa dikompromikan. Konsekuensinya, para politisi dan anggota legislatif Katolik, sadar akan tanggungjawabnya yang berat di hadapan masyarakat, harus merasa benar-benar terikat komitmen, atas dasar hati-nurani yang dibina dengan baik, untuk mengajukan dan mendukung perundang-undangan yang dijiwai oleh nilai-nilai yang termaktub dalam kodrat manusia. Ada suatu hubungan yang obyektif di sini dengan Ekaristi (bdk 1 Kor 11:27-29). Para Uskup terikat untuk terus-menerus menegaskan nilai-nilai dasar ini sebagai bagian dari tanggungjawab mereka atas kawanan yang dipercayakan kepada mereka. [art 83].


Ekaristi dan Karya Perutusan

Kasih yang dirayakan dalam sakramen persekutuan Ekaristis bukanlah sesuatu yang hanya disimpan untuk diri sendiri, namun harus dibagikan kepada semua orang. Dunia memerlukan kasih Allah. Maka Ekaristi sebagai sumber dan puncak bukan hanya bagi hidup Gereja, tetapi juga bagi misi perutusannya: “suatu Gereja yang autentik Ekaristis adalah suatu Gereja yang misioner” (proposisi no 42 Sinode Para Uskup 2005). “Apa yang telah kami lihat dan yang telah kami dengar itu, kami beritakan kepada kamu juga, supaya kamupun beroleh persekutuan bersama kami” (1 Yoh 1:3). Penetapan Ekaristi oleh Yesus adalah dalam rangka misi perutusanNya untuk menebus dunia (bdk Yoh 3:16-17; Rm 8:32). Maka altar perjamuan Ekaristis harus membentuk hidup Kristiani yang sanggup keluar melaksanakan karya perutusan mewartakan keselamatan. [art 84]. Dengan perkataan maupun tindakan kita harus menghadirkan diri di mana kita berada menjadi saksi kasih Allah yang Ekaristis dengan penuh sukacita. [art 85]. Namun tekanan atas hubungan intrinsik antara Ekaristi dan tugas perutusan kita memerlukan katekese terus menerus bagi semua orang yang terlibat dalam usaha misioner mewartakan Yesus Sang Juru Selamat [art 86].


Ekaristi, Misteri yang Dianugerahkan Kepada Dunia

“Roti yang Kuberikan adalah dagingKu, yang akan Kuberikan untuk hidup dunia” (Yoh 6:51). Komunitas kita ketika merayakan Ekaristi harus semakin sadar bahwa kurban Kristus diperuntukkan bagi semua orang, dan Ekaristi meminta kita semua menjadi “roti yang dipecah-pecahkan” bagi orang lain, dan untuk bekerja membangun dunia yang lebih berasudara dan adil. Ingatlah mujizat perbanyakan roti dan ikan, di mana seruan Yesus agar para murid secara pribadi terlibat tetap bergema bagi kita: “Kamu harus memberi mereka makan” (Mat 14:16). Bersama Yesus, masing-masing dari kita dipanggil menjadi roti yang dipecah-pecahkan bagi hidup dunia [art 88].

Perlu diperhatikan implikasi sosial dari penghayatan Ekaristi yang meruntuhkan tembok-tembok pemisah sosial, karena Ekaristi merupakan sakramen kesatuan yang mendamaikan, melakukan rekonsiliasi “bagi semua orang” (bdk Ef 2:14; Mat 5:23-24). Ekaristi haruslah mengobarkan semangat dialog dengan komitmen untuk mewujudkan kebenaran, keadilan dan perdamaian, dengan mengubah struktur-struktur yang tidak adil dan memulihkan martabat manusia. Namun, bukanlah tugas Gereja untuk melibatkan diri dalam karya politik dalam rangka memungkinkan terwujudnya masyarakat yang sungguh adil; namun, Gereja juga tidak bisa dan tidak boleh berada di garis pinggir saja di dalam memperjuangkan keadilan. Gereja harus “memainkan peranannya melalui wacana rasional dan harus membangkitkan energi kerohanian yang tanpanya keadilan, yang selalu menuntut pengorbanan, tidak akan bertahan dan tumbuh dengan subur”. Menurut para Bapa Sinode, kurban Kristus merupakan misteri pembebasan yang selalu dan terus menerus menantang kita. Maka semua yang ambil bagian dalam Ekaristi harus punya komitmen mewujudkan kedamaian di dunia yang carut marut oleh kekerasan dan perang, dan dewasa ini oleh terorisme, korupsi dan eksploitasi seksual [art 89].

Sebagai “roti yang dipecah-pecahkan” bagi hidup dunia kita juga harus melanjutkan upaya memenuhi kebutuhan kaum miskin, terutama anak-anak, dan mengembangkan harapan baru pada mereka melalui tradisi solidaritas kita (bdk Kis 4:32; Rm 15:26) [art 90].

Dengan cara yang sangat khusus, awam Kristiani, yang dibina dengan pendidikan Ekaristi, terpanggil untuk mengemban tanggungjawab sosial politik mereka yang khas. Untuk itu, mereka harus mendapatkan pembinaan yang memadai dalam hal kasih dan keadilan. Demi tujuan ini, Sinode menganggap penting agar Keuskupan-keuskupan dan komunitas Kristiani mengajarkan dan menyebarkan ajaran sosial Gereja. Ajaran ini, buah seluruh sejarah Gereja, sangat menonjol karena didasarkan atas realisme dan sikap moderasi; ajaran sosial Gereja dapat membantu menghindarkan kompromi-kompromi yang salah kaprah atau berbagai utopia [art 91]. Akhirnya spiritualitas ekaristis yang mendalam niscaya mendorong seluruh umat di dalam menghaturkan pujian dan syukur kepada Allah melalui Ekaristi meningkatkan kesadaran bahwa semua ini dilakukan atas nama seluruh semesta ciptaan, dengan maksud menguduskan dunia dan mengusahakan hal itu. Termasuk di dalamya usaha-usaha yang penuh tanggungjawab bagi melindungi dan melestarikan alam ciptaan. [art 92]. Seruan Apostolik ini diterbitkan pada 22 Februari 2007.



Bambang Kussriyanto, Juli 2008